04 Agustus 2009

Mendorong Perubahan Memunculkan Komitmen


Ada peringatan dari para ilmuwan bahwa suhu permukaan bumi tidak boleh naik lebih tinggi dari 2 derajat Celsius. Jika hal itu terjadi maka lebih dari 300 juta orang akan terusir dari tempat tinggalnya sekarang karena ribuan pulau akan tenggelam, kekeringan semakin parah, dan penyakit akan semakin meluas. Iklim yang semakin sulit diprediksi akan mengakibatkan banyak orang kehilangan mata pencaharian seperti nelayan dan petani di garis depan.

Upaya mencegah naiknya suhu bumi penyebab perubahan iklim tersebut mendapat komitmen resmi dari berbagai negara dengan lahirnya Protokol Kyoto 1997. Secara kelompok, negara-negara maju yang tergabung dalam kelompok Annex I memiliki komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca - penyebab kenaikan suhu bumi global - rata-rata 5 persen dari basis yang ditetapkan yaitu tahun 1990. Kondisi itu harus tercapai 2012. Namun upaya tersebut berjalan amat lambat.

Pertemuan G-8 yang berakhir pertengahan bulan ini tidak membawa angin baru ketika negara-negara maju yang diwajibkan membantu negara-negara miskin dan berkembang ternyata menahan kucuran dananya (Kompas, 16/7).

“Negara-negara maju tak mau membuka dompetnya. Kami kecewa dengan perkembangan terkini,” ujar Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar ketika itu. “Kecenderungannya, mereka bertahan hingga menjelang pertemuan Kopenhagen akhir tahun 2009 ini,” tambahnya. Dia tak menutupi rasa kecewanya menghadapi perilaku negara-negara kaya. Pemerintah Inggris yang sudah siap mengucurkan dana, hanya sendiri di posisi itu.

Dengan cara pandang yang lain, mantan Wakil Presiden AS Al Gore dengan dukungan lembaga swadaya masyarakat The Climate Project, kini giat menyebarkan informasi tentang ancaman perubahan iklim ke berbagai kalangan. Ia menolak bersikap pesimistis (The Age, 13/7).

“Sekarang AS dan Australia telah menunjukkan kepemimpinannya, yang selama ini sangat dibutuhkan. Bergabungnya mereka dalam upaya (kesepakatan) Kopenhagen, akan mampu membuat perbedaan yang amat besar,” ujarnya di Melbourne, Australia disela-sela penyelenggaraan Pertemuan Puncak Asia Pasifik untuk perubahan iklim. Al Gore hadir di Melbourne untuk meluaskan jangkauannya dengan melatih sekitar 3.000 orang dari berbagai negara mengikuti jejaknya berkampanye tentang perubahan iklim, 11-13 Juli lalu di Melbourne, Australia.

Adil dan memadai

Sesuai dengan Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC), disebutkan setidaknya ada empat target capaian pada Pertemuan Para Pihak ke-15 (COP-15) di Kopenhagen, Denmark. Harus ada kemajuan dalam keempat bidang tersebut agar perjalanan untuk membentuk kesepakatan baru sebagai pengganti Protokol Kyoto - yang akan selesai berlakunya pada 2012 - berlangsung mulus.

Saat ini ada tiga negara yang dipandang sebagai negara dengan ekonomi yang berkembang pesat dan tidak sepantasnya masuk kelompok negara berkembang, yaitu China, India, dan Brasil. Ketiga negara itu diminta juga menanggung beban tanggung jawab yang sama dengan negara-negara maju dalam urusan pengurangan emisi karbon (gas rumah kaca).

Ketika dunia sedang berkutat untuk mengatur langkah besarnya yang menghadapi jalan terjal, lalu apa peran kita? Penyebarluasan informasi mengenai perubahan iklim dan relevansinya dengan kehidupan keseharian diharapkan menjadi salah satu hal yang bisa dilakukan dan dapat menghasilkan perubahan. Ini berujung pada perubahan sikap negara-negara yang bernegosiasi di Kopenhagen, Denmark Desember nanti.

Dalam konteks itulah Al Gore melakukan pelatihannya. Indonesia mengirimkan 54 orang untuk mengikuti pertemuan puncak tersebut. Penyebarluasan informasi tentang perubahan iklim telah menyentuh sekitar 5 juta orang di dunia. Di Indonesia jumlah itu mencapai lebih dari 9.000 orang dari berbagai kalangan antara lain ilmuwan, nelayan, mahasiswa, eksekutif berbagai perusahaan mulai dari bankir hingga perusahaan tambang, juga para artis.

Kini dengan jumlah sukarelawan presenter 55 orang, diharapkan bisa lebih luas lagi lapisan masyarakat Indonesia yang terjangkau informasi tersebut. Mereka yang mendengar diharapkan menjadi agen perubahan. Tujuan besarnya adalah perubahan sikap negara-negara di Kopenhagen mendatang ketika ada tekanan dari masyarakat. “Kita harus merebut peluang memecahkan persoalan perubahan iklim. Saya yakin jika ada kesadaran meluas, kita akan bisa mendorong pemerintah untuk memecahkan persoalan ini,” ujar Al Gore.

Razak Manan, salah satu peserta pelatihan yang aktif di Perusahaan Pelayaran Indonesia menegaskan keteguhannya menyebarluaskan isu perubahan iklim. “Hal ini amat penting diketahui terutama di kalangan perusahaan pelayaran. Saya berharap ada perubahan yang bisa dibuat oleh mereka yang bisa menjadikan kondisi lebih baik.”

Sementara beberapa peserta pelatihan seperti Widodo Ramono dari Indonesian Rhino Conservation Foundation telah melakukan presentasi di lingkungan kerjanya serta sejumlah pejabat pemerintahan. Demikian pula Dicky Edwin Hindarto dari Dewan Nasional Perubahan Iklim yang melakukan presentasi di kalangan akademisi di Institut Teknologi 10 November, Surabaya seperti dia tuliskan dalam surat elektroniknya.

Pimpinan Dewan TCP Indonesia - yang berdiri pertengahan Juli lalu, yang juga presenter TCP Indonesia pertama, Amanda Katili mengatakan, semua lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat biasa non-profesional, kaum profesional, pengusaha, pelajar, mahasiswa, ilmuwan, dan birokrat dan berbagai komunitas lainnya menjadi sasaran jangkauan TCP-Indonesia. Mereka dapat menghubungi anggota TCP-Indonesia seperti tercantum di halaman ini. (ISW)

0 komentar:

  © Free Blogger Templates Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP