01 Januari 2009

TAUFIK ISMAIL BEGAWAN SASTRA LINTAS ZAMAN

Dalam sejarah kesusasteraan Indonesia modern, Taufiq Ismail dikenal sebagai salah seorang tokoh Angkatan 66 yang memiliki pengaruh cukup popular dalam masyarakat. Penyair yang mempublikasikan puisi pertamanya di majalah Bangkit pada tahun 1954 ini, sampai kini telah menghasilkan ratusan puisi. Sebagia dari puisinya dikumpulkan dalam sejumlah antologi, sebagian lagi hanya dibacakan di depan public atau disiarkan melalui rubric bididaya di berbagi media massa. Buku-buku antologi puisinya dapat diuraikan sebagai berikut: Tirani ( 1966), Benteng (1966), Puisi-puisi sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin dan Laut (1971). Buku Tamu Musium Perjuangan, Sajak Langit, Puisi-puisi langit sajak ladang jagung 1975, Kenalkan, Saya Hewa (sajak anak-anak, 1976), Puisi-puisi Langit (1990), Tirani dan Benteng (1993), Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.
Meski Taufiq telah menerbitkan banyak kumpulan puisi, dalam perkembangan terakhir ini hanya dua buku antologi puisi yang dikenal secara luas, yaitu Tirani dan Benteng serta Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Fakta ini tampaknya memang berkaitan erat dengan proses kreatifnya. Bahwa ia memang selalu merevisi atau menulis ulang puisi-puisinya dan kemudian diseleksi, selanjutnya dimasukkan ke dalam dua buku kumulan puisi tersebut. Namun, melalui dua kumpulan puisi itu, hamper seluruh perjalanan karya puisi Taufiq Ismail dalam peta kesusasteraa Indonesia telah terwakili di dalamnya. Bahkan, tersirat juga disitu perjalanan hidup, serta ketekunan dan kesungguhanya untuk mengolah potensi diri dalam dunia puisi.
Berkaitan dengan proses kreatifnya dan juga sebagaimana yang sering disampaikan kepada publik, proses penulisan puisi Taufik Ismail lebih mementingkan aspek komunikasi. Dampaknya, dengan cepat pesan dan amanat dapat diterima dan diresapi maknanya oleh pendengar atau pembacanya. Oleh karena itu, tidak sedikit dari puisinya, selalu direvisi dan diperbaiki kembali untuk mencapai aspek komunikasi itu secara masimal. Khususnya, ketika puisi-puisi tersebut hendak dibacakan di hadapan publik, atau dibukukan di dalam antologi puisi karangganya.
Bagi Taufik Ismail puisi adalah sebuah nyanyian, dan ia berniat bernyanyi sampai akhir hayat, karena nyanyian yang indah menyenagnkan pendengaranya. Puisi adalah cinta, yamg uas maknanya. Puisi adalah bagian dar keimanan, umtuk menginggatkan diri agar tak lekang mengenang hari akhir yang abadi. Puisi juga merupakan media untuk meratap, menangis, bila kesedihan tak tertahankan. Puisi adalah cara mengecam kezaliman, penindasan, dan kesewenang-wenangan yang terasa buruk dan busuk, seekaligus sebagai saksi dari berbagai peristiwa dalam sejarah. Akhirnya, puisi adalah cara berdoa, cara untuk mengingat serta mendekatkan diri dengan sepenuh hati kepada Tuhan Yang Maha Pencipta.

TAUFIK ISMAIL DALAM TIRANI DAN BENTENG

Seperti yang diketahui bersama, kepeloporan dan ketokohan Taufik Ismail, baik sebagai eksponen maupun sastrawan Angkatan 66, tak bisa dipisahkan dari aktivitas kemahasiswaannya yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Pada saat itu, KAMI bersama organisasi kemahasiswaan lainya banyak melakukan demonstrasi dan protes terhadap praktik-praktik politik pemerintah yang menyimpang dai cita-cita kebangsaan Indonesia. Pada sisi lain, ketokohan Taufik Ismail sebagai sastrawan Angkatan 66, tentu saja karena ia telah melahirkan karya puisi yang baik secara kultural maupun estetis memiliki peran dalam proses pembentukan sejajrah kesusasteran Indonesia modern. Di samping juga karena keterlibatanya dalam menyusu dan menandatangani pokok-pokok pikiran, cita-cita, dan politik kebudayaan yang termaktub dalam Manifes Kebudayaan.
Perjuangan dan ketrlibatan Taufik Ismail dalam berbagai aksi pemuda dan mahasiswa bulan Februari-Maret 1966, telah memberikan inspirasi dan catatan-catatan penting yang kemudian diolah menjadi karya-karya puisi. Puisi-puisi itu pada mulanya hanya disimpan dan menjadi dokumentasi pribadi oleh Taufik Ismail. Namun, karena banya teman-teman seangkatanya yang meminta untuk diterbitkan dan dipublikasikan secara luas, akhirnya lahirlah buku pertamanya yang berjudul Tirani , disusul kemudian Benteng.
Pada tahun 1993, ketika situasi politik kian memanas dan tema-tema puisi di dalam kedua buku itu masih dirasa segar untuk disosialisasikan kepada generasi muda, Yayasan Amanda menerbitkan ulang karya Taufiq Ismail tersebut dalam satu buku kumpulan puisi, Tirani dan Benteng.
Tirani dan Benteng merupakan salah satu contoh kumpulan puisi yang memiliki tema sosial-politik cukup kental. Akhirnya buku tersebut menjadi popular di kalangan masyarakat pembaca sastra. Sebagai buku kumpulan puisi dari karya Taufi Ismail pada tahun 60-an, Tirani dan Benteng memiliki kekuatan yang manpu mempresentasikan politik perlawanan mahasiswa dan pemuda saat itu. Bahkan, puisi-puisi di dalam buku tersebut hamper tidak bisa dipisahkan dari berbagai realitas dan peristiwa demonstrasi, perlawanan, dan perjuanan untuk menentang ketidakadilan, penindasan, dan penghianatan para penguasa.
Contoh puisi Tirani dan Benteng:
PENGKHIANATAN ITU TERJADI PADA TANGGAL 9 MARET
Pengkhianatan itu telah terjadi
Penghianatan itu terjadi pada tangal 9 Maret
Ada manager-manager politik
Ada despot yang lain
Ada ruang siding dalam istana
Ada hulubalang
Serta senjata-senjata
Senjata imajiner telah dibidikan ke kepala mereka
Tapi la la la
Di sana tak ada kepala
Tapi huh u hu
Tak ada kepala di atas bahu
Adalah tempolong ludah
Stopa kantong gandum
Kernjang sampah
Melayang-layang
Ada pernyataan otomatik
Ada penjara dan maut imajiner
Gennerasi yang kocak
Usahawan-usahawan politik yang kocak
Ruang siding dalam istana
La la la
Tempolong lidah tak berkepala
Hu huh u
Keranjang sampah di atas bahu
Angin menerbangkan kertas-kertas statemen
Terbang
Melayang-layang
1996
(Tirani dan Benteng, hlm 144-145)
Kecendrungan Taufiq Ismail untuk menulis puisi kritik semacam di atas merupakan bagian utama dalam proses kreatifnya. Karena itu, ketika kekuasaan Orde Baru menampakan taringnya yang tajam, ia juga tidak bisa diam. Lalu diciptakanlah beragam puisi yang berusah untuk mengingatkan, mengkritik, dan melawan kekuasaan para tiran. Bahkan, sampai karya-karya terakhirnya ketika Orde Baru tumbang dan Orde Reformasi berkembang kecendrungan semacam itu tak pernah hilang dari kesadaan puitiknya.

TAUFIK ISMAIL DALAM MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA

Kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia pada dasarnya adalah sebuah teks, baik baik dalm pengertianya yang sempit maupun luas. Sebgai teks, ia merupakan mosaic kutipan, serapan, dan transformasi dari teks-teks lain. Seperti sudah dikemukakan, teks-teks sastra kapan pun diciptakan tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan. Artinya, selalu terdapat konteks, termasuk konteks social-politik, yang menentukan keberadaan teks tertentu.
Sebagai buku kumpulan puisi, dengan sendirinya Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia memiliki kekuatan puitik yang lebih dominan untuk membuat model yang sedekat-dekatnya dengan kehidupan. Sebagai puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia memang jauh dari tujuan menawarkan analisis yang cerdas, tetapi memberikan pilihan-pilihan kreatif tentang berbagai hal yang mungkin akan dan telah terjadi dalam struktur kompleks kehidupan. Oleh karena itu, di dalam dan melaluinya dapat diketahui keadaan, cuplikan-cuplikan kehidupan masyarakat seperti dialami, dicermati, ditangkap, dan direka kembali oleh Taufik Ismail.
Puisi-puisi dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia bukan sekedar reproduksi realitas belaka, melainkan sesuatu yang berpotensi mempertjam dan membuat lebih intens penghayatan pada realitas belakaa. Sepertinya, penciptaan teks-teks kreatif tersebut memang memperoleh dorongan kreatif yang begitu besar dari konteks perubahan social-politik yang tenah berlangsung di sekitarnya. Dengan demikian, salah satu bentuk yang diciptakan Taufik Ismail dalam kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia hakikatnya merupakan genre puisi yang berlawanan. Sejarah sastra Indonesia modern sudah terlalu cukup lama mencatat hal ini. Posisi Taufiq Ismail sebagai pelopor Angkatan 66 sebagaimana dinyatakan Jassin memang cukup beralasan.
Dari berbagai persoalan social yang terefleksi dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, dekadensi moral merupakan persoalan yang paling dominan. Masalah tersebut berkaitan dengan ketidakadilan dalam hokum, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melanda para birokrat, serta pelanggaran hak asasi manusia, khususnya kekerasan, kekejaman, dan pembunuhan yang dialami rakyat kecil.
Dekadensi moral yang begitu mengejala pada masa Orde Baru menjadi persoalan yang paling memprihatinkan bagi Taufik Ismail. Sejumlah ungkapan seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, selingkuh birokrasi, ideology rupiah, asas tunggal keserakahan, sampai Komisi dalam UUD yang bermakna korupsi merupakan beberapa contoh ungkapan yang dipakai oleh Taufik Ismail untuk menggambarkan “wajah” pemerintahan Indonesia yang memalukan dari segi manpa malu-malu, baik dalam konteks moralitas budaya maupun moral keagamaan. Dengan bahasa yang lugas dan tegas, puisi-puisi Taufik Ismail telah berhasil menggambarkan dekadensi moral yang melanda para pejabat di Indonesia pada masa Orde Baru, yang melakukan aktifitas KKN-nya tanoa malu-malu, sebagaimana tampak dalam kutipan puisi berikut.
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hokum tak tegak, doyong berderak-derak

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor
Satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang
Susah dicari tandingan,
Di negeriku ana lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
Dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara
Hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu.
(Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, hlm. 19-20)
Realitas sosial yang melatarbelakangi puisi-puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia adalah kondisi pemerintahan di Indonesia pada masa Orde Baru, yang dibedkan menjadi masa kejayaan dan akhir pemerintahan Soeharto. Kondisi tersebut ditandai dengan berbagai mmasalah yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melanda system pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah, krisis ekonomi, system pemerintahan yang tidak demokratis, kekerasan dan pelanggaran HAM, demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi, dan kegiatan baca tulis yamg belum membudidaya.
Di samping hal-hal tersebut di atas, sejumlah puisi Taufiq Ismail juga dilatarbelakangi oleh belum berbudidayanya tradisi membaca dan menulis di Indonesia. Persoalan tersebut telah cukup menimbulkan keprihatinan Taufiq Ismail sehingga dia pun mengadakan berbagai macam kegiatan apresiasi untuk meningkatkan minat baca dan tulis di kalangan guru dan siswa di sekolah. Bahkan juga di kalangan perguruan tinggi serta dalam organisasi kemasyarakatan.
TAUFIK ISMAIL, SAJAK-SAJAK ANTI NARKOBA DAN MASA DEPAN GENERASI MUDA
Taufik Ismail sudah sejak lama memiliki perhatian dan bahkan melakukan penelitian terhadap gejala yang membahayakan masa depan generasi bangsa tersebut. Perhatian, kecemasan, dan kekhawatiran Tauufiq Ismail terhadap virus narkoba, dengan sendirinya juga perjuangan untuk melawan dampak negative dari budaya merokok yang lekat pada adiksi nikoton, alkohol, dan narkotika, dapat menyebabkan adiksi lain yang berkisar pada menyebarnya pornografi, VCD biru, tabloid mesum, komik lucah, dan sastra “syahwat”.
Berikut ini petikan puisi yang berjudul “Genderang Perang Narkoba” :
Wahai yang pegang senjata
Berhentilah jadi beking mereka
Wahai para hakim dan jaksa
Sogokan jangan diterima
Wahai seluruh bangsa
Ayo kita gasak mereka…

Kini sudah tiba saatnya
Kita menabuh genderang perang
Perang. Perang. Perang
Lawan jaringan narkoba
Pemodal dan bekingnya
(kompas, 7 November 2000)
Masa depan generasi muda berarti juga menyangkut masalah moral dan mentalitas. Dalam hal ini, Taufiq Ismail member gambaran yang lebih tegas dalam puisi “Aisyah Adina Kita” yang dinyanyikan dengan merdu oleh kelompok music bimbo.
AISYAH ADINDA KITA
Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita
Angka SMP dan SMA Sembilan rata-rata
Pandai mengarang dan berorganisasi
Mulai Muharram satu empat satu nol
Memakai jilbab menutup auratnya
Busana muslimah amat pantasnya

Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita
Indeks prestasi tertinggi tiga tahun lamanya
Calon insinyur dan bintang di kampus
Bulan Muharram satu empat nol empat
Tetap berjilbab menutup rambutnya
Busana muslimah amat pantasnya

Aisyah adinda kita
Tidak banyak dia berkata
Dia memberi contoh saja

Ada sepuluh Aisyah berbusana muslimah
Ada seratus Aisyah berbusana muslimah
Ada sejuta Aisyah berbusana muslimah
Ada sejuta Aisyah
Aisyah adinda kita
1984
Melalui puisi di atas, Taufiq Ismail mengajak pembacanya untuk membangun kembali nilai-nilai luhur yang telah runtuh. Sasaran utamanya adalah agar generasi muda dapat kembali untuk meneguhkan keimanan, kejujuran, sopan santun, empati pada sesama, hormat pada pendapat orang lain, dan tentu saja menghormati hak asasi pada jiwa dan akal sehat manusia.
Kecemasan Taufiq Ismail terhadap keberlangsungan generasi muda bangsa juga merasuk dalam dunia olahraga. Menurut dia, olahraga itu penting untuk kesegaran jiwa, sehingga tidak sedikit puisinya yang menyoal masalah sepakbola, badminton, tenis maupun jenis lainya. Di satu sisi olahraga memang penting bagi perkembangan jasmani manusia, tetapi tidak semua jenis dan bentuk olahraga mesti di jalankan di negeri ini, salah satunya adalah tinju. Dunia keras olahraga “adu jotos” itu memang memiliki banyak risiko, dan k arena itu Taufiq Ismail pernah menulis puisi hal tersebut, dan kemudian dipublikasikan melalui ruang surat pembaca kompas. Puisi lain yang bernada sama, dan berkait dengan generasi muda dapat disimak melalui kutipan di bawah ini.
YANG MENETAS YANG MELELEH
Demikianlah tetes air mataku kananku
Karena ingat 6 anak muda petinju
Mati berlatih dan bertanding di negeriku
Tidak banyak orang mau tahu
Dan yang tahu melupa-lupakan

Kemudian tetes airmata kiriku
500 petinju Amerika, begitu majalah RING member tahu
Mati bertinju selama jangka waktu 70 tahun lalu
Setiap lima puluh hari mati satu
Menyiarkan ini mana pers mau


Meleleh ingus lubang hidung kananku terasa
Di Madison Square Garden kucecerkan di gerbangnya
Omong kosong ukuran raksasa indah WBC dan WBA
Mana pula olahraga, sejenis itu adu manusia
Lama nian habis-habisan kita bangsa minder ini dikecohnya

Lalu meleleh lubang hidungku sebelah kiri
Kuhapus dengan Koran pagi bergambar Don King ini
Si Rambut Tegak, Penipu Gergasi, Pembunuh dan Bandit Sejati
Di kakinya berlutut para petinju dan promotor satu negeri
Jutaan dollar kontrak ditilep masuk kantong jas kiri sekali
1988
(Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, hlm 128)

TAUFIK ISMAIL PERSEMBAHAN BAGI INDONESIA
Keberhasilan Taufiq Ismail sebagai penyair serta keterlibatanya secara intensif dalam berbagai kegiatan organisasi sosial dan politik, telah membawa dirinya ke dalam kancah perjuangan sejarah sastra Indonesia. Maka, tidaklah mengherankan jika H.B. Jasssin menempatkanya sebagai sastrawan Angkatan 66.
Sesudah pensiun dari Unilever (1990) dan sepulang dari Kairo, Iowa City dan Kuala Lumpur, Taufiq Ismail akif kembali di majalah Horison (1995). Dibantu oleh kawan-kawan Horison, ia menggerakan enam macam kegiatan dengan sasaran dunia pendidikan, yang bertujuan meningkatkan budaya membaca buku, kemampuan mengarang, dan apresiasi sastra, khususnya bagi siswa dan guru SMU dan sederajat,
Taufik Ismail yang tak pernah lelah, baik melalui karya-karya puisi maupun apresiasi, tentu akan menjadi lebih panjang lagi jika ditambah dengan posisi dan peran Taufiq Ismail dalam koxteladi. Oleh kaarena itu, sebagaimana layaknya seorang pejuang, aktifitas social, seniman dan budayawan yang ikut meletakan fondasi kulural dalam konteks ke-Indonesia –an dunia dan karya Taufik Ismail memang layak untuk disebarluaskan, diteladani dan diberi penghargaan, di samping penghargaan sastra yang selama ini telah diterimanya. Setidaknya, menghargai karya dan perjuangan-perjuanganya dalam konstelasi moralitas bangsa, khususnya dalam paya meningkatkan daya apresiasi masyarakat terhadap kesusasteraan Indonesia modern.
Gambaran-gambaran yang sudah dikemukakan di atas menunjukan bahwa Taufiq Ismail yang notabenya seorang dokter hewan, memiliki komitmen yang begitu tinggi terhadap pendidikan dan pengajaran sastra. Sudah enam tahun ini gagasan sastra masuk kelas lewat sisipan kakilangit yang ada di majalah Horison tereslisasikan, setiap bulan dengan teratur diterima di sekolah. Misalkan saja, rata-rata dari tiras untuk sekolah 9.000 eksemplar setiap bulan itu, masing-masing dibaca leh 4 orang guru, berarti setiap bulan akan terdapat 36.000 orang guru bahasa dan sastra Indonesia membacanya. Jika saja 50 orang siswa di tiap sekolah membacanya secara bergiliran di perpustakaan.
Sementara itu, dari lima gerakan yang ditanganinya dalam lima tahun ini, yaitu pelatihan MMAS (Membaca, Menulis dab Apresiasi Sastra) dengan sasaran guru, SBSB (Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya) dengan sasaran siswa, SBMM (Sastrawan Bicara, Mahasiswa Bertanya) dengan sasaran mahasiswa, LMKS-LMCP (Lomba Mengulas Karya Sastra-Lomba Mengarang Cerita Penek) dengan sasaran guru, dan SSRI (Sanggar Sastra Remaja Indonesia) dengan sasaran anak usia sekolah, menuru pengakuan Taufiq Ismail ternyata SSB-lah yang paling meletihkan karena melibatkan persiapan lama yang cukup rumi, koordinasi dengan begitu banyak orang dan pihak serta perjalanan jjarak lumayan jauh.
Namun bagi Taufiq Ismail, SSB-lah yang paling membahagiakan. Di kota mana pun diselenggarakan, para siswa sangat antusias. Mereka ingin tahu tentang proses awal ihlam tiba, bagaimana puisi ditulis, cara ceita pendek digarap, kenapa sastra penting dalam kehidupan, dan Taufiq Ismail mencatat adanya 20 hingga 30 buah pertanyaan lain yang sama.
Tentu saja, bukan tujuan Taufiq Ismail agar para siswa menjadi sastrawan. Yang lebih penting adalah bahwa di kemudian hari, mereka akan menjadi lapisan bangsa terpelajar yang membaca buku dan mampu menulis surat, laporan, proposal dan karangan untuk pekerjaan apa pun sebagai sumbangsih pendidikan dan pengajaran sastra. Taufiq Ismail menyadari bahwa yang dilakukan bersama kawan-kawan sastrawanya itu adalah menanam benih. Yang dikembangkan ke tanah ini bibit pohon jati, bertahun-tahun baru tampak hasilnya.
Seluruh paparan diatas pada hakikatnya ingin menunjukan seberapa besar jasa yang telah diberikan Taufiq Ismail (yang notabene seorang dokter hewan) pada dunia sastra Indonesia modern, khususnya di bidang pendidikan dan pengajaran sastra. Perhatian, keseriusan, dan perjuanganya dalam bidang pengembangan apresiasi sastra Indonesia tersebut, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, rupanya telah diikuti dan diamati oleh sebagian dari Senat Universitas Negeri Yogyakarta. Maka selayaknyalah jika awal 2003, jajaran akademika, Senat dan Guru Besar Universitas Negeri Yogyakayta memilihnya dan member gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Pendidikan Sastra.

2 komentar:

Arief Munandar 10:07 PM  

Banyak sejarah di dalam puisi Taufiq Ismail.

rohendisaputra 12:46 PM  

Kalo puisi 6.30 dong temanya mohon dibantu

  © Free Blogger Templates Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP