04 Agustus 2009

Monyet Ekor Panjang Punya Rumah Baru





Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) memang tidak tergolong satwa yang dilindungi. Justru karena alasan tersebut monyet jenis ini paling rentan terhadap ekspoitasi baik diburu, diperdagangkan, dan dijadikan objek tontonan. Padahal monyet ekor panjang memiliki fungsi ekologis yang tak kalah penting dibandingkan jenis primata lain yang dilindungi. Oleh sebab itulah tidak ada alasan bagi IAR untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap satwa ini. -AR. Darma Jaya Sukmana, Direktur Eksekutif International Animal Rescue-

MANUSIA menyebutnya dengan beragam nama. Orang Bali menyebutnya Bojog; orang Jawa Tengah dan Jawa Timur memanggilnya Kethek; sementara orang Jawa Barat memanggilnya Kunyuk, Oces maupun Monyet. Dengan tinggi tubuh antara 38-76 cm, primata ini terlihat kokoh dengan balutan mantel rambut berwarna cokelat kemerah-merahan di bagian bawah dan wajah meninjol dengan warna keputihan.

Walau banyak nama untuk menyebutnya, hewan yang dimaksud adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), primata yang jamak dijumpai di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Konon, Sir Thomas Stamford Raffles memberi nama ini saat ia berusia 40 tahun di tahun 1821. Macaca berarti monyet dalam bahasa Portugis, macaco. Sementara fascicularis kemungkinan mengacu pada kelompok kecil, 5-6 ekor per kelompok.

Pagi di awal bulan Agustus, Sabtu (1/8), lima belas monyet ekor panjang dilepasliarkan kembali ke habitat aslinya di Pulau Panaitan, Taman Nasional Ujung Kulon, usai merampungkan masa rehabilitasi di pusat rehabilitasi satwa International Animal Rescue (IAR) di Ciapus, Bogor.

Beruntung, mereka dirawat oleh IAR, lembaga yang secara konsisten berupaya untuk menyelamatkan monyet ekor panjang dari kepunahannya. Sayangnya, sebagai primata yang mampu hidup dalam beragam kondisi dari hutan bakau di pantai, dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian 2.000 mdpl, monyet ekor panjang bukan termasuk satwa yang dilindungi. Lebih-lebih, monyet yang bisa memanjat sembari melompat sejauh 5 meter ini sering menjadi subyek eksploitasi. Bukan hanya menjadi olok-olokan antara manusia lantaran kenakalannya mirip dengan manusia, tetapi juga sering menjadi hewan percobaan dalam riset biomedis seperti HIV-AIDS, produksi vaksin polio, kardiovaskuler dan gastoentrik .

Tak heran, banyak monyet ekor panjang diserahkan kepada IAR dengan kondisi yang tak sempurna. Misalnya, ada satu monyet ekor panjang yang kehilangan ekornya lantaran dibabat oleh pemiliknya. Sudah kehilangan organ tubuhnya, monyet yang bisa berenang dengan baik ini juga kehilangan fungsi sosialnya sebagai satwa yang mestinya hidup berkelompok.

Panaitan, habitat anyar 15 monyet ekor panjang

Karena termasuk hewan yang gesit, saat pelepasliaran monyet ekor panjang, relawan IAR harus berjibaku menangkap dan membiusnya berulang kali demi memudahkan proses pemindahan dan menghindari monyet ekor panjang dari stres. Dalam keadaan tertidur, relawan IAR perlahan-lahan mengeluarkan monyet ekor panjang dari kandang rehabilitasi dan dengan leluasa melakukan proses pemeriksaan satwa. Mulai dari menimbang, memasang microchip, hingga mengambil sampel darah untuk memastikan kesehatan monyet.

Relawan membutuhkan sedikitnya lima jam untuk memeriksa dan memindahkan lima belas monyet ekor panjang tersebut dari kandang rehabilitasi ke kandang transport. Sesudahnya, mereka diusung ke Pulau Panaitan, bakal habitat monyet ekor panjang di sebelah barat laut Jawa dekat Ujung Kulon.

Mengapa Pulau Panaitan? Pulau seluas 17.500 hektar tersebut menggudangkan hutan dan beragam hewan liar seperti rusa, babi hutan, ulat phyton, monyet dan juga berbagai macam burung. Nantinya, dengan merekalah monyet ekor panjang membaur. Areal Pulau Panaitan yang luas merupakan alasan utama monyet ekor panjang diangkut ke kawasan ini. Pertimbangan lainnya adalah soal ketersediaan pakan, jauh dari masyarakat, tipe vegetasi yang ditumbuhi pohon-pohon yang sesuai dengan tempat tidur monyet, hingga pertimbangan satwa lain yang menjadi pesaing dan predatornya.

Di Pulau Panaitan, lima belas monyet ekor panjang yang terbagi dalam tiga kelompok ini menempati kandang habituasi selama tiga hari. Disana, mereka belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan anyar sebelum akhirnya benar-benar dilepasliarkan. Maklum, meski sudah menjalani proses rehabilitasi, lepas dari ketergantungan manusia adalah masa yang sulit bagi monyet-monyet ini pada awal pelepasliaran.

Karenanya, saat beberapa monyet ekor panjang kembali ke kamp relawan IAR, mereka harus dihalau agar kembali ke hutan. Meski telah melepasliarkan monyet, pekerjaan relawan IAR tak serta-merta usai. Mereka masih harus melakukan pengamatan selama kurang lebih dua minggu untuk memastikan monyet-monyet ini bisa bertahan hidup di lingkungan barunya.

0 komentar:

  © Free Blogger Templates Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP