04 Agustus 2009

Rumah dan Mimpi Pengurangan Emisi


Dunia saat ini sedang menghadapi tantangan besar menyongsong bencana iklim yang (seharusnya) menjadi momok. Jika suhu bumi naik hingga dua derajat, yang diperkirakan akan tercapai pada abad ini, dan jika kita tidak berbuat apa-apa sekarang, maka Planet Bumi akan menuai bencana: mulai dari badai yang semakin sering, iklim yang tak lagi terprediksi, kekeringan, hingga banjir dengan skala masif.

Bencana tak langsung adalah kelaparan, kekurangan suplai air bersih, serta penyebaran penyakit tropis yang lebih luas. Masalahnya, bumi dan lingkungan yang melingkupinya bersifat tetap, sementara manusia yang menghuni di atasnya terus berkembang. Perkembangan itu menuntut pembangunan.

Daerah urban merupakan kawasan dengan laju pembangunan amat pesat. Berdasarkan proyeksi Divisi Kependudukan PBB, penduduk kawasan urban pada kurun waktu 2000-2030 akan bertambah rata-rata 1,8 persen per tahun, dua kali lipat tingkat pertumbuhan rata-rata penduduk dunia seluruhnya. Dengan kecepatan seperti ini, dalam waktu 38 tahun ke depan jumlah penduduk kota akan berlipat dua. (Bayangkan Jakarta dengan jumlah penduduk sekitar 20 juta!)

Penduduk urban adalah konsumen segala macam sumber daya termasuk energi yang amat rakus. ”Ketika emisi karbon dioksida dari kota amat tinggi dibandingkan daerah pedesaan, sebenarnya penduduk kota pulalah pemegang kunci dari pengurangan emisi karbon. Ketika diturunkan menjadi sel-sel yang lebih kecil, rumah memegang kunci pengurangan emisi karbon,” demikian antara lain disampaikan konsultan senior Rockwool, Thomas Nordli, saat menerima sejumlah wartawan Indonesia di Kopenhagen, Denmark, awal Juni lalu.

Tantangan itu terletak pada bagaimana mengurangi emisi karbon di kota, sekaligus tetap bertumbuh sebagai kota yang kompetitif dan menarik untuk kegiatan ekonomi. Jawabannya ada pada paradigma pembangunan kota berkelanjutan, setidaknya berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan secara bersamaan.

Ketika emisi karbon tinggi, perubahan iklim yang terjadi akan memunculkan dampak ikutan berupa kemiskinan, ketidakadilan, yang bermuara pada menurunnya kualitas manusia. Untuk pengembangan kota, bukan hanya para arsitek, ahli tata ruang, dan ahli perkotaan yang perlu dilibatkan, para ahli geografi, antropologi, budayawan, dan kesehatan pun perlu dilibatkan, mengingat pembahasan akan menyentuh area-area kesehatan penduduk, perilaku penduduk, dan aset lingkungan.

Insulasi

Salah satu cara menghemat energi dalam sistem bangunan rumah adalah pemasangan insulasi. Nordli dari perusahaan insulator Rockwool menggarisbawahi, bangunan di negara-negara Uni Eropa merupakan emiter terbesar karbon, hingga mencapai 41 persen. Sebesar 33 persen digunakan untuk transportasi dan sisanya, 26 persen, untuk kebutuhan operasional industri.

”Dua pertiga dari konsumsi energi pada bangunan digunakan untuk melakukan pemanasan dan pendinginan,” ujarnya. Di negara empat musim, pemanas berperan besar untuk kenyamanan dalam bangunan. Sementara di negara tropis, pendingin amat didambakan.

Untuk mendapatkan kenyamanan tersebut, ada dua cara. Pertama, membangun pembangkit listrik atau pemanas. Kedua, menghemat penggunaan energi.

Nordli mengungkapkan hasil risetnya bahwa untuk mendapatkan listrik, butuh dana 3,9 sen euro per kWh per meter persegi, sementara hanya butuh 2,6 sen euro untuk mendapat kenyamanan yang setara jika dilakukan penghematan energi. Cara kedua inilah yang ditawarkan oleh sistem insulasi.

Prinsip kerja sistem insulasi adalah bersifat sebagai isolator, mampu menahan temperatur. Sebuah rumah dengan sistem insulasi akan mampu menahan panas yang ada di dalam rumah agar tidak lepas ke luar rumah.

Di sisi lain, insulator juga menahan hawa dingin dari luar rumah. Dengan demikian, kebutuhan akan pemanas dengan energi listrik atau gas akan sangat berkurang.

”Itu berarti kita telah mengurangi konsumsi energi kita sehingga emisi yang keluar dari rumah kita pun turun,” ujar Nordli.

Insulasi bukan lagi barang aneh di Denmark. Sekitar tiga tahun lalu muncul peraturan yang menetapkan standar rumah yang, antara lain, bertujuan mengurangi emisi dari bangunan rumah, sebuah rumah yang lebih ramah lingkungan (rumah hijau).

Menurut Charlotte Hjelm, yang membangun rumahnya sekitar dua tahun lalu, dengan memasang insulasi, dia dapat menghemat penggunaan energi hingga 25 persen. Penghematan itu bisa mencapai sekitar 1.000 krone Denmark per bulan.

Dengan kemampuan bertahan selama 50 tahun, sistem insulasi Rockwool yang menempati posisi kedua di dunia dalam pangsa pasar diperhitungkan mampu menghemat 200 juta ton emisi karbon. Insulasi bukan hanya untuk bangunan rumah, tetapi terutama untuk industri dan bangunan-bangunan masif, seperti perkantoran. Sejumlah contoh di negara tetangga di antaranya bangunan Ikea di Singapura dan Malaysia, stasiun kereta api Lok Ma Chau di Hongkong, Bandara Changi di Singapura, National Convention Centre di Vietnam, Low Energy Office (LEO) dari Departemen Energi Malaysia.

Berpijak pada kemajuan yang dicapai sekarang, muncullah cita- cita besar ke depan, yaitu bagaimana membangun rumah yang sama sekali tidak membutuhkan pasokan energi dari luar. Itu disebut sebagai passive house (rumah pasif). Saat ini Rockwool membangun rumah pasif di kawasan Czech Technical University. Nilai bangunannya 800 euro (sekitar Rp 11,2 juta) per meter persegi.

Kini negara-negara maju di Uni Eropa berencana menerapkan peraturan passive house pada 2016, sementara Inggris akan memulai pada 2015 dan Jerman serta Belanda pada tahun 2015. Ambisi besar Perancis adalah standar rumah energy plus— rumah yang justru memproduksi energi—yang akan mulai diperkenalkan pada 2020.

Itulah mimpi besar untuk mengurangi emisi global. Dan, mimpi itu bisa diawali dari mimpi kecil: bagaimana mengoperasikan rumah kita dengan energi yang seefisien mungkin, dengan emisi karbon seminim mungkin. Mimpi selalu diperlukan untuk sebuah perubahan besar.

0 komentar:

  © Free Blogger Templates Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP