06 September 2008

Koruptor = Hukuman Mati = Efek Jera?


“Beri saya 100 peti mati, dan saya akan mengubur 99 koruptor di negara ini, dan satu lagi akan saya pakai jika saya juga korupsi” - Zhu Ronghzi (Mantan PM China)”.
Wacana hukuman mati bagi para koruptor sebenarnya sudah lama di dengung – dengungkan oleh berbagai pihak di Indonesia, namun akhir-akhir ini wacana ini kembali muncul seiring dengan maraknya eksekusi mati yang dilakukan kepada para pembunuh seperti Sugeng dan Sumiarsih, Rio Alex Bulo, dan Amrozi cs yang akan secepatnya menyusul.
Terlepas dari pro dan kontra akan hukuman mati ini, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memungkinkan untuk menjatuhkan hukuman mati bagi koruptor, asal memenuhi kualifikasi tertentu seperti yang dimanatkan UU tersebut, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Sejumlah pakar menerjemahkan keadaan tertentu dalam ayat UU tersebut sebagai kondisi yang genting, darurat dan dalam kondisi krisis, juga kondisi yang mengancam kehidupan umat manusia. Jika melihat terjemahan dari para ahli di atas sesungguhnya pantas saja jika para koruptor dihukum mati mengingat Indonesia pun saat ini bisa dikategorikan dalam keadaan tertentu, karena bangsa ini masih berada dalam krisis ekonomi sehingga segala perbuatan yang merugikan Negara dapat dijatuhi hukuman mati.
Meskipun hukuman mati bisa dilakukan bagi koruptor menurut Deni Indrayana, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi UGM hukuman ini harus ditelaah dari beberapa segi. Segi yang pertama adalah kualitas korupsi, hal ini dilihat dari berapa banyak yang ia korupsi dan apakah ia merupakan koruptor kambuhan atau tidak. Segi yang kedua adalah tanggung jawab pelaku, hal ini berhubungan dengan jabatan yang disandang apakah jabatan yang strategis atau bukan. Segi terakhir adalah subjek pelaku, apakah ia tergolong pelaku utama atau tidak. Namun, persoalannya apakah hukuman mati dapat menimbulkan efek jera koruptor atau apakah pendekatan emosional memberlakukan hukum- an mati menjamin akan mendeletasi korupsi?.
Sebenarnya bukan hal utama memperdebatkan kondisi-kondisi yang memenuhi syarat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi koruptor, tapi yang paling penting adalah semangat dan keinginan yang kuat untuk memberantas tindak pidana koropsi. Tapi yang menjadi masalah bukankah sebuah hal ini merupakan sebuah diskriminasi dan suatu bentuk ketidakadilan. Dan tentu kelaparan, busunglapar, kerusuhan sosial/tindak kriminal yang disebabkan oleh kemiskinan yang mengakibatkan korban jiwa yang begitu besar di Indonesia disebabkan oleh praktek-prakter korupsi yang tumbuh subur.
Namun, kita harus sadar bahwa bangsa kita masih belum mampu berbuat keras dan masih belum siap untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya karena kita tahu semua bahwa korupsi merupakan kejahatan yang sudah membudaya dan sudah memasuki sendi-sendi kehidupan bangsa kita. Tapi saya cukup yakin kalau suatu saat nanti kita akan mampu melihat hukuman mati bagi para koruptor, namun kita butuh kesabaran karena seperti kita ketahui bahwa lembaga yang terhormat yang diberikewenangan untuk membuat UU, banyak dihuni oleh koruptor, jadi suatu hal yang bisa dibilang mustahil untuk mereka mau mendorong hukuman mati bagi koruptor, kalaupun ada, hanya sebatas wacana, untuk menarik perhatian publik.
*Mahasiswa Jurusan Pendidkan Biologi UMM

0 komentar:

  © Free Blogger Templates Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP