17 Juni 2009

Reforma Agraria (Potret Pasang Surut Sejarah kebangsaan Indonesia)








Sifat yang bermuka-dua dari banyak gerakan revolusioner dan kontra-revolusioner kadang-kadang mempersulit pemberian sebutan yang tepat pada gerakan seperti itu. Karena bunyi istilah revolusi pada banyak kalangan tidak seburuk kontra-revolusi maka hanya sedikit gerakan yang secara terang-terangan menyebut dirinya kontra-revolusi. (Wertheim, tt:233)
I. Pengantar
Di awal abad dua puluh satu ini, perbincangan mengenai penataan struktur agraria atau lebih dikenal dengan istilah agrarian reform/reforma agraria/pembaruan agraria, muncul kembali ke permukaan. Berbagai studi mengenainya, bahkan sudah pula menjadi agenda dari berbagai badan internasional, negara maupun berbagai organisasi gerakan sosial pedesaan di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara yang pernah melakukan “aborsi” agenda reforma agraria pada pertengahan tahun 1960-an, kali ini Indonesia tidak mau ketinggalan kereta dalam membincangkan hal ini. Pada masa rezim politik SBY-JK sekarang, melalui Kepala Pusat Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI) menggulirkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Suatu program resmi dari pemerintah yang ingin menata ulang struktur penguasaan sumber-sumber agraria demi kemakmuran rakyat dan keadilan sosial.
Saya tidak akan masuk pada perdebatan seputar program resmi pemerintah RI mengenai PPAN. Dalam tulisan ini, saya ingin menggambarkan agenda reforma agraria sebagai agenda bangsa. Upaya untuk menata kehidupan dan struktur bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara lebih adil tersebut merupakan esensi dari cita-cita mewujudkan kemerdekaan nasional. Namun dalam prakteknya upaya penataan tersebut pasang surut di setiap zamannya. Mengingat, reforma agraria tidak saja merupakan perbincangan yang bersifat ekonomi-politik, namun juga memiliki latar ideologis. Dalam perbincangannya pun melibatkan tidak saja aktor politik, tapi juga aktor ekonomi bahkan melibatkan organisasi rakyat, baik antara yang setuju dan tidak dengan upaya tersebut. Lebih menarik lagi, pasang surut perbincangan mengenai reforma agraria selama republik ini berdiri telah melintasi beberapa kuasa politik: Demokrasi Terpimpin, Orde Baru dan era Reformasi.
Berbagai studi agraria yang ada selama dua dekade terakhir lebih mendeskripsikan mengenai sengketa agraria, baik yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin seperti karya Pelzer (1991) maupun pada masa Orde Baru seperti tulisan Bachriadi dan Lucas (2001). Sementara itu studi Fauzi (1999) lebih menyoroti peranan aktor dari reforma agraria, yaitu petani. Selain itu, terdapat pula studi-studi yang memberi perhatian khusus pada kerangka teoritis dan definisi mengenai reforma agraria seperti yang dilakukan oleh Wiradi (2000) dan Sediono M.P. Tjondronegoro (1999). Beberapa buku ini memiliki pengaruh kuat di banyak ilmuan sosial, termasuk sejarawan khususnya kalangan studi agraria.
Belakangan ini muncul suatu arus pemikiran atas perbincangan reforma agraria tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik, perdebatan ideologi, dan campur tangan pihak internasional di masa lampau. Apa yang terjadi di masa lampau tersebut masih beresonansi dengan keberadaan struktur agraria di Indonesia kini. Sehingga, sekarang ini diperlukan suatu studi yang lebih komprehensif mengenai gagasan reforma agraria di Indonesia, tidak saja di wilayah konsepsional dan teoritik, tapi juga bagaimana dinamika politik dan ideologi juga mewarnai gagasan ini, termasuk keterlibatan dunia internasional.
Berangkat dari sini, tulisan ini berusaha melakukan ekspalanasi sejarah (historical explanation) atas perjalanan reforma agraria dalam rentang waktu yang melintasi beberapa kuasa politik di Indonesia. Tentu saja tesis utamanya bagaimana pemikiran reforma agraria melintasi berbagai kuasa politik itu sendiri? Selanjutnya untuk penyajiannya dalam setiap sub-bab ditampilkan: (i) bentuk-bentuk reforma agraria di setiap kuasa politik, (ii) kesempatan politik dalam setiap kuasa politik yang memungkinkan jalannya reforma agraria, (iii) resistensi atas reforma agraria di setiap kuasa politik, (iv) dan akibat dari keberhasilan atau kegagalan dijalankannya reforma agraria ke kuasa politik berikutnya.
II. Menuntut Kontrak Baru
Involusi pertanian dan kemiskinan bersama, sekedar meminjam dari Geertz, merupakan dua istilah yang tepat untuk memberi deskripsi awal atas pengalaman pahit hidup rakyat pedesaan di bawah kolonialisme dan feodalisme. Pengalaman pahit tersebut tergambar jelas bagaimana kuasa politik kolonial yang pada awalnya hadir sebagai organisasi dagang (VOC), yang kemudian menjalankan proses eksploitasi atas manusia pribumi dalam rangka memperkuat proses akumulasi kapitalnya dengan jalan tanam paksa. Tindakan tersebut kemudian mendapat legitimasi dengan kebijakan politik pertanahan kolonial, Agrarische Wet 1870. Berangkat dari sinilah, penguasaan sumber-sumber agraria ditata secara tegas melalui peraturan kuasa politik legal. Lengkaplah, eksploitasinya dari perdagangan, pemaksaan dan akhirnya penguasaan secara legal.
Sejarah tidaklah berjalan linier. Akibat dari penataan penguasaan sumber-sumber agraria oleh kuasa politik secara yang tidak adil, tentu saja beriringan dengan keresahan sosial. Studi dari Dingley sangatlah tajam menyoroti bagaimana keresahan sosial di Indonesia lahir akibat dari perkembangan kapitalisme, yang telah meningkatkan penindasan di kalangan kaum tani. Inilah yang kemudian mengarah pada lahirnya serikat rakyat revolusioner yang melakukan perlawanan atas penataan penguasaan sumber-sumber agraria dengan cara yang sangat tidak adil. Studi lain yang menyoroti ketidakadilan penataan sumber-sumber agraria dilakukan oleh Kartodirdjo. Berbeda dengan Dingley, studi Kartodirdjo ini memperlihatkan bagaimana peranan unsur kepemimpinan tradisional (keagamaan) juga memainkan peranan dalam proses perlawanan. Melalui elit tradisional tersebut ketidakpuasan kaum tani disuarakan melalui ideologi tanding dari kuasa asing. Tentu saja perlawanan dengan jalan ini lebih mengarah pada perlawanan yang bersifat lokalistik.
Berbagai perlawanan, pada dasarnya, merupakan tanggapan serius atas penyalahgunaan kekuasaan baik pada wilayah politik, sosial, ekonomi dan budaya oleh kuasa kolonial. Berdasar atas rekonstruksi dari Dingley, perlawanan kaum tani pada awal abad XX tidak lagi secara sederhana hanya merespon masalah-masalah lokal. Lebih luas dari itu, perlawanan massa rakyat yang terjadi tersebut sekaligus merupakan strategi yang berlawanan dengan colonial mode of development, sebuah tindakan yang berlandaskan cita-cita kolonial. Perlawanan tersebut tidak saja (semata-mata) menunjukkan sikap anti kolonialisme dan feodalisme, tapi juga perlawanan langsung atas perluasan sistem produksi dan ekstraksi komoditas baru untuk perusahan-perusahaan kapitalis kolonial yang berskala global.
Pada periode ini gerakan kaum tani sudah dipengaruhi oleh cita-cita gerakan nasional. Mereka mulai meninggalkan pola-pola lokalistik. Mereka mulai tergabung dalam satu organisasi rakyat yang memiliki kepentingan politik lebih luas, termasuk menjadi sub ordinasi dari suatu partai politik. Di samping itu, gerakan ini telah memiliki program-program yang lebih rasional. Adalah Sarekat Rakyat untuk menyebut salah satu contoh organisasi rakyat lokal namun telah memiliki program nasional, seperti: (i) distribusi “tanah-tanah pribadi” dari raja-raja pribumi kepada para petani; (ii) potongan pajak bagi mereka yang berpenghasilan kecil; (iii) pembentukan organisasi-organisasi kerja sama petani; dan (iv) pembentukan dewan-dewan kampung. Tidak hanya program, berbagai organisasi rakyat ini mulai memiliki sejumlah surat kabar penting dan yang terbitan periodik, seperti The Spark terbitan periodik di kalangan aktifis politik Jawa terbit di Solo, kemudian terbitan Titar yang sebelumnya bernama Surapati yang terbit di Bandung dan lain sebagainya.
Sementara itu, organisasi rakyat lainnya juga mulai memberi perhatian pada gerakan kaum tani. Adalah Budi Utomo, sebuah organisasi kaum intelektual nasionalis, yang didirikan tahun 1908, mulai memperhatikan persoalan kaum tani. Setidaknya pada tahun 1917, Budi Utomo memiliki program: (i) penetapan bunga minimum bagi tanah petani; (ii) peraturan menentang riba; (iii) pembentukan lumbung desa; (iv) pemotongan pajak bagi rakyat yang berpenghasilan kecil; dan memajukan pendidikan pertanian. Tidak mau ketinggalan organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah juga memberi perhatian pada kepentingan kaum tani. Gerakan kaum tani guna perjuangan keadilan agraria terus beresonansi dengan kaum pergerakan nasional. Hingga akhirnya, gerakan tersebut mampu saling menumbuhkan kesadaran dan imaginasi tentang bangsa, dan mewujudkannya dalam pembentukan negara baru. Berdasar atas resonansi pergerakan tersebut, massa rakyat tani menempuh perjuangan agraria yang nyata dan perjuangan ini basis sosial dari aspirasi dan nilai-nilai kebangsaan.
Kalahnya rezim kolonialisme dari pihak fasisme Jepang di tahun 1942, gerakan nasional di Indonesia memasuki fase yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Kesempatan politik, akibat situasi internasional tersebut tidak saja mengubah kenyataan politik di Indonesia. Gerakan nasional untuk semakin memantapkan faham kebangsaan, juga menata sumber-sumber agraria untuk dikelola oleh kaum bumi putera. Ditambah lagi produksi perkebunan semakin merosot sejak zaman maleise pada tahun 1930, dan semakin tidak diurus pada masa perang dunia ke II. Kenyataan ini merupakan kesempatan politik bagi gerakan kaum tani untuk mengambilalih tanah-tanah mereka yang dulu atas nama rekayasa kebijakan politik pertanahan kolonial menjadi milik asing. Sekaligus merupakan kesempatan politik untuk menduduki, menguasai dan memanfaatkan lahan-lahan perkebunan dalam rangka memenuhi kebutuhan subsistensi kaum tani.
Melihat kenyataan tersebut, Fasisme Jepang kemudian memanfaatkan lebih mendorong gerakan pengolahan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria yang dilakukan oleh kaum tani. Akan tetapi bukan dalam rangka penataan sumber-sumber agraria yang lebih adil, tapi lebih sebagai pelipatgandaan dalam rangka perang Asia Timur Raya. Dirasa masih kurang, Fasisme Jepang juga memaksa kaum tani melakukan pembongkaran terhadap hutan untuk dijadikan lahan-lahan pertanian, tentu saja demi kepentingan perang. Praktek ini politik ini menambah penderitaan kaum tani Indonesia. Tidak itu saja, Fasisme Jepang juga menjalankan praktek politik yang melahirkan penderitaan rakyat, berupa penerapan sistem pajak yang mencapai 20%, namun dalam prakteknya mencapai 40%. Proses pelipatgandaan hasil bumi ini mengingatkan pada kekejaman Daendels dan era cultuurstelsel, dimana massa rakyat pedesaan menjadi sasaran penindasan utama.
III. Kebangsaan Penyemangat Reforma Agraria
….hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (Proklamasi 1945).
Jatuhnya bom atom di Hirosima dan Nagasaki mengakhiri perang Asia Timur Raya. Ditambah pecahnya Revolusi Agustus 1945 merupakan langkah awal mewujudkan kedaulatan sebagai bangsa. Berdaulat sebagai bangsa yang dapat “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memadjukan kesejahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Pada titik inilah, para pendiri bangsa berketetapan hati “untuk membentuk pemerintah negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…….dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Untuk bisa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus terlebih dahulu memaknai kemerdekaan. Menurut Bung Karno, kemerdekaan merupakan jembatan emas untuk menuju pembebasan-pembebasan lainnya, dari sistem kolonial dan warisan feodal.
Kata kunci dari proses ini adalah revolusi nasional. Suatu perubahan yang cepat dan radikal menyeluruh tatanan masyarakat lama menuju tatanan masyarakat yang baru. Sehingga yang dibutuhkan kemudian adalah suatu tatanan yang menjadi dasar bagi hidup bersama, suatu dasar negara (philosofische grondslag, staats fundamental norm, pokok kaidah fundamental negara), yang mengatur perilaku negara, bukan orang per orang warga negara, yaitu Pancasila. Perilaku negara ini terwujud dalam pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, serta terungkap dalam praktek dan kebiasan bertindak para penyelenggara kekuasaan negara, yang itu harus berdasar pada Pancasila. Kendati begitu, Pancasila tidak saja berfungsi sebagai dasar negara sebagaimana disebutkan di atas, tapi juga sebagai Rechtsidee. Sebuah tuntunan menuju cita-cita hukum dan cita-cita moral bangsa yang merujuk pada perasaan keadilan rakyat.
Sejalan dengan gagasan kemerdekaan nasional yang merupakan jembatan emas untuk meninggalkan warisan feodal dan mengakhiri sistem kolonial menuju cita-cita luhur sebagaimana termaktub dalam mukadimah UUD 1945. Reforma agraria adalah jalan yang telah dipilih oleh para pemimpin bangsa di awal masa republik untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial itu. Gagasan reforma agraria tidak saja merubah struktur penguasaan sumber-sumber agraria yang lebih berkeadilan. Lebih jauh dari itu reforma agraria juga menyaratkan perubahan struktur sosial yang lebih setara tanpa adanya “penindasan si lemah oleh si kuat” dan “cara-cara penghisapan manusia atas manusia, explotation de l’home par l’homme.
Merupakan kenyataan sejarah pula, kebangsaan Indonesia bukan suatu yang lahir secara alamiah. Kebangsaan Indonesia juga tidak sekedar sesuatu yang berdasarkan bahasa dan budaya yang sama, seperti kebangsaan di negara Korea atau Polandia. Kebangsaan Indonesia dipersatukan oleh tekad untuk tumbuh bersama dari sejarah penderitaan dan penindasan, yang lalu melahirkan pengalaman perjuangan bersama demi kemerdekaan. Bung Karno bicara tentang nation building, tentang perlunya membangun Indonesia menjadi sebuah nation, sebuah bangsa. Kebangsaan Indonesia tumbuh dari kebhinekaan ke yang tunggal ika, karenanya kebangsaan itu tidak boleh taken for granted, harus tetap dijaga. Karenanya kebangsaan Indonesia adalah kenyataan yang bersifat etis. Kebangsaan hanya dapat mempersatukan karena dialami sebagai sesuatu yang luhur, yaitu penghisapan manusia atas manusia merupakan falsafah dasar dari penumpukan modal harus diakhiri. Lebih dari itu kebangsaan Indonesia juga mampu memberi rangsangan semangat untuk berkorban, yang mendorong warganya untuk memberikan yang terbaik bagi sesama. Semangat ini pada dasarnya sudah tertanam jauh di hati massa rakyat Indonesia dalam bentuk gotong royong, tidak hanya bermakna kebersamaan, tapi juga kerelaan dan kerendahan hati untuk berkorban demi hal yang lebih besar dan substansi.
Kenyataan sejarah yang lain menunjukkan bagaimana hidup dalam ketimpangan struktur agraria yang dalam praktek politiknya menafikan nilai-nilai kemanusiaan. Karenanya kebangsaan Indonesia memiliki semangat untuk dapat dirasakan sebagai sesuatu yang positif, adil dan luhur oleh warganya. Sehingga kebangsaan Indonesia memiliki sikap humanis. Artinya segala perjuangan demi kemajuan bangsa senantiasa menghormati keutuhan dan martabat setiap warga negara. Bahwa warga yang paling lemah pun tidak pernah boleh dimanipulasi atau dimanfaatkan atas nama kemajuan bangsa. Kebangsaan yang humanis tahu bahwa martabat bangsa akan utuh apabila martabat segenap warganya dihormati seutuhnya. Karena itu faham kebangsaan Indonesia yang humanis itu menjamin hak-hak asasi semua warganya. Pada titik ini tidak ada lagi sekat-sekat antara kawula dan gusti. Kesemuanya sama kedudukannya dalam wadah Republik Indonesia.
Inilah kemudian yang membawa kesadaran imaginasi tentang nation bagi para pendiri republik. Untuk mewujudkan kesadaran imaginasi tentang nation tersebut para pendiri republik sangat berkepentingan untuk mengadakan perombakan dan melakukan penataan ulang atas (i) pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria, (ii) peruntukkan sumber-sumber agraria, serta (iii) kebijakan politik non-kolonial. Cita-cita dari para pendiri republik untuk mengadakan perombakan dan melakukan penataan ulang struktur agraria dengan jalan reforma agraria adalah mengarah pada perombakan struktur sosial-politik yang lebih berkeadilan dan kemakmuran rakyat serta berwatak nasionalis.
3.a. Problem Awal Reforma Agraria Pasca Kolonial
Pandangan dasar bernegara di atas menuntun para pendiri republik untuk mulai menata politik agraria yang tidak lagi mengabdi pada kepentingan feodal dan modal kolonial. Kendati begitu, politik agraria mengisyaratkan tidak berada dalam ruang kosong atas kepentingan politik. Justru ia berada dalam suatu dinamika sosial-politik yang sangat kompleks. Pilihan politik suatu rezim yang berkuasa tentu saja memberikan pengaruh yang sangat besar pada pilihan politik agraria yang akan dijalankan. Terbukanya kesempatan politik dengan segera, oleh suatu rezim politik, akan dijadikan arena untuk mewujudkan reforma agraria versi pilihan politiknya.
Kesempatan politik yang terbuka mendorong agenda reforma agraria untuk segera terwujud masuk dalam, (i) arena-arena kebijakan politik lokal dan nasional, maupun (ii) praktek lapangan. Secara prinsip politik agraria ditujukan untuk membangun tatanan nasional yang mandiri dan memberi kepastian hukum kepada rakyat. Visi dasar politik agraria nasional adalah memberikan jaminan bahwa seluruh sumber-sumber agraria dapat dimanfaatkan bagi terwujudnya Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila kelima Pancasila) dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat melalui institusi negara, sebagaimana termaktub sangat jelas dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sebagaimana disebutkan di atas, upaya untuk mewujudkan politik agraria nasional tidak berada pada ruang politik kosong. Artinya gerakan reforma agraria Indonesia juga sudah berada dalam aritmetika politik dunia internasional. Karena, memang dari awal persoalan agraria ini berhubungan dengan dunia internasional. Akibat adanya strategi perjuangan politik melalui jalur diplomasi pada tingkat tertentu “mengganggu” semangat mewujudkan perjuangan penataan sumber-sumber agraria yang lebih adil dan diatur oleh kaum bumi putera. Melalui jalur diplomasi ini lahir Manifesto Politik tanggal 1 November 1945, yang menegaskan: (i) bahwa RI menghendaki perdamaian dan kerjasama dengan semua negara termasuk negara Belanda; (ii) bahwa RI sanggup menanggung segala hutang Hindia Belanda yang ada sebelum pendudukan Jepang; (iii) bahwa RI akan mengembalikan segala milik asing yang tidak diperlukan oleh negara; dan (iv) bahwa yang diambil untuk keperluan negara akan diberi ganti rugi.
Tentu saja, dijalankannya jalur diplomasi ini merupakan pukulan berat bagi gerakan kaum tani yang ingin mewujudkan penataan sumber-sumber agraria secara adil, tidak lagi berdasar atas sistem kolonial. Manifesto Politik 1 November 1945 merupakan peluang politik bagi kekuatan modal asing (yang sebelumnya menjajah) dengan elit pergerakan nasional melakukan negosiasi atas penataan sumber-sumber agraria di negara yang baru saja merdeka. Bahkan pihak internasional menyambut baik ide kompromi politik dari golongan diplomasi ini. Pihak Netherlands Indies Civil Administration (NICA) segera mengeluarkan maklumat tanggal 6 November 1945 untuk mendukung maklumat dari Indonesia.
Tentu saja ini menurunkan simpati kaum pergerakan nasional, khususnya kaum muda dan rakyat kaum tani terhadap sebagian elit republik kala itu. Memang sebagian elit republik menginginkan adanya kemerdekaan 100% terlebih dulu dari pihak Belanda, baru setelah itu dijalankan strategi diplomasi. Diplomasi bisa dijalankan kalau terdapat kedaulatan dari masing-masing pihak. Sebelum adanya pengakuan kedaulatan dari masing-masing pihak, tentu saja yang terjadi adalah diplomasi yang tidak seimbang. Adalah Tan Malaka yang melancarkan gerakan merdeka 100% tersebut. Sebuah ide yang kemudian dikukuhkan dalam Kongres I Persatuan Perjuangan di purwokerto tanggal 6 Januari 1946.
Sementara itu sejak Oktober 1945 terjadi keresahan luar biasa di daerah tanah-tanah partikelir (Particuliere Landerijen). Pada periode 1945-1950 telah berlangsung perlawanan kasar dari rakyat di atas tanah-tanah partikelir dan bekas-bekas onderneming yang identik dengan penindasan dan penghisapan terhadap kaum tani miskin oleh tuan tanah. Perlawanan kasar tersebut ditandai oleh perampokan, protes-protes sosial, hak menentukan nasib sendiri dan pembangkangan administratif. Sementara itu di wilayah perusahaan perkebunan, berbagai kekuatan kaum tani sudah menduduki dan memanfaatkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan subsistensinya.
Akibat dari adanya politik diplomasi inilah, kemudian upaya mewujudkan gagasan reforma agraria secara revolusioner tersendat. Kekalahan demi kekalahan dalam berdiplomasi, ternyata tidak menyurutkan front diplomatik Indonesia untuk bernegosiasi dengan pihak asing. Padahal dalam setiap diplomasi posisi bangsa Indonesia selalu berada sebagai pihak yang lemah. Hingga akhirnya kekalahan diplomasi yang paling fatal terjadi pada Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Semua sumber-sumber agraria yang dulu diolah oleh kolonialisme harus dikembalikan. Termasuk, setelah penyerahan kedaulatan Desember 1949, semua infrastruktur perekonomian Republik Indonesia masih dikuasai oleh pihak asing. Karenanya jalan dari reforma agraria pada periode ini terganjal oleh politik diplomasi luar negeri. Di samping itu, antara tahun 1945-1950, kekuatan kolonial masih gencar melancarkan agresi militer ke Indonesia. Tindakan agresi militer ini juga menyebabkan tersendatnya upaya untuk segera mewujudkan kemakmuran rakyat dan keadilan sosial dengan landasan yang berwatak nasional.
3.b. Langkah Percobaan Reforma Agraria
Kendati tersendat, tapi tidak menyurutkan semangat para pendiri republik untuk menjalankan gagasan reforma agraria. Berbarengan dengan masih berkobarnya semangat “revolusi sosial” dari bawah, gerakan reforma agraria maujud dalam bentuk tuntutan penghapusan sisa-sisa feodalisme. Berbagai organisasi rakyat yang tergabung dalam gerakan anti swapraja pada 29 April 1946, mengeluarkan mosi bersama menghendaki penghapusan Daerah Istimewa Surakarta. Tekanan yang luar biasa tersebut terhadap pihak Mangkunegaran, akhirnya menyatakan bahwa Mangkunegaran menghargai keingan rakyat untuk demokrasi dan keadilan sosial.
Tampaknya semangat “revolusi sosial” tersebut mampu mendorong Pemerintah RI melakukan langkah percobaan pelaksaan reforma agraria di Indonesia yang dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri. Langkah tersebut berupa dijalankannya land reform dalam skala kecil di daerah Banyumas, Jawa Tengah pada tahun 1946. Tujuan utama dari pelaksanaan land reform tersebut untuk menghapuskan hak istimewa desa perdikan, dulu bernama: Desa Pesantren, Desa Mutihan, Desa Pakuncen atau Desa Mijen.
Kemudian berdasar atas Undang-Undang No. 13 tahun 1946, hak istimewa tersebut dinyatakan tidak sesuai dengan cita-cita demokrasi dan revolusi Indonesia. Pemerintah kemudian mengambil setengah dari tanah yang begitu luas, yang dikuasai menurut hak historis oleh kepala desa dan keluarganya dan dibagikan kepada para penyakap, atau penggarap bagi hasil. Pemerintah mengganti kerugian tersebut dengan jalan 10% awalnya dengan dibayar kontan, sisanya dicicil dalam setahun lunas.
Seiring dengan berbagai gerakan anti swapraja yang semakin meluas dengan beragam tuntutannya. Gerakan ini selama bulan Mei 1946, menuntut agar pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan milik dari Kasunanan dan Mangkunegaran segera “dimasyarakatkan”, diserahkan kepada para pegawai mereka dan buruh-buruh pabrik dan perkebunan. Tentu saja pihak pemerintah sendiri pada awalnya merasa kewalahan dengan serangkaian tuntutan dari gerakan tersebut. Akhirnya melalui Menteri Dalam Negeri, pemerintah mengadakan pembicaraan dengan pihak kedua “kerajaan” tersebut. Tuntutan tersebut sangatlah rasional, mengingat demokrasi dan cita-cita keadilan sosial tidak bisa dihindari lagi di negeri yang memasuki era pasca kolonial ini.
Berbagai tindakan yang terjadi di bawah tersebut, oleh pemerintah RI dijadikan referensi untuk melanjutkan langkah percobaan dari gagasan reforma agraria. Langkah percobaan berikutnya, pemerintah bersama berbagai organisasi kaum tani (BTI, STII dan PETANI) membentuk panitia tanah konversi pada tahun 1948. Panitia tersebut mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) guna memperbaiki Peraturan Sewa Tanah dari tanah milik para Pangeran dan Bangsawan Keraton (Vorstenlandsche Grondhuurreglement). Tanah konversi yang ada di Yogyakarta dan Surakarta, selama masa penjajahan sudah selalu menimbulkan masalah, khususnya yang berhubungan dengan “uang dongklakan” dan “uang kasepan”. Pada saat sudah merdeka masalah ini perlu diatur lebih jelas. Kemudian keluarlah UU nomor 13 tahun 1948, yang berakibat ditutup 40 perusahaan gula di Yogyakarta dan Surakarta. Tujuan dari pelaksanaan ini mengakhiri persaingan mengenai penguasaan sumber-sumber agraria yang tidak seimbang, antara perusahaan gula yang besar dan kuat dengan petani yang tidak terorganisir.
IV. Postulat Pembangunan yang Berkeadilan
Perubahan agraria dapat menjadi salah satu tujuan utama dari sebuah revolusi sosial. Namun pemerintahan-pemerintahan yang lebih bertujuan untuk merintangi daripada mendorong revolusi lazimnya menganjurkan, dan kadang-kadang mencoba melakukan perubahan agraria yang kurang radikal. Namun adalah justru watak keterbatasan perubahan-perubahan yang diberlakukan itu yang lazimnya menghalangi mereka mencapi tujuan mereka yang sebenarnya: diciptakannya syarat-syarat yang menguntungkan bagi suatu peningkatan produksi pertanian (Wertheim, 1999:457).
Kendati mengalami ketersendatan sebagaimana disebutkan di atas, namun akibat desakan dari bawah dan kesadaran dari sebagian elit politik akan sebagai bangsa agraris, tentu saja untuk melaksanakan pembangunan ekonomi nasional, kaum tani merupakan subyek utama. Mengingat golongan ini merupakan golongan terbesar yang ada di Republik Indonesia. Karenanya tuntutan kaum tani Indonesia yang paling pokok, yaitu tanah harus dipenuhi. Sehingga semboyang tanah untuk kaum tani, sudah dapat dipastikan bergema di setiap negara pasca kolonial. Oleh karena, yang dibutuhkan kemudian adalah payung hukum untuk melegitimasi keinginan rakyat tani tersebut.
4.a. Mengukuh dalan Kebijakan Politik
Gaung gerakan ”revolusi sosial” dari bawah begitu kuat, ditambah lagi praktek percobaan telah dilakukan dengan baik menunjukkan kalau gagasan reforma agraria di Indonesia membutuhkan payung politik yang lebih solid. Dibentuklah Panitia Agraria Yogyakarta (PAY), berdasar Surat Penetapan Presiden No. 16, tanggal 12 Mei 1948. Panitia ini diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo, dengan anggota yang terdiri dari: pejabat utusan dari kementrian dan jawatan-jawatan, wakil organisasi-organisasi petani yang juga anggota BP KNIP, wakil dari Serikat Buruh Perkebunan dan ahli-ahli hukum, khususnya ahli hukum adat. Setelah bekerja sekian lama, PAY mampu menghasilkan sebuah laporan yang disampaikan kepada Presiden pada tanggal 3 Februari 1950.
Sementara itu untuk mewujudkan agenda bangsa yang terwujud dalam gagasan reforma agraria, pemerintah melanjutkan kepanitiaan agraria dengan membubarkan PAY pada tanggal 9 Maret 1951. Atas dasar pertimbangan perpindahan kekuasaan negara ke Jakarta dari Yogyakarta, melalui SK Presiden No. 36 tahun 1951 membentuk Panitia Agraria Jakarta (PAJ). Panitia ini mempunyai tugas yang hampir sama dengan panitia sebelumnya, yang juga diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo. Untuk semakin mengukuhkan komitmen terhadap pelaksanaan agenda reforma agraria Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 55 tahun 1955, pada tanggal 29 Maret 1955 membentuk Kementerian Agraria. Kementerian Agraria ini dibentuk pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo I. Tugas dari kementerian ini antara lain mempersiapkan pembentukan Undang-undang agraria nasional yang mengacu pada pasal 25, 37 ayat 1 dan 38 ayat 3, Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Kendati begitu PAJ masih terus melaksanakan pekerjaannya. Termasuk saat terdapat pergantian ketua PAJ dari Sarimin Reksodihardjo ke Singgih Praptodihardjo, PAJ masih terus bekerja. Sampai tahun 1956, manakala PAJ dianggap tidak mampu menyusun sebuah rancangan undang-undang, panitia ini dibubarkan. Melalui Keputusan Presiden RI No. 1 Tahun 1956, yang dikeluarkan pada tanggal 14 Januari 1956 dibentuk Panitia Negara Urusan Agraria. Ketua dari panitia ini adalah Soewahjo Soemodilogo (Sekretaris Djendral Kementerian Agraria), yang beranggotakan penjabat dari pelbagai Kementerian dan Jawatan, ahli-ahli hukum adat dan wakil-wakil dari berbagai organisasi tani. Panitia ini kemudian lebih dikenal dengan istilah Panitia Soewahjo.
Berdasar atas semua dokumen dari panitia sebelumnya, Panitia Soewahjo berhasil merumuskan sebuah rancangan undang-undang tentang agenda reforma agraria. Hasil rancangan tersebut kemudian diserahkan kepada Menteri Agraria pada tanggal 6 Februari 1958. Setelah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik Panitia Soewahjo ini dibubarkan, karena tugasnya telah selesai. Kemudian pihak Kementerian Agraria melakukan pembacaan ulang dokumen dari Panitia Soewahjo tersebut. Terdapat beberapa perubahan sistematika dan perumusan baru sejumlah pasal, sehingga menjadi dokumen baru yang lebih dikenal dengan rancangan Soenarjo (Menteri Agraria). Kemudian, rancangan ini diajukan ke Dewan Menteri pada tanggal 14 Maret 1958. Pada sidangnya ke-94 tanggal 1 April 1958, Dewan Menteri menyetujui Rancangan Soenarjo tersebut. Kemudian berdasarkan Amanat Presiden No. 1307/HK tanggal 24 April 1958, Rancangan Soenarjo diajukan ke DPR. Pada tanggal 16 Desember 1958, dalam Sidang Pleno DPR, Menteri Agraria memberikan jawaban atas pandangan umum DPR. Mengingat reforma agraria merupakan gagasan yang sangat strategis maka DPR membentuk panitia ad hoc yang diketuai oleh AM Tambunan. Panitia ad hoc ini mendapat masukan dari 2 (dua) institusi: (i) Seksi Agraria Universitas Gajah Mada yang diketuai oleh Prof. Notonagoro, dan (ii) Ketua Mahkamah Agung, Wirjono Prodjodikoro.
Kendati terdapat gonjang-ganjing politik paruh kedua tahun 1950-an, namun mengingat keberadaan gagasan reforma agraria ini sebagai agenda bangsa tetap dijalankan. Bahkan berdasarkan cantolan konstitusi, manakala Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, salah satunya tentang berlakunya kembali UUD 1945, maka Rancangan Soenarjo yang cantolannya memakai UUDS 1950 ditarik kembali dengan Surat Pejabat Presiden tanggal 23 Mei 1960 No. 1532/HK/1960. Pemerintah dengan segera melakukan penyesuaian dan penyempurnaan Rancangan Soenaryo dengan UUD 1945 dan berdasar atas Manifesto Politik Indonesia (pidato Presiden Soekarno, 17 Agustus 1959). Setelah penyempurnaan Rancangan Soenarjo berubah menjadi Rancangan Sadjarwo, mengingat pergantian Menteri Agraria dari Soenarjo ke Sadjarwo. Rancangan Sadjarwo ini kemudian disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidangnya pada tanggal 22 Juli 1960 dan oleh Kabinet Pleno dalam sidangnya 1 Agustus 1960. Berdasar atas Amanat Presiden No. 2584/HK/60 tertanggal 1 Agustus 1960, Rancangan Sadjarwo ini diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).
Selanjutnya DPR-GR melakukan serangkaian pembahasan pendahuluan dalam siding-sidang komisi yang bersifat tertutup, pemandangan umum hingga siding-sidang pleno. Setelah melakukan serangkaian pembahasan tersebut, pada tanggal 14 September 1960 DPR-GR yang merupakan representasi politik dari berbagai kekuatan politik di Indonesia (kekuatan politik Nasionalis, Islam, Komunis dan Golongan Karya) menyetujui bahwa gagasan agenda bangsa tersebut akan dijalankan. Kemudian pada hari Sabtu, 24 September 1960 RUU tersebut disahkan oleh Presiden Soekarno menjadi UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang menurut diktumnya yang kelima dapat disebut, dan selanjutnya memang lebih terkenal, sebagai Undang-undang Pokok Agararia (UUPA). UUPA diungkapkan dalam Lembaran Negara Tahun 1960 No. 104, sedang penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2043.
Disahkannya UUPA 1960 ini menegaskan kembali bahwa untuk mencapai tujuan revolusi Indonesia harus dihapuskan kelas-kelas tuan tanah, mengurangi buruh tani dan memberikan tanah hanya kepada mereka yang mengerjakan sendiri, melalui pelaksanaan Land Reform. Land Reform menjadi strategi yang mengatasi ketimpangan yang terjadi karena perbedaan penguasaan tanah. Praktek Land Reform ditujukan untuk pemerataan pendapatan dan menyusun suatu dasar bagi produktifitas yang tinggi. Pada dasarnya ada 3 (tiga) tujuan dari pembentukan UUPA. Pertama, peletak dasar hukum agraria nasional yang sekaligus merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kedua, peletak dasar kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum agraria. Artinya hanya ada satu aturan hukum agraria yang bersifat nasional yang mengakhiri politik hukum agraria kolonial yang bersifat dualistis dan rumit. Ketiga, Pelatak dasar bagi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Sementara itu untuk mencapai berbagai tujuan tersebut, dalam UUPA terkandung beberapa prinsip pendukungnya: (i) prinsip nasionalitas; (ii) prinsip hak menguasai dari Negara; (iii) prinsip tanah mengandung fungsi sosial; (iv) prinsip Land Reform; (v) prinsip perencanaan agrarian.
Pidato Menteri Agraria, Mr Sadjarwo pada tanggal 12 September 1960 di depan DPR-GR menyatakan lima tujuan landreform di Indonesia.
1. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat petani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan yang sama sekali baru secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial.
2. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan objek pemerasan.
3. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, yang berfungsi sosial. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privat bezit, yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat, bersifat perseorangan dan turun-menurun, tetapi yang berfungsi sosial.
4. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksismum dan batas minimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga dapat seorang laki-laki ataupun wanita. Dengan demikian mengikis pula sistem liberalisme dan kapitalisme atas tanah, dan memberikan perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah.
5. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya, dibarengi suatu sistem perkreditan yang khususnya ditujukan kepada golongan petani.
4.b. Tuntutan Penataan Struktur Agraria
Pada periode 1950-an ditandai dengan terjadi tarik menarik di ruang kesempatan politik antara kekuatan yang ingin mendorong percepatan agenda reforma agraria dengan pandangan colonial mode of development. Tampaknya ini merupakan keniscayaan di negara pasca kolonial, seperti Indonesia. Dominasi modal kolonial asing tidak saja masih beroperasi, tapi juga masih memainkan dominasi keuangannya pada berbagai sektor dan segala lapisan perekonomian. Untuk kasus Indonesia pada periode 1950-1957 dominasi keuangan tersebut salah satunya terpusat pada industri perkebunan. Setidaknya ada lima modal asing yang memainkan perekonomian Indonesia yang dikenal dengan the big five, NV Internatio, NV Borsumij, NV Jacobson van den Berg, NV Lindeteves, dan NV Goe Wehry & Co.
Akibat dominasi tersebut, selain masalah kemiskinan yang relatif tinggi dan kesenjangan sosial-ekonomi menjadi semakin melebar. Distribusi terhadap akses ekonomi tentu saja tidak tersebar secara merata. Menurut laporan badan statistik menunjukkan situasi perekonomian yang dihadapi Indonesia pasca penyerahan kedaulatan (1949) tingkat kesejahteraan penduduk justru merosot jauh, yang itu juga ditandai dengan turunnya tingkat kesehatan masyarakat. Pada tahun 1951 pendapatan per kapita orang Indonesia hanya mencapai sebesar 28,3 gulden, yang itu artinya lebih rendah dari pendapatan per kapita orang Indonesia pada masa krisis ekonomi dunia, jaman melaise (1930), yang mencapai sebesar 30 gulden. Tidak itu saja, perekonomian nasional juga mengalami kemunduran yang luar biasa, yang itu tampak pada produksi yang dihasilkan oleh berbagai perusahaan perkebunan.
Pada babak ini, beberapa studi menunjukkan bagaimana dominasi pemikiran yang berdasar atas pandangan colonial mode of development juga sangat gencar untuk menghentikan radikalisasi massa rakyat dalam rangka mewujudkan reforma agraria. Bisa jadi hal ini memang kelemahan elit di negara-negara pasca kolonial yang mulai meninggalkan cita-cita revolusinya, lebih memilih bernegosiasi dengan kekuatan modal kolonial. Apa yang terjadi pada negosiasi antara Indonesia dengan pihak Belanda selama Konferensi Meja Bundar (KMB), melalui Persetujuan Keuangan Ekonomi (Financieel Economische Overeenkomst –Finec) pihak Belanda mengajukan berbagai usulannya dalam rangka mewujudkan tekad keuntungan bisnisnya di bekas negara jajahannya. Akibat dari dominasi pandangan colonial mode of development tersebut proses negosiasi tersebut tanpa perlawanan yang berarti. Akibat selanjutnya cita-cita mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat terhambat. Bagi BTI, kekuasaan modal kolonial Belanda yang monopolistik dipulihkan kembali akibat KMB yang khianat, kaum monopolis. Belanda berusaha kembali merampas tanah-tanah kaum tani Indonesia.
Berbagai persoalan penghambat untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial semakin mengukuhkan pemikiran bahwa sesungguhnya reformasi agraria merupakan postulat pembangunan nasional yang berkeadilan. Kesempatan ini terus dimanfaatkan untuk mengkampanyekan gagasan ini. Pada tanggal 20 Februari 1953, Pemerintah RI mengadakan Konferensi Agraria di Jakarta yang dibuka resmi oleh Menteri Dalam Negeri Mr. Mohammad Roem yang membahas masalah-masalah politik agraria dan bagaimana birokrasi yang menyertainya.
Merupakan kenyataan sejarah pula, reforma agraria sesungguhnya adalah agenda massa rakyat pedesaan yang menginginkan keadilan dan kemakmuran ada di tangannya. Hampir semua amatan atas gerakan rakyat dipedesaan menunjukkan bahwa perubahan politik nasional mampu mempengaruhi bagaimana susunan kekuasaan di pedesaan dipertaruhkan. Distribusi kekuasaan pedesaan di negara-negara pasca kolonial ikut membentuk dan dibentuk oleh politik nasional. Karenanya tuntutannya massa rakyat tani di Indonesia pada periode 1950-an tidak lagi bersifat sektoral, tapi sudah melancarkan desakan-desakan ke negara dengan tema yang sangat nasionalistik, seperti “nasionalisasi semua tanah” dan “hak negara atas semua tanah”, serta “tanah untuk petani”.
Gerakan dari kaum rakyat inilah yang kemudian membentuk, pemerintah RI segera mengeluarkan UU No. 8 Darurat tahun 1954 yang mengatur soal penyelesaian atas pendudukan dan penggarapan tanah-tanah bekas perusahaan perkebunan. UU ini kemudian diubah dan ditambah dengan UU Darurat No. 1 tahun 1956 dan akhirnya diganti dengan UU No. 51 Prp tahun 1960 yang mengatur penyelesaian tanah-tanah bekas perkebunan, bekas hutan dan tanah-tanah lain yang telah dikerjaan oleh rakyat.
Dalam perspektif UU ini, segala tindakan menduduki dan menggarap lahan, bekas perusahaan perkebunan partikelir milik Belanda yang terlantar, oleh massa rakyat tani tidak dinyatakan sebagai perbuatan penyerobotan yang melanggar hukum, melainkan bisa diselesaikan dengan dua cara sebagai berikut: Pertama, bagi massa rakyat tani yang menduduki tanah milik perusahaan perkebunan yang telah dikuasai oleh negara, kemudian diberikan dengan sesuatu hak kepada massa rakyat tani dan penduduk lainnya setelah memenuhi syarat yang ketentuannya diatur oleh Menteri Agraria. Kedua, sementara itu bagi pihak perusahaan perkebunan yang diduduki tanpa seijin mereka tersebut maka akan diadakan penyelesaian melalui perundingan dengan keharusan memenuhi unsur-unsur: Panitia Penyelesaian, Rakyat dan Perusahaan.
Menurut Bachriadi keluarnya UU No. 8 Darurat tahun 1954 sesungguhnya merupakan “kemenangan” secara hukum bagi massa rakyat tani penggarap Indonesia. UU tersebut mengakui dan dengan sendirinya mengesahkan pendudukan lahan perkebunan partikelir di wilayah republik yang baru merdeka. Legitimasi hukum ini juga digunakan oleh berbagai kekuatan politik kaum tani bersama golongan demokratis lainnya menjalankan aksi-aksi dalam rangka pengambilalihan berbagai perusahaan-perusahaan modal kolonial Belanda. Berbagai aksi tersebut mampu mendorong Pemerintah RI untuk melakukan nasionalisasi berbagai perusahaan modal kolonial. Sayangnya, Pemerintah RI tidak mengganggu gugat keberadaan modal asing lainnya seperti BPM, Shell dan Unilever.
Tentu saja ini lagi-lagi akibat kesalahan jalannya strategi politik diplomasi, masih kuatnya pandangan colonial mode of development yang kemudian direspon oleh gerakan kaum tani di pedesaan merupakan situasi keagrariaan di Indonesia pada periode 1950-an. Pada titik inilah pandangan agenda reforma agraria menjadi tumpuan utama, menjadi postulat pembangunan nasional berkeadilan yang harus segera diwujudkan.
V. Melaksanakan Reforma Agraria sebagai Agenda Bangsa
Melaksanakan Landreform berarti melaksanakan satu bagian jang mutlak dari Revolusi Indonesia, Landreform disatu fihak berbarti menghapuskan sega hak2 kolonial atas tanah dan mengachiri penghisapan feudal setjara berangsur2, dilain fihak Landreform berarti memperkuat dan memperluas petani pemilikan tanah untuk seluruh Rakjat Indonesia, terutama kaum tani. Djalan Revolusi Kita (Djarek).Landreform sebagai bagian mutlak daripada Revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta jang berdasarkan prinsip, bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh didjadikan alat penghisapan. (Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960).
Dinamika pelaksanaan reforma agraria pada dasarnya terletak pada tarik menarik antara kekuatan pasar dan pemerintah dalam menjalankan agenda ini. Walaupun UUPA merupakan produk hukum positif yang mengalir dari Pancasila (khususnya sila Keadilan Sosial sekaligus merupakan tujuan didirikannya negara) dan UUD 1945 (khususnya pasal 33 ayat 3). Ini bukan sebagai kulminasi dari gerakan reforma agraria, tapi merupakan tahapan pertama dan terpenting dalam sejarah mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat. Sebuah tahapan yang mengakomodasi kepentingan masyarakat dalam suatu negara modern yang disesuaikan dengan cita-cita dasar kebangsaan, serta dalam hubungannya dengan dunia internasional. Sehingga yang dibutuhkan kemudian bagimana proses transformasi dalam praksis ideologi di tingkatan lapangan. Sebuah tindakan menjalan praktek politik dari reforma agraria dalam rangka mewujudkan agenda bangsa. Akan tetapi, mengingat tarik menarik pelaksanaan reforma agraria sebagaimana disebutkan di atas merupakan hal yang terelakkan dalam praktek politiknya.
Tarik menarik diantara keduanya dalam penerapannya, di negara-negara pasca kolonial merupakan keniscayaan, yang menyebabkan lambatnya pelaksanaan agenda landreform. Untuk kasus Indonesia, di samping kedua hal tersebut gangguan yang bersifat politik untuk memperoleh kembali kedaulatan atas Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. Sehingga, meskipun UUPA diundangkan tahun 1960, semua proses landreform dilakukan proses redistribusi yang sedianya dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap. Pertama, pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961. Kedua, penentuan tanah lebih serta pembagiannya kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah berdasar atas Peraturan Pemerintah No 224 tahun 1961. Ketiga, pelaksanaan UUPBH. Akan tetapi semua itu baru pada tahun 1963 tersusun daftar wilayah yang dapat diredistribusikan tanahnya, seluas 337.000 ha (Jawa, Madura, Bali dan Lombok). Kelambanan jalannya agenda landreform juga terletak pada ketidaksiapan birokrasi. Kendati terdapat kontrol yang kuat dari organisasi massa rakyat untuk menjalankan, namun watak birokrasi Indonesia kala itu masih melekat warisan dari sistem beambtenstaat. Suatu sistem kenegaraan yang ditopang oleh pegawai (pangreh praja) melalui pemerintahan yang bersifat indirect role. Akibatnya, ketidaksiapan birokrasi ini dapat dilihat dari tidak berlangsungnya koordinasi strategis antara masing-masing departemen yang terkait dalam pelaksanaan agenda landreform.
Sebagaimana disebutkan di atas, pelaksanaan reforma agraria adalah agenda kerakyatan untuk mewujudkan cita-cita kebangsaan, tentu saja pada awalnya mendapat dukungan penuh dari berbagai organisasi rakyat tani. Akibat berbagai kelambanan di atas, Barisan Tani Indonesia (BTI) yang memiliki kedekatan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan greget penuh emosi, mencoba membantu komite landreform dengan melakukan sendiri redistribusi tanah. Greget emosi yang terlalu berlebihan tersebut dalam praktek politiknya hadir dalam bentuk rasa ketidaksabaran. Tindakan sangat terkesan terlalu dini tersebut dikenal dengan istilah aksi sepihak yang kemudian melahirkan salah paham atas proses ketidaksabaran tersebut sebagai tantangan. Akibatnya menyuburkan sikap oposisi dari para tuan tanah dan ketegangan di pedesaan Jawa antara kekuatan muslim tradisional (Nahdlatul Ulama’) dengan BTI. Yang terjadi kemudian adalah tindakan yang cenderung mengarah pada politisasi dan mobilisasi yang menafikan arti pentingnya pelaksanaan agenda reforma agraria.
Kendati terdapat ketegangan kehidupan sosial-politik di pedesaan, pada akhir Desember 1964 dan 14 Januari 1965, Menteri Agraria melaporkan proses redistribusi (pembagian) tanah kelebihan di Jawa, Madura, Bali, Lombok dan Sumbawa (seluruh tahapan I) telah diselesaikan dengan baik. Tanah yang diredistribusi terdiri dari tanah milik dan tanah negara yang berlebihan, termasuk tanah kerajaan. Adapun luasan tanah yang telah diredistribusi sebelum berlangsungnya kudeta gagal pada tahun 1965 adalah tanah negara seluas 454.966 ha yang dibagikan kepada 568.862 orang. Sementara itu terdapat tanah seluas 165.764 ha yang sebagian besar berada di Sumatera Utara tidak berhasil diredistribusikan.Sebagai akibat dari ketegangan kehidupan sosial-politik di pedesaan, jalannya reforma agraria sebagai agenda bangsa tersendat. Landreform disalahpahami sebagai gerakan komunis, sehingga kekuatan politik yang kuatir dengan perkembangan PKI mulai memperlambat agenda populis tersebut. Ujung dari cara memperlambatnya adalah berlangsungnya kudeta gagal 1965. Sebagimana telah disebutkan di atas, bahwa gerakan reforma agraria tidak saja mempengaruhi tapi juga dipengarui oleh situasi politik nasional bahkan global. Walaupun kudeta gagal merupakan gerakan di perkotaan, yang merupakan bagian dari situasi politik global yaitu perang dingin juga berimplikasi pada gerakan reforma agraria di pedesan.
Berawal dari tarik menarik pelaksanaan agenda reforma agraria antara kekuatan pasar dan pemerintah, kemudian berlanjut dengan adanya ketegangan kehidupan sosial-politik di pedesaan merupakan kondisi objektif bagi kekuatan militer untuk menghentikan agenda reforma agraria. Proses penghentiannya pun mendapat legitimasi dengan adanya tragedi kemanusiaan 1965-1966, sehingga agenda reforma agraria dihentikan secara total berganti agenda pembangunan nasional yang mengabdi pada kekuatan pasar.
VI. Memfasilitasi Peran Pasar
Seakan menemukan momentunya, kekuatan pasar melalui Rezim Politik Orde Baru tampil di pucuk kekuasaan di Indonesia. Bagi rezim ini periode sebelumya dianggap lebih mengutamakan kepentingan politik yang dalam prakteknya melahirkan konflik-konflik sosial. Pagi-pagi sekali rezim politik ini membangun imaginasi politiknya bahwa pelaksanaan reforma agraria di Indonesia telah gagal dijalankan.
Dengan cepat pula, Orde Baru melakukan “tranformasi” kesalahpahaman terhadap reforma agraria. Pertama, pelaksanaan reforma agraria melahirkan konflik horisontal. Kedua, UUPA 1960 merupakan produk dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketiga, UUPA 1960 “melahirkan” tragedi kemanusiaan 1965-1966. Keempat, pelaksanaan reforma agraria harus dilaksanakan dengan jalan aksi sepihak. Kelima, pelaksanaan reforma agraria “dituduh” sebagai satu agenda politik terselubung dalam rangka perebutan kuasa. Tentu saja bisa dilanjutkan berbagai kesalahpahaman mengenai pelaksanaan reforma agraria di Indonesia pada awal tahun 1960-an.
Proses “transformasi” kesalahpahaman tersebut sengaja dilakukan dalam rangka memperkuat status quo suatu orde. Rezim politik Orde Baru dibangun atas dasar konsensus nasional yang mementingkan stabilisasi, rehabilitasi dan pembangunan nasional yang mengarah pada kepentingan pasar. Tentu saja konsensus nasional ini menolak adanya gagasan yang mendasarkan pada perubahan struktur sosial-politik dan ekonomi secara radikal.
Di lain pihak, kalangan pro pasar Internasional sedang hangat-hangatnya mengguliran suatu konsep revolusi hijau. Pada saat berkuasanya rezim politik Orde Baru pada saat yang kurang lebih bersamaan dengan dimulainya revolusi hijau di Asia. Suatu pandangan pragmatis yang dipahami dapat meningkatkan produksi pangan. Dari sinilah kemudian revolusi hijau menjadi sentral bagi paradigma pembangunan nasional Indonesia di bawah rezim politik Orde Baru. Akibatnya, ini sebagai petanda bahwa masalah-masalah mengenai pertanahan seakan menjadi hilang dari ingatan bangsa Indonesia.
Rezim politik Orde Baru tidak berniat melanjutkan agenda reforma agraria di Indonesia. Bahkan dalam program Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (REPELITA I, 1969-1974) tidak ditemui lagi secara eksplisit program agenda bangsa ini. Titik berat pembangunan yang dijalankan oleh rezim politik Orde Baru terletak pada proyek-proyek intensifikasi pertanian berskala luas dengan biaya dari bantuan luar negeri.
Bagi Orde Baru masalah reforma agraria hanya sebagai masalah teknis. Tanah bukan merupakan dasar dari proses pembangunan nasional, melainkan menjadi masalah rutin birokrasi pembangunan. Pada aras kelembagaan, yang mengurus masalah ini tidak lagi berstatus Kementerian, lebih birokrasi teknis urusan pertanahan. Portofolionya “diturunkan” pada urusan birokrasi pertanahan. Selain itu, UUPA juga “diturunkan” statusnya, tidak lagi menjadi payung hukum pada masalah-masalah agraria. Selanjutnya Orde Baru melahirkan beberapa UU yang bertentangan dengan UUPA, seperti UU No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan UU No. 5 tahun 1967 tentang ketentuan pokok tentang kehutanan. Tidak itu saja, Orde Baru juga menghapus legitimasi partisipasi organisasi kaum tani dalam program reforma agraria. Padahal reforma agraria merupakan agenda kerakyatan yang aktor utamanya adalah kaum tani itu sendiri. Rezim politik Orde Baru membentuk organisasi massa petani “boneka”, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Akibat berbagai kebijakan yang bersifat by pass approach, ciri utama dari Orde Baru adalah munculnya berbagai kasus sengketa agraria. Bentuk sengketanya bermacam-macam: akibat dari penggusuran yang sewenang-wenang, masalah ganti rugi, masalah izin lokasi, pemaksaan penanaman tanaman tertentu dan pelecehan hak-hak masyarakat adat. Setidaknya ada 4 (empat) pola konflik yang terjadi sepanjang berkuasanya rezim politik Orde Baru: (i) rakyat melawan pemerintah; (ii) rakyat melawan perkebunan dan kehutanan; (iii) rakyat melawan swasta; (iv) rakyat melawan militer.
Dalam praktek politiknya rezim Orde Baru menjalan tiga tingkatan untuk menghentikan perlawanan rakyat. Pertama, memaksakan proses ideologisasi negara. Sepanjang Orde Baru praktek ideologisasi ini dilakukan secara massif dalam bentuk penataran-penataran P4 untuk semua lapisan masyarakat. Kedua, seringkali melakukan stigmatisasi. Apabila terdapat kelompok masyarakat yang menolak gagasan pembangunan mengingat selalu melakukan praktek penggusuran secara sewenang-wenang, dengan segera kelompok tersebut mendapat tuduhan: anti pembangunan, melawan negara, PKI, anti Pancasila dan sederet stigma politik. Ketiga, tidak jarang melakukan scurity approach, apabila terjadi perlawanan dari rakyat. Berbagai kasus sengketa agraria sepanjang berkuasanya rezim politik Orde Baru penyelesaiannya selalu dengan pola kekerasan. Dan pihak rezim selalu cenderung berpihak pada kekuatan modal.
Oleh karena itu pada periode ini sepi pembicaraan resmi mengenai reforma agraria. Kendati begitu terdapat gerakan reforma agraria baru yang tidak memiliki kaitan dengan masa lampau. Secara otodidak, melihat penindasan oleh bangsa sendiri terhadap kaum tani Indonesia, mampu mendorong kesadaran baru pada paruh awal tahun 1990-an. Gerakan reforma agraria secara “sepoi-sepoi” ini dipelopori oleh aktifis gerakan rakyat, aktifis mahasiswa. Sehingga gelora gerakan reforma agraria di Indonesia saat ini tidak bisa menafikan keberadaan gerakan pada periode ini.
VII. Menyiapkan Reforma Agraria dari Bawah
Pada prinsipnya gerakan agraria adalah suatu usaha, upaya dan kegiatan yang dilakukan secara kolektif atau bersama, dengan tujuan untuk merombak tata sosial di bidang agraria, karena tata yang ada dianggap tidak adil dan tidak sesuai sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. (GWR, 196) Karenanya yang dibutuhkan adalah kesadaran bersama untuk tidak saja atas pentingnya pelaksanaan agenda reforma agraria di Indonesia, tapi juga ia menjadi gerakan bersama.
Kalau dilihat saat ini proses gagasan reforma agraria belum menjadi agenda bersama di negara. Memang pada pertengahan tahun 2005, Ketua BPN-RI Dr. Joyo Winoto menggelorakan kembali gagasan reforma agraria ini. Kemudian disusunlah rencana PPAN. Dalam perjalanannya, konstelasi politik nasional agaknya belum kondusif untuk menggelorakan gerakan reforma agraria dalam arti yang sesungguhnya. Bahkan BPN-RI menghadapi “fait a compli”. Belum sempat pimpinan BPN-RI menyusun rencana reforma agraria yang genuine, keburu kedahulan oleh pernyataan pemerintah guna membagi-bagikan seluas 9,15 juta hektar kepada rakyat. Citranya kemudian “seolah-olah” reforma agraria itu sekedar mambagi-bagi tanah. Celakanya lagi timbul tafsiran, “RA yang dibagi hanya tanah negara, sementara tanah-tanah luas yang dikuasai oleh segelintir orang dan sudah bersertifikat tidak akan dikutak-kutik. Padahal, ujung dari reforma agraria adalah merombak struktur social-ekonomi masyarakat, menata-ulang struktur sebaran pemilikan, penguasaan, dan pengunaan tanah untuk kepentingan rakyat kecil. Sehingga seharusnya semua akan terkena perombakan. Sekarang yang terjadi adalah reforma agraria disandera oleh land distribution, bagi-bagi tanah dalam arti di atas, dan land registration (pendaftaran tanah) pemberian hak di atas tanah negara berupa sertifikat pemberian hak di atas tanah negara.
Sehingga dibutuhkan beberapa beberapa syarat untuk ia menjadi gerakan bersama.
 Niat kuat (strong will) dari Pemerintah RI untuk menyusun agenda ini menjadi agenda negara dan gerakan bersama. Landasan untuk pelaksanaan atas gerakan ini juga sangat kuat. UUPA 1960 merupakan kebijakan yang lahir dari aliran falsafah negara yaitu Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Hal itu kemudian diperkuat dengan TAP MPR/IX/1999.
 Untuk pelaksanaannya dibutuhkan dukungan dari birokrasi, baik level yang paling tinggi hingga paling rendah. Tidak itu saja, perlunya dukungan dari kekuatan militer, mengingat penataan ulang struktur agraria yang lebih adil memiliki arti strategis. Penataan tersebut tidak hanya dalam arti geografis bagi militer, tapi juga sebagai alat produksi (unsur logistik). Mengorganisir pertanahanan suatu negara harus dimengerti mengorganisir dalam hubungan tanah, rakyat dan militer. Lebih jauh dari itu menyusun kekuatan pertahanan berarti juga menjadikan hubungan tanah, rakyat dan militer sebagai sesuatu kekuatan yang integral.
 Terdapatnya kesadaran masyarakat tidak saja bagi subjek landreform, tapi juga masyarakat secara keseluruhan. Kesadaran ini berbasiskan bahwa pelaksanaan agenda reforma agraria sebagai postulat pembangunan nasional berkeadilan. Tidak berhenti bagi subjek penerima manfaat langsung (penerima lahan). Lebih dari itu, dalam jangka panjang manfaat ini juga diterima oleh masyarakat lainnya.
 Untuk obyektifitas pelaksanaan gerakan reforma agraria dibutuhkan suatu proses penelitian yang komprehensif. Agaknya sudah lama tidak ada proses penelitian yang komprehensif yang melibatkan organisasi rakyat yang mandiri. Proses partisipasi dari masyarakat bisa dibangun dari proses penelitian ini.*)
Tulisan ini tidak akan lahir tanpa diskusi mendalam dengan beberapa kawan yang tergabung dalam Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria (LIBBRA): Noer Fauzi Rahman, Laksmi Savitri dan Muhammad Shohibuddin. Hutang intelektual kepada mereka sangat susah untuk dibayar. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk pelunasan, namun lebih sebagai bagian dari dialog dari LIBRA itu sendiri.
Dosen (muda) Sejarah Agraria di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Jember. Ketua Majelis Perwakilan Anggota (MPA) Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) periode 2005-2009 dan Sekretaris Majelis Syarikat Indonesia periode 2006-2009, keduanya adalah NGO’s Nasional yang berkantor di Yogyakarta.
Pelaksanaan agenda Reforma Agraria di Indonesia pada paruh awal tahun 1960-an, oleh sebagian kalangan dinyatakan gagal. Kalau dilihat lebih jauh sebenarnya pelaksanaan tersebut tidak mengalami kegagalan, karena baru tahap pertama berjalan kemudian digagalkan oleh perilaku politik yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan tahun 1965-1966.
Terdapat 7 (tujuh) tujuan PPAN: (i) menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil; (ii) mengurangi kemiskinan; (iii) menciptakan lapangan kerja; (iv) memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah; (v) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; (vi) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; dan (vii) meningkatkan ketahanan pangan rakyat Indonesia dan ketahanan energi nasional.
historical explanation Proses eksplanasi suatu peristiwa sejarah (bisa jadi) lebih mudah untuk ditampilkan, ketimbang melakukan analisis mengenainya. Lebih dalam, analisis suatu proses sejarah seringkali tampak untuk menuntun dari, ketimbang menuju suatu kompleksitas pemahaman peristiwa sejarah. Donald L. Donham, History, Power, Ideology: Central Issues in Marxism and Anthropology, (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1999), hal:140. Eksplanasi sejarah adalah usaha membuat suatu unit peristiwa masa lampau intelligible (dimengerti secara cerdas). Artinya, proses eksplanasi itu berhubungan dengan hermeneutics dan verstehen (menafsirkan dan mengerti) dalam jangka waktu yang panjang, dan dalam bentuk peristiwa tunggal. Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hal: 1 dan 10.
Secara sederhana terdapat tiga babak sejarah kuasa kolonial di pedesaan Jawa: (i) masa VOC abad XVII sampai dengan XVIII; (ii) masa Tanam Paksa 1830-1870; dan (iii) masa system perkebunan swasta 1870-1941. Clifford Geertz, Agriculture Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia, (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1963), hal 69-70.
Kendati begitu, kaum tani menderita penindasan ganda oleh kolonialis asing dan para penguasa pribumi feodal yang picik. Dalam perkataan lain, kolonial Belanda telah memainkan peranan penguasa lokal dalam rangka menjalankan eksploitasinya, atau yang lebih dikenal dengan istilah indirect rule. Lihat S. Dingley, The Peasant’s Movement in Indonesia, (Berlin: R.L. Prager, TT), hal. 9.
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten, Terj. Hassan Basri, Bur Rasuanto (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).
Berbagai perlawanan dan pemberontakan yang dilancarkan oleh massa rakyat tersebut ditumpas dengan beragam variasi operasi. Untuk skala kecil, pemerintah kolonial cukup melakukan kriminalisasi atas perlawanan rakyat. Apabila masih terjadi perlawanan biasanya dijalankan operasi-operasi represif yang pada tingkat tertentu yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara dalam pengendalian keseharian pemerintah kolonial melalui kerja sama dengan pihak feodalisme dengan pola indirect rule.
Untuk gerakan rakyat pada periode ini lihat, Arsip Nasional Republik Indonesia, Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah N0. 7, Sarekat Islam Lokal, (Jakarta, 1975).
Lebih detailnya lihat pada S. Dingley, Op. cit, khususnya bab III.
Ibid, khususnya bab IV.
Kemerosotan ekonomi di Hindia Belanda menyebabkan defisit luar biasa bagi negara kolonial Belanda. Menurut laporan Jan O.M. Broek, Economic Development of The Netherlands Indies, (Institute of Pacific Relation, 1942) kondisi tersebut terjadi hingga tahun 1935. Untuk salah satu kasus di perkebunan lihat pada AA.199. Memorie van Overgave van de Aftrende Residen Besoeki, 1931-1934.
Mengenai soal pendudukan Fasisme Jepang di Indonesia, baca Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol, (Jakarta: Grasindo, 1993).
Isi Pembukan UUD 1945.
Paragraf ini mengacu pada pikiran Sudaryanto, Naskah-naskah Pemikiran Pergerakan Kebangsaan: Membasiskan Pancasila, (Buku 1), (Untuk kalangan sendiri, 2008).
Mengenai berbagai kenyataan sejarah yang termaktub di atas bisa dilihat lebih detail pada Franz Magnis-Suseno, Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan; 79 Tahun Sesudah Sumpah Pemuda, (Yogyakarta: Impulse dan Kanisius, 2008).
Setidaknya terdapat dua rumusan yang mewarnai pandangan atas persoalan keterlibatan dunia internasional ini. Masing-masing pandangan tersebut saling kontradiksi. Pertama, pandangan dari kalangan yang beranggapan bahwa keterlibatan dunia internasional untuk ikut dalam proses awal kemerdekaan sangat dibutuhkan, khususnya masalah investasi asing, untuk sementara dibutuhkan guna menunjang pertumbuhan perekonomian nasional. Kedua, pandangan radikal yang memandang pentingnya dengan segera mungkin diselesaikan oleh republik yang baru berdiri dengan membebaskan perekonomian nasional dari pengaruh kolonial. Inilah yang secara sederhana dirumuskan dalam pendekatan diplomasi dan pendekatan radikal.
Iman Soetiknjo, Politik Agraria Nasional; Hubungan Manusia dengan Tanah yang Berdasarkan Pancasila, cetakan ke 4 (Yogyakarta: UGM Press, 1994), hal, 4.
Tuntutan ini oleh BP-KNIP kemudian diterima dan diakui sebagai program nasional yang representatif. Untuk melihat konsep-konsep mengenai merdeka 100% dapat dilihat pada Tan Malaka, Merdeka 100 %, Tiga Percakapan Ekonomi Politik, (Tangerang: Marjin Kiri, 2005).
Ini merupakan bagian dari revolusi sosial. Lihat Imam Soedjono, Yang Berlawan; membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI, (Yogyakarta: Resist Book, 2006), hal 92-93. Untuk peristiwa revolusi sosial di tempat lain, lihat Anton Lucas, Peristiwa Tiga Daerah, Revolusi dalam Revolusi, (Jakarta: Pustaka Jaya Grafiti, 1989).
Tri Chandra Aprianto, Petani dan Proses Nasionalisasi Perusahaan Perkebunan di Jember, Laporan Penelitian, (PMB LIPI – NIOD (Belanda), 2005.
Imam Soedjono, loc cit, 130-131
(Soemardjan, 1984:104)
Tri Chandra Aprianto, Petani dan Proses Nasionalisasi Perusahaan Perkebunan di Jember, Laporan Penelitian, (PMB LIPI – NIOD (Belanda), 2005.
Lihat Asmu, Untuk Demokrasi, Tanah, Produksi dan Irian Barat, Laporan Umum DPP BTI Kepada Kongres Nasional ke VI BTI 23 s/d 29 Djuli 1962, (Jakarta: DPP BTI, 1962).
Dianto Bachriadi, Warisan Kolonial yang Tidak Diselesaikan: Konflik dan Pendudukan Tanah di Tapos dan Badega, Jawa Barat, dalam Anu Lounela dan R. Yando Zakaria (ed.), Berebut Tanah, Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, (Yogyakarta: Insist Press, 2002), hal 41.
Lihat isi UU No. 8 Darurat tahun 1954, khususnya pasal 2, 11 dan bagian Penjelasan Umum pasal 1 dan 7 yang menegaskan hal ini. Bahkan dalam pasal 7, bagian Penjelasan Umum dari UU Darurat ini dinyatakan secara tegas bahwa tindakan yang akan diambil oleh pemerintah adalah memberikan kedudukan hukum kepada rakyat yang telah menduduki tanah-tanah bekas perkebunan asing tersebut. Lihat juga pada UU No. 51 Prp Tahun 1960 yang menetapkan bahwa “penjelesaian pemakaian tanah2 perkebunan dan hutan dan lain2 harus memperhatikan kepentingan pemakai tanah, jaitu kaum tani jang bersangkutan, kepentingan penduduk lainnja didaerah tempat letak perkebunan, dengan ketentuan bahwa terlebih dahulu harus diusahakan tertjapainya penjelesaian dengan djalan musjawarah dengan fihak2 jang bersangkutan.”
Dalam suatu diskusi, Gunawan Wiradi menyatakan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia pada paruh awal tahun 1960-an tidak bisa dikatakan gagal. Yang terjadi sesungguhnya adalah reforma agraria baru dijalankan, kemudian secara brutal dihentikan.
Proses transformasi kesalahpahaman terhadap Reforma Agraria ini juga melahirkan kegagalan merekonstruksi peristiwa yang sebenarnya terjadi. Akibatnya terjadi proses pendefinisian reforma agraria lebih bermakna pejorative. Akhirnya di dunia akademik, terdapat proses penghilangan satu pondasi ilmu yang berwatak kerakyatan. Mengenai hal ini lihatTri Chandra Aprianto, Tafsir(an) Landreform dalam Alur Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: KARSA dan FF, 2005).
Dalam konsensus nasional tersebut yang dinginkan oleh Orde Baru adalah pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Lihat Nugroho Notosusanto, Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hal 32-33. Pada hal penyusun konsep Pancasila adalah Bung Karno. Walaupun sebagai konseptor Bung Karno dianggap sebagai orang yang menyelewengkan Pancasila. Artinya, Bung Karno “mati” oleh konsepnya sendiri yang dipakai oleh Orde Baru.
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, (Yogyakarta: INSIST, KPA dan Pustaka Pelajar, 2000) hal 141.
Sepanjang berkuasanya Orde Baru secara istilah pun, rakyat tidak lagi sebagai warga negara, tapi sebagai massa. Akibat dari adanya kebijakan massa mengambang (floating mass), dimana rakyat tidak boleh lagi berpolitik. Karena rakyat hanya massa yang tidak lagi berorrganisasi dan tidak boleh menyampaikan aspirasi politik. Keberadaan massa ini hanya dibutuhkan pada saat Pemilu. Massa ini dimobilisasi dalam rangka kepentingan politik sesaat. Bukan hadir sebagai warga negara yang memiliki kesempatan untuk menentukan hak politiknya.
Untuk kepeloporan gerakan reforma agraria yang baru ini Noer Fauzi dalam suatu diskusi sering menyebutnya dengan istilah generasi “Pemula dan Pemulai”. Pemula karena sejak dimatikannya gerakan reforma agraria di Indonesia pada tahun 1965-1966, generasi ini sebagai pemulanya pada peiode 1990-an. Sebagai pemulai karena generasi 1990-an mengawali gerakan reforma agraria tidak memiliki kaitan dengan actor masa lampaunya.
Mengenai masalah ini lihat, Kolonel Soeharjo, Tanah, Rakyat dan Tentara (Kalimantan Timur), (Djakarta: Penerbit PT Pentja, 1962) hal. 8-9.
Paling tidak di Indonesia pernah melaksanakan penelitian yang bersifat massif dan melibatkan organisasi kaum tani. Lihat DN. Aidit, Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa, Laporan Singkat Tentang Hasil Riset Mengenai Keadaan Kaum Tani dan Gerakan Tani Djawa Barat, (Jakarta: Jajasan Pembangunan, 1964).




UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
UNDANGUNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan
suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan
spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila
dan UndangUndang
Dasar 1945;
b. bahwa pembangunan perekonomian nasional opada era
globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha
sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/ jasa yang
memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan
kepastian atas barang dan/jasa yang diperoleh dari
perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
c. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari
proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan
kesejahteraan masyarakat serta kepatian atas mutu, jumlah dan
keamanan barang dan/ atau jasa yang diperolehnya di pasar;
d. bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen
perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian,
kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang
bertanggung jawab;
e. bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan
konsumen di Indonesia belum memadai
Halaman 1
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
f. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan
perangkat peraturan perundangundangan
untuk mewujudkan
keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku
usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;
g. bahwa untuk itu perlu dibentuk undangundang
tentang
perlindungan konsumen.
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 UndangUndang
Dasar 1945
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan : UNDANGUNDANG
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undangundang
ini yang dimaksud dengan :
1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersamasama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.
Halaman 2
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat
untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan
bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
6. Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang
dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang
akan dan sedang diperdagangkan.
7. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
8. Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah
Republik Indonesia.
9. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga nonpemerintah
yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan
menangani perlindungan konsumen.
10. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat
yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen.
11. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani
dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
12. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk
membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
13. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi
bidang perdagangan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Halaman 3
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan
keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Pasal 3
Perlindungan konsumen bertujuan :
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut
hakhaknya
sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum
dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen
Pasal 4
Hak konsumen adalah :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
Halaman 4
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i. hakhak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan
lainnya.
Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah :
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah :
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
Halaman 5
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hakhak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan
lainnya.
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
BAB IV
PERBUATAN YANG DILARANG
BAGI PELAKU USAHA
Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang:
Halaman 6
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundangundangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan
atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/
pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan
lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan
yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Halaman 7
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 9
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolaholah:
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,
standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau
guna tertentu;
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciriciri
kerja atau aksesori
tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j. menggunakan katakata
yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap;
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk
diperdagangkan.
(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Halaman 8
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat
pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang
mengelabui/ menyesatkan konsumen dengan;
a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolaholah
telah memenuhi standar mutu
tertentu;
b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolaholah
tidak mengandung cacat
tersembunyi;
c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk
menjual barang lain;
d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan
maksud menjual barang yang lain;
e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan
maksud menjual jasa yang lain;
f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku
Halaman 9
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah
yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal 13
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang
dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain
secara cumacuma
dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak
sebagaimana yang dijanjikannya.
(2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan
cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang dilarang melakukan dengan
cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis
terhadap konsumen.
Pasal 16
Halaman 10
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang
dijanjikan;
b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17
(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga
barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau
jasa;
d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau
persetujuan yang bersangkutan;
f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundangundangan
mengenai
periklanan.
(2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar
ketentuan pada ayat (1).
BAB V
KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
Halaman 11
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undangundang
ini.
Halaman 12
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau
jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang
atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan
yang berlaku.
(3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih
lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila
pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan
konsumen.
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat
yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal 21
Halaman 13
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila
importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar
negeri.
(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa
asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan
tanggungjawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan
pembuktian.
Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi
ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1),ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau
mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Pasal 24
(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila:
a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun
atas barang dan/atau jasa tersebut;
b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan
barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan
contoh, mutu, dan komposisi.
Halaman 14
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab
atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang
membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan
perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25
(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam
batas waktu sekurangkurangnya
1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang
dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan
yang diperjanjikan.
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan
ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas
perbaikan;
b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang
disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian
yang diderita konsumen, apabila:
a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk
diedarkan;
Halaman 15
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
b. cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya
jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggungjawab
pelaku usaha.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 29
(1) Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan
konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri
teknis terkait.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan perlindungan konsumen.
(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi upaya untuk:
a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha
dan konsumen;
Halaman 16
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c. meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 30
(2) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan
ketentuan peraturan perundangundangannya
diselenggarakan oleh pemerintah,
masyarakat,dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
(3) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(4) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
(5) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata
menyimpang dari peraturan perundangundangan
yang berlaku dan membahayakan
konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan
peraturan perundangundangan
yang berlaku.
(6) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat
disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
(7) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
Bagian Pertama
Halaman 17
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas
Pasal 31
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan
Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 32
Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik
Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 33
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan
pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di
Indonesia.
Pasal 34
(1) Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan
Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:
a. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka
penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundangundangan
yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen;
d. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
e. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan
memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
Halaman 18
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
f. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
g. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan
Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerjasama dengan organisasi konsumen
internasional.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 35
(1) Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiriatas seorang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurangkurangnya
15 (lima belas)
orang dan sebanyakbanyaknya
25 (duapuluh lima) orang anggota yang mewakili
semua unsur.
(2) Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
RepublikIndonesia.
(3) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional
selama (3) tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya.
(4) Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
Pasal 36
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur:
a. pemerintah;
Halaman 19
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
b. pelaku usaha;
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
d. akademis; dan
e. tenaga ahli.
Pasal 37
Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. berbadan sehat;
c. berkelakuan baik;
d. tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan
f. berusia sekurangkurangnya
30 (tiga puluh) tahun.
Pasal 38
Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena:
a. meninggaldunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. bertempat tinggal di luar wilayah Republik Indonesia;
d. sakit secara terus menerus;
e. berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
f. diberhentikan.
Pasal 39
(1) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen, Nasional dibantu
oleh sekretariat.
(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang
diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
(3) Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Halaman 20
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 40
(1) Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk
perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
(2) Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut
dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 41
Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional bekerja berdasarkan
tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 42
Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada
anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan
perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IX
LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN
SWADAYA MASYARAKAT
Pasal 44
(1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat.
Halaman 21
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk
berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
(3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:
a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan
kewajiban dan kehatihatian
konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan
konsumen;
d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima
keluhan atau pengaduan konsumen;
e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 45
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Halaman 22
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undangundang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,
gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pasal 46
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan
sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban
yang tidak sedikit.
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Halaman 23
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 47
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu
untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang
diderita oleh konsumen.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal 48
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang
peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
BAB XI
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Pasal 49
(1) Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II
untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen,
seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. berbadan sehat;
c. berkelakuan baik;
d. tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
f. berusia sekurangkurangnya
30 (tiga puluh) tahun.
Halaman 24
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur
konsumen, dan unsur pelaku usaha.
(4) Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikitdikitnya
3
(tiga) orang, dan sebanyakbanyaknya
5 (lima) orang.
(5) Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 50
Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1)
terdiri atas:
a. ketua merangkap anggota;
b. wakil ketua merangkap anggota;
c. anggota.
Pasal 51
(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
sekretariat.
(2) Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan
anggota sekretariat.
(3) Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan
penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 52
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui
mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
Halaman 25
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam
Undangundang
ini;
e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap Undangundang
ini;
i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
Undangundang
ini.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian
sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal 54
(1) Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian
sengketa konsumen membentuk majelis.
Halaman 26
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(2) Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan sedikitsedikitnya
3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera.
(3) Putusan majelis final dan mengikat.
(4) Ketantuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat
keputusan menteri.
Pasal 55
Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam
waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.
Pasal 56
(1) Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan
penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku
usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
(2) Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14
(empatbelas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
(3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa
konsumen.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan
oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan
tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan
perundangundangan
yang berlaku.
(5) Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Pasal 57
Halaman 27
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan
eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
Pasal 58
(1) Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (duapuluh satu) hari sejak
diterimanya keberatan.
(2) Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung Republik Indonesia.
(3) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 59
(1) Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
dilingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang
perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undangundang
Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang lain atau badan hukm yang diduga
melakukan tindak pidana dibidang perlindungan konsumen;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan peristiwa tindak pidana dibidang perlindungan konsumen;
Halaman 28
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
e. melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta
melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan
bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang perlindungan konsumen.
(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.
BAB XIII
S A N K S I
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Pasal 60
(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal
25 dan Pasal 26.
(2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00
(duaratus juta rupiah).
(3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundangundangan.
Bagian Kedua
Halaman 29
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf
e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f
dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman
tambahan, berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.
Halaman 30
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Segala ketentuan peraturan perundangundangan
yang bertujuan melindungi konsumen
yang telah ada pada saat undangundang
ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
undangundang
ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Undangundang
ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undangundang
ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 20 April 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 20 April 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Halaman 31
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
ttd.
AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999
NOMOR 42
PENJELASAN
ATAS
UNDANGUNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
I. UMUM
Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang
perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang
dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas
yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas
ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batasbatas
wilayah suatu negara,
sehingga barang dan/jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun
produksi dalam negeri.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena
kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta
semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa
sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Disisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku
usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang
lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesarbesarnya
oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian
standar yang merugikan konsumen.
Halaman 32
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan
haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.
Oleh karena itu, Undangundang
Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan
hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan
pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku
usaha, yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan
yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat merugikan
kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan di atas, perlu upaya pemberdayaan konsumen
melalui pembentukan undangundang
yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara
integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para
pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim
berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam
menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Disamping itu, Undangundang
tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya
tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal itu
dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Undangundang
tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada
filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan
hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka
membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan
Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara UndangUndang
Dasar 1945.
Disamping itu, Undangundang
tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan
merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen,
Halaman 33
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
sebab sampai pada terbentuknya Undangundang
tentang Perlindungan Konsumen ini telah
ada beberapa undangundang
yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:
a. Undangundang
Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undangundang
Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undangundang;
b. Undangundang
Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
c. Undangundang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokokpokok
Pemerintahan di Daerah;
d. Undangundang
Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
e. Undangundang
Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
f. Undangundang
Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
g. Undangundang
Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
h. Undangundang
Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri;
i. Undangundang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
j. Undangundang
Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
k. Undangundang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
l. Undangundang
Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
m. Undangundang
Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
n. Undangundang
Nomor 12 Tahun 1997 tentang perubahan Atas Undangundang
Hak
Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undangundang
Nomor 7 Tahun 1987;
o. Undangundang
Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undangundang
Nomor
6 Tahun 1989 tentang Paten;
p. Undangundang
Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undangundang
Nomor
19 Tahun 1989 tentang Merek;
q. Undangundang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
r. Undangundang
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
s. Undangundang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
t. Undangundang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undangundang
Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual
(HAK) tidak diatur dalam Undangundang
tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah
Halaman 34
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
diatur dalam Undangundang
Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undangundang
Nomor 13 Tahun 97 tentang Paten, dan Undangundang
Nomor 14 Tahun 1997 tentang
Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang
melanggar ketentuan tentang HAKI.
Demikian juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup tidak diatur dalam
Undangundang
tentang Perlindungan Konsumen ini karena telah diatur dalam Undangundang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai kewajiban
setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan
menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Dikemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undangundang
baru yang pada
dasarnya memuat ketentuanketentuan
yang melindungi konsumen. Dengan demikian,
Undangundang
tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang
mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara.
Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan
konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian
dari proses suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undangundang
ini
adalah konsumen akhir.
Angka 3
Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi,
koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lainlain.
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Halaman 35
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Lembaga ini dibentuk untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya
perlindungan konsumen serta menunjukkan bahwa perlindungan konsumen menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Badan ini dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen yang efisien,
cepat, murah dan profesional.
Angka 12
Cukup jelas
Angka 13
Cukup jelas
Pasal 2
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima)
asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya
bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
Halaman 36
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun
spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial
lainnya.
Halaman 37
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pelaku usaha dilarang membedabedakan
konsumen dalam memberikan pelayanan.
Pelaku usaha dilarang membedabedakan
mutu pelayanan kepada konsumen.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji
atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Halaman 38
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Jangka waktu penggunaan/ pemanfaatannya yang paling baik adalah terjemahan dari
kata ‘best before’ yang biasa digunakan dalam label produk makanan.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Ayat (2)
Barangbarang
yang dimaksud adalah barangbarang
yang tidak membahayakan
konsumen menurut peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Ayat (3)
Sediaan farmasi dan pangan yang dimaksud adalah yang membahayakan konsumen
menurut peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Halaman 39
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Ayat (4)
Menteri dan menteri teknis berwenang menarik barang dan/atau jasa dari peredaran.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan jumlah tertentu dan jumlah yang cukup adalah jumlah yang
memadai sesuai dengan antisipasi permintaan konsumen.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 14
Halaman 40
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan
pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Halaman 41
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Halaman 42
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 22
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbalik.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cacat timbul di kemudian hari adalah sesudah tanggal yang mendapat jaminan dari
pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun lisan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan kualifikasi barang adalah ketentuan standardisasi yang telah
ditetapkan pemerintah berdasarkan kesepakatan semua pihak.
Halaman 43
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Jangka waktu yang diperjanjikan itu adalah masa garansi
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang bertanggung jawab dengan menteri teknis adalah menteri yang bertanggung
jawab secara teknis menurut bidang tugasnya.
Halaman 44
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Ayat (3)
Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar
dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei.
Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika
diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lainlain
yang disyaratkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan
dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Halaman 45
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Keberpihakan kepada konsumen dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang
tinggi terhadap konsumen (wise consumerism).
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Jumlah wakil setiap unsur tidak harus sama.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 36
Huruf a
Cukup jelas
Halaman 46
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Akademis adalah mereka yang berpendidikan tinggi dan anggota perguruan tinggi.
Huruf e
Tenaga ahli adalah mereka yang berpengalaman di bidang perlindungan konsumen.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Sakit secara terus menerus sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Halaman 47
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional
adalah keputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota.
Pasal 41
Yang dimaksud dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional
adalahkeputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memenuhi syarat, antara lain, terdaftar dan diakui serta
bergerak di bidang perlindungan konsumen.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Halaman 48
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup
kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap
diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang
bersengketa.
Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang
dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen)
tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak
bertentangan dengan undangundang
ini.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Undangundang
ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok
atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benarbenar
dirugikan dan dapat
dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.
Halaman 49
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Tolok ukur kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit yang dipakai
adalah besar dampaknya terhadap konsumen.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 47
Bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang
menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan
konsumen tersebut.
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Unsur konsumen adalah lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau
sekelompok konsumen.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Halaman 50
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam badan
penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Halaman 51
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Halaman 52
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Halaman 53
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 65
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3821
Halaman 54



































Undang Undang No. 23 Tahun 1992
Tentang : Kesehatan
Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor : 23 TAHUN 1992 (23/1992)
Tanggal : 17 SEPTEMBER 1992 (JAKARTA)
Sumber : LN 1992/100; TLN NO. 3495
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a. bahwa kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 melalui
pembangunan nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi
derajat kesehatan, yang besar artinya bagi pengembangan dan
pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan sebagai modal bagi
pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
seluruh masyarakat Indonesia;
c. bahwa dengan memperhatikan peranan kesehatan di atas, diperlukan
upaya yang lebih memadai bagi peningkatan derajat kesehatan dan
pembinaan penyelenggaraan upaya kesehatan secara menyeluruh dan
terpadu;
d. bahwa dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat
sebagaimana dimaksud butir b dan butir c, beberapa undang- undang
di bidang kesehatan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan dan tuntutan pembangunan kesehatan;
e. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu ditetapkan
Undang-undang tentang Kesehatan;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.
2. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau
masyarakat.
3. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
4. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan.
5. Transplantasi adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan
organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang
lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan
organ dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
6. Implan adalah bahan berupa obat dan atau alat kesehatan yang
ditanamkan ke dalam jaringan tubuh untuk tujuan pemeliharaan
kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, pemulihan
kesehatan, dan atau kosmetika.
7. Pengobatan tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan
cara, obat, dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman dan
keterampilan turun temurun, dan diterapkan sesuai dengan norma
yang berlaku dalam masyarakat.
8. Kesehatan matra adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan fisik dan mental guna menyesuaikan diri
terhadap lingkungan yang berubah secara bermakna baik lingkungan
darat, udara, angkasa, maupun air.
9. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan
kosmetika.
10. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
11. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin, implan yang tidak
mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit serta
memulihkan kesehatan pada manusia dan atau untuk membentuk
struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
12. Zat aktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan
ketergantungan psikis.
13. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian
mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan
distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep doktcr,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan
obat tradisional.
14. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang
diperlukan untuk menyclenggarakan upaya kesehatan.
15. Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat adalah suatu cara
penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan
asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan
dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilaksanakan
secara praupaya.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan
kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, serta
kepercayaan akan kemampuan dan kckuatan sendiri.
Pasal 3
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 4
Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat
kesehatan yang optimal.
Pasal 5
Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan perseorangan, keluarga, dan
lingkungannya.
BAB IV
TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 6
Pemerintah bertugas mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan
upaya keschatan.
Pasal 7
Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan
terjangkau oleh masyarakat.
Pasal 8
Pemerintah bertugas menggerakkan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan dan pembiayaan kesehatan, dengan memperhatikan fungsi
sosial sehingga pelayanan keschatan bagi masyarakat yang kurang mampu
tetap terjamin.
Pasal 9
Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
BAB V
UPAYA KESEHATAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 10
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat,
diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan,
peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rchabilitatif)
yang dilaksanakan secara menycluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Pasal 11
(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 dilaksanakan melalui kegiatan :
a. kesehatan keluarga;
b. perbaikan gizi;
c. pengamanan makanan dan minuman;
d. kesehatan lingkungan;
e. kesehatan kerja;
f. kesehatan jiwa;
g. pemberantasan penyakit;
h. penyembuhan penyakit dan pemulihan kcschatan;
i. penyuluhan kesehatan masyarakat;
j. pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
k. pengamanan zat adiktif;
1. kesehatan sekolah;
m. kesceatan olahraga;
n. pengobatan tradisional
o. keschatan matra.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) didukung oleh sumber daya kesehatan.
Bagian Kedua
Kesehatan Keluarga
Pasal 12
(1) Kesehatan keluarga diselenggarakan untuk mewujudkan keluarga
sehat, kecil, bahagia, dan sejahtera.
(2) Kesehatan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
kesehatan suami istri, anak, dan anggota keluarga lainnya.
Pasal 13
Kesehatan suami istri diutamakan pada upaya pengaturan kelahiran data
rangka menciptakan ketuarga yang sehat dan harmonis.
Pasal 14
Kesehatan istri meliputi kesehatan pada masa prakehamilan, kehamilan,
pascapersalinan dan masa di luar kehamilan, dan persalinan.
Pasal 15
(1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwa ibu
hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
(2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan :
a. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya
tindakan tersebut;
b. oleh tenaga keschatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung
jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami
atau keluarganya;
d. pada sarana kesehatan tertentu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 16
(1) Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya
terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan.
(2) Upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan
ketentuan :
a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan, ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum
berasal;
b. dilakukan oleh tenaga keschatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu;
c. pada sarana kesehatan tertentu.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan di luar
cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
(1) Kesehatan anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan
perkembangan anak.
(2) Kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
melalui peningkatan kesehatan anak dalam kandungan, masa bayi,
masa balita, usia prasekolah, dan usia sekolah.
Pasal 18
(1) Setiap keluarga melakukan dan mengembangkan kesehatan keluarga
dalam keluarganya.
(2) Pemerintah membantu pelaksanaan dan mengembangkan kesehatan
keluarga melalui penyediaan sarana dan prasarana atau dengan
kegiatan yang menunjang peningkatan kesehatan keluarga.
Pasal 19
(1) Kesehatan manusia usia lanjut diarahkan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan dan kemampuannya agar tetap produktif.
(2) Pemerintah membantu penyelenggaraan upaya kesehatan manusia
usia lanjut untuk meningkatkan kualitas hidupnya secara optimal.
Bagian Ketiga
Perbaikan Gizi
Pasal 20
(1) Perbaikan gizi diselenggarakan untuk mewujudkan terpenuhinya
kebutuhan gizi.
(2) Perbaikan gizi meliputi upaya peningkatan status dan mutu gizi,
pencegahan, penyembuhan, dan atau pemulihan akibat gizi salah.
Bagian Keempat
Pengamanan Makanan dan Minuman
Pasal 21
(1) Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk
melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak
memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan
keschatan.
(2) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau
label yang berisi :
a. bahan yang dipakai;
b. komposisi setiap bahan;
c. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa;
d. ketentuan lainnya.
(3) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan
atau persyaratan kesehatan dan atau membahayakan kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang untuk diedarkan,
ditarik dari peredaran, dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Ketentuan mengenai pengamanan makanan dan minuman
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayal (2), dan ayat (3)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Kesehatan Lingkungan
Pasal 22
(1) Kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas
lingkungan yang sehat.
(2) Kesehatan lingkungan dilaksanakan terhadap tempat umum,
lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum, dan
lingkungan lainnya.
(3) Kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air dan udara,
pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi dan
kebisingan, pengendalian vektor penyakit, dan penyehatan atau
pengamanan lainnya.
(4) Setiap tempat atau sarana pelayanan umum wajib memelihara dan
meningkatkan lingkungan yang sehat sesuai dengan standar dan
persyaratan.
(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan kesehatan lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Kesehatan Kerja
Pasal 23
(1) Kesehatan kerja diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas
kerja yang optimal.
(2) Kesehatan kerja meliputi pclayanan kesehatan kerja, pencegahan
penyakit akibat kerja, dan syarat kesehatan kerja.
(3) Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja.
(4) Ketentuan mengenai kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Kesehatan Jiwa
Pasal 24
(1) Kesehatan jiwa diselenggarakan untuk mewujudkan jiwa yang schat
secara optimal baik intelektual maupun emotional.
(2) Kesehatan jiwa meliputi pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
jiwa, pencegahan dan penanggulangan masalah psikososial dan
gangguan jiwa, penyembuhan dan pemulihan penderita gangguan
jiwa.
(3) Kesehatan jiwa dilakukan oleh perorangan, lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan, lingkungan masyarakat,
didukung sarana pelayanan kesehatan jiwa dan sarana lainnya.
Pasal 25
(1) Pemerintah melakukan pengobatan dan perawatan, pemulihan, dan
penyaluran bekas penderita gangguan jiwa yang telah selesai
menjalani pengobatan dan atau perawatan ke dalam masyarakat.
(2) Pemerintah membangkitkan, membantu, dan membina kegiatan
masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan masalah
psikososial dan gangguan jiwa, pengobatan dan perawatan penderita
gangguan jiwa, pemulihan serta penyaluran bekas penderita ke dalam
masyarakat.
Pasal 26
(1) Penderita gangguan jiwa yang dapat menimbulkan gangguan terhadap
keamanan dan ketertiban umum wajib diobati dan dirawat di sarana
pelayanan keschatan jiwa atau sarana pelayanan kesehatan lainnya.
(2) Pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa dapat dilakukan
atas permintaan suami atau istri atau wali atau anggota keluarga
penderita atau atas prakarsa pejabat yang bertanggung jawab atas
kcamanan dan ketertiban di wilayah setcmpat atau hakim pengadilan
bilamana dalam suatu perkara timbul persangkaan bahwa yang
bersangkutan adalah penderita gangguan jiwa.
Pasal 27
Ketentuan mengenai kesehatan jiwa dan upaya penanggulangannya
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Pemberantasan Penyakit
Pasal 28
(1) Pemberantasan penyakit diselenggarakan untuk menurunkan angka
kesakitan dan atau angka kematian.
(2) Pemberantasan penyakit dilaksanakan terhadap penyakit menular dan
penyakit tidak menular.
(3) Pemberantasan penyakit menular atau penyakit yang dapat
menimbulkan angka kesakitan dan atau angka kematian yang tinggi
dilaksanakan sedini mungkin.
Pasal 29
Pemberantasan penyakit tidak menular dilaksanakan untuk mencegah dan
mengurangi penyakit dengan perbaikan dan perubahan perilaku masyarakat
dan dengan cara lain.
Pasal 30
Pemberantasan penyakit menular dilaksanakan dengan upaya penyuluhan,
penyelidikan, pengebalan, menghilangkan sumber dan perantara penyakit,
tindakan karantina, dan upaya lain yang diperlukan.
Pasal 31
Pemberantasan penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah dan
penyakit karantina dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang
yang berlaku.
Bagian Kesembilan
Penyembuhan Penyakit dan
Pemulihan Kesehatan
Pasal 32
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan keschatan diselenggarakan
untuk mengembalikan status kesehatan akibat penyakit,
mengembalikan fungsi badan akibat cacat atau menghilangkan cacat.
(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan
pengobatan dan atau perawatan.
(3) Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu
kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(4) Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu
kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(5) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan cara lain
yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 33
(1) Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat
dilakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, transfuse
darah, implan obat dan atau alat kesehatan, serta bedah plastik dan
rekonstruksi.
(2) Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan
kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial.
Pasal 34
(1) Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
(2) Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus
memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada
persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan
transplantasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
(1) Transfusi darah hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara transfusi darah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
(1) Implan obat dan atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan implan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 37
(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga
keschatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan
dilakukan di sarana keschatan tertentu.
(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan
norma yang berlaku dalam masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan
rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
Pasal 38
(1) Penyuluhan kesehatan masyarakat diselenggarakan guna
meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan
masyarakat untuk hidup sehat, dan aktif berperan serta dalam upaya
kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai penyuluhan kesehatan masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesebelas
Pengamanan Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan
Pasal 39
Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk
melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan
sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu
dan atau keamanan dan atau kemanfaatan.
Pasal 40
(1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan obat harus memenuhi
syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya.
(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat
kesehatan harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang
ditentukan.
Pasal 41
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan sctelah
mendapat izin edar.
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus
memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak
menyesatkan.
(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan
penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi
persyaratan mutu dan atau kcamanan dan atau kemanfaatan, dapat
disita dan dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 42
Pekerjaan kefarmasian harus dilakukan dalam rangka menjaga mutu sediaan
farmasi yang beredar.
Pasal 43
Ketentuan tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat keschatan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Belas
Pengamanan Zat Adiktif
Pasal 44
(1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif
diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan
perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.
(2) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat
adiktif harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang
ditentukan.
(3) Ketentuan mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Belas
Kesehatan Sekolah
Pasal 45
(1) Keschatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan
hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga
peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis
dan optimal menjadi sumber daya manusia yang lebih bcrkualitas.
(2) Keschatan sekolah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan melalui sekolah atau melalui lembaga pendidikan lain.
(3) Ketentuan mengenai kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat Belas
Kesehatan Olahraga
Pasal 46
(1) Kesehatan olahraga diselenggarakan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan melalui kegiatan olahraga.
(2) Kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan melalui sarana olahraga atau sarana lain.
(3) Ketentuan mengenai kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima Belas
Pengobatan Tradisional
Pasal 47
(1) Pengobatan traditional merupakan salah satu upaya pengobatan dan
atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran atau ilmu
keperawatan.
(2) Pengobatan traditional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) perlu
dibina dan diawasi untuk diarahkan agar dapat menjadi pengobatan
dan atau perawatan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan kcamanannya.
(3) Pengobatan tradisional yang sudah dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan kcamanannya perlu terus ditingkatkan dan
dikembangkan untuk digunakan dalam mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal bagi masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai pengobatan tradisional sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam Belas
Kesehatan Matra
Pasal 48
(1) Kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan
diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal
dalam lingkungan matra yang serba berubah.
(2) Kesehatan matra meliputi kesehatan lapangan, kesehatan kelautan
dan bawah air, serta kesehatan kedirgantaraan.
(3) Ketentuan mengenai kesehatan Matra sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
SUMBER DAYA KESEHATAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 49
Sumber daya kesehatan merupakan semua perangkat keras dan perangkat
lunak yang diperlukan sebagai pendukung penyelenggaraan upaya
kesehatan, meliputi :
a. tenaga kesehatan;
b. sarana kesehatan;
c. perbekalan kesehatan;
d. pembiayaan kesehatan;
e. pengelolaan kesehatan;
f. penelitian dan pengembangan keschatan,
Bagian Kedua
Tenaga Kesehatan
Pasal 50
(1) Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan
kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau
kewenangan tenaga kesehatan yang bcrsangkutan.
(2) Ketentuan mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga keschatan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 51
(1) Pengadaan tenaga kesehatan untuk memenuhi kebutuhan diselenggarakan
antara lain melalui pendidikan dan pelatihan yang
dilaksanakan olch pemerintah dan atau masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyclenggaraan pendidikan dan
pelatihan tenaga keschatan ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 52
(1) Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan dalam rangka
pemeralaan pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai penempatan tenaga kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 53
(1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
(2) Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
(3) Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pcmbuktian, dapat melakukan
tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan
dan keselamatan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dcngan Peraturan Pemerintah.
Pasal 54
(1) Terhadap tenaga keschatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian
data melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kalalaian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi, dan tata kerja
Majelis Disiplin Tenaga Keschatan ditetapkan dcngan Keputusan
Presiden.
Pasal 55
(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian
yang dilakukan tenaga kesehatan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Sarana Kesehatan
Pasal 56
(1) Sarana kesehatan meliputi balai pengobatan, pusat kesehatan
masyarakat, rumah sakit umum, rumah sakit khusus, praktik dokter,
praktik dokter gigi, praktik dokter spcsialis, praktik dokter gigi
spesialis, praktik bidan, toko obat, apotek, pedagang besar farmasi,
pabrik obat dan bahan obat, laboratorium, sekolah dan akademi
kesehatan, balai pelatihan kesehatan, dan sarana kesehatan lainnya.
(2) Sarana kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat.
Pasal 57
(1) Sarana kesehatan berfungsi untuk melakukan upaya kesehatan dasar
atau upaya kesehatan rujukan dan atau upaya kesehatan penunjang.
(2) Sarana kesehatan dalam penyelenggaraan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tetap memperhatikan fungsi sosial.
(3) Sarana kesehatan dapat juga dipergunakan untuk kepentingan
pendidikan dan pelatihan serta penclitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan.
Pasal 58
(1) Sarana kesehatan tertentu yang diselenggarakan masyarakat harus
berbentuk badan hukum.
(2) Sarana kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh pemerintah.
Pasal 59
(1) Semua penyelenggaraan sarana kesehatan harus memiliki izin.
(2) Izin penyelenggaraan sarana kesehatan diberikan dengan memperhatikan
pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara memperolch izin
penyelenggaraan sarana kesehatan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Keempat
Perbekalan Kesehatan
Pasal 60
Perbekalan keschatan yang diperlukan dalam penyelenggaraan upaya
kesehatan meliputi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan lainnya.
Pasal 61
(1) Pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar dapat terpenuhinya
kebutuhan sediaan farmasi dan alat kesehatan serta perbekalan
lainnya yang terjangkau oleh masyarakat.
(2) Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa sediaan farmasi dan
alat keschatan dilaksanakan dengan memperhatikan pemenuhan
kebutuhan, kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan dengan
pemerataan penyediaan perbekalan kesehatan.
(3) Pemerintah membantu penyediaan perbekalan kesehatan yang
menurut pertimbangan diperlukan olch sarana kesehatan.
Pasal 62
(1) Pengadaan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dibina
dan diarahkan agar menggunakan potensi nasional yang tersedia
dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup termasuk
sumber daya alam dan sosial budaya.
(2) Produksi sediaan farmasi dan alat keschatan harus dilakukan dengan
cara produksi yang baik yang berlaku dan memenuhi syarat-syarat
yang ditetapkan dalam farmakope Indonesia atau buku standar
lainnya dan atau syarat lain yang ditetapkan.
(3) Pemerintah mendorong, membina, dan mengarahkan pemanfaatan
obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
Pasal 63
(1) Pekerjaan kefarmasiaan dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan
pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan olch tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan pekerjaan kefarmasian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 64
Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kelima
Pembiayaan Kesehatan
Pasal 65
(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan dibiayai olch pemerintah dan atau
masyarakat.
(2) Pemerintah membantu upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, terutama upaya kesehatan bagi masyarakat rentan.
Pasal 66
(1) Pemerintah mengembangkan, membina, dan mendorong jaminan
pemeliharaan kesehatan masyarakat sebagai cara, yang dijadikan
landasan setiap penyerlenggaraan pemeliharaan kesehatan yang
pembiayaannya dilaksanakan secara praupaya, berasaskan usaha
bersama dan kekeluargaan.
(2) Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat merupakan cara
penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan dan pembiayaannya,
edikelola secara terpadu untuk tujuan meningkatkan derajat
kesehatan, wajib dilaksanakan olch setiap penyclenggara.
(3) Penyelenggara jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat harus
berbentuk badan hukum dan memiliki izin operasional serta
kepesertaannya bersifat aktif.
(4) Ketentuan mengenai penyclenggaraan jaminan pemeliharaan
kesehatan masyarakat ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Pengelolaan Kesehatan
Pasal 67
(1) Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan olch pcmerintah dan
atau masyarakat diarahkan pada pengembangan dan peningkatan
kcmampuan agar upaya kesehatan dapat dilaksanakan secara
berdayaguna dan berhasilguna.
(2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengendalian
program serta sumber daya yang dapat menunjang peningkatan
upaya kesehatan.
Pasal 68
Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah dilaksanakan
olch perangkat kesehatan dan badan pemerintah lainnya, baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah.
Bagian Ketujuh
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Pasal 69
(1) Penelitian dan pengembangan kcsehatan dilaksanakan untuk memilih
dan menetapkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang
diperlukan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan.
(2) Penelitian, pengembangan, dan penerapan hasil penclitian pada
manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan
memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.
(3) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kesehatan pada manusia harus dilakukan dengan
memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai penclitian, pengembangan, dan penerapan hasil
penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 70
(1) Dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan dapat dilakukan
bedah mayat untuk penyelidikan sebab penyakit dan atau sebab
kematian serta pendidikan tenaga keschatan.
(2) Bedah mayat hanya dapat dilakukan koleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dengan
memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 71
(1) Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan beserta sumber dayanya.
(2) Pemerintah membina, mendorong, dan menggerakkan swadaya
masyarakat yang bergerak di bidang keschatan agar dapat lebih
berdayaguna dan berhasilguna.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara peran serla masyarakat di
bidang keschatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 72
(1) Peran serta masyarakat untuk memberikan pertimbangan dalam ikut
menentukan kebijaksanaan pemerintah pada penyelenggaraan
keschatan dapat dilakukan mclalui Badan Pertimbangan Kesehatan
Nasional, yang beranggotakan tokoh masyarakat dan pakar lainnya.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan, tugas pokok, fungsi, dan tata
kerja Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 73
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan upaya kesehatan.
Pasal 74
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 diarahkan untuk
1. mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal;
2. terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan pelayanan dan perbekalan
kesehatan yang cukup, aman, bermutu, dan terjangkau olch seluruh
lapisan masyarakat;
3. melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan kejadian yang
dapat menimbulkan gangguan dan atau bahaya terhadap kesehatan;
4. memberikan kemudahan dalam rangka menunjang peningkatan upaya
kesehatan;
5. meningkatkan mutu pengabdian profesi tenaga kesehatan.
Pasal 75
Ketentuan mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dan
Pasal 74 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 76
Pemerintah melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan upaya kesehatan, baik yang dilakukan oleh
pemerintah maupun masyarakat.
Pasal 77
Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif terhadap tenaga
kesehatan dan atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 78
Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 79
(1) Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia juga kepada
pejabat pegawai negeri sipil tertentu di Departemen Kesehatan diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3209) untuk melakukan penyidikan tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta
keterangan tentang tindak pidana di bidang kesehatan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang kesehatan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan
hukum schubungan dengan tindak pidana di bidang keschatan;
d. melakukan pemeriksaan atas surat dan atau dokumen lain
tentang tindak pidana di bidang keschatan;
e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang
bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kesehatan;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti
yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang
kesehatan.
(3) Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 80
(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu
terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja menghimpun dana dari masyarakat
untuk menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan, yang tidak
berbentuk badan hukum dan tidak memiliki izin operasional serta tidak
melaksanakan ketentuan tentang jaminan pemeliharaan keschatan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) dan ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(3) Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan
komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan
tubuh atau transfuse darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
(4) Barang siapa dengan sengaja :
a. mengedarkan makanan dan atau minuman yang tidak
memenuhi standar dan atau persyaratan dan atau
membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (3);
b. memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa
obat atau bahan obat yang tidak memenuhi syarat farmakope
Indonesia dan atau buku standar lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 81
(1) Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan segaja :
a. melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1);
b. melakukan implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (1);
c. melakukan bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana
denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh jula rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja :
a. mengambil organ dari seorang donor tanpa memperhatikan
kesehatan donor dan atau tanpa persetujuan donor dan ahli
waris atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (2);
b. memproduksi dan atau mengedarkan alat keschatan yang tidak
memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);
c. mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa
izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);
d. menyelenggarakan penelitian dan atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan pada manusia tanpa
memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan
serta norma yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3); dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau
pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (scratus empat
puluh juta rupiah).
Pasal 82
(1) Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja :
a. melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4);
b. melakukan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (1);
c. melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (1);
d. melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (1);
e. melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
ayat (2);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (scratus juta rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja :
a. melakukan upaya kehamilan diluar cara alami yang tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(2);
b. memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa
obat tradisional yang tidak memenuhi standar dan atau
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);
c. memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa
kosmetika yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);
d. mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang
tidak memenuhi persyaratan penandaan dan informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2);
e. memproduksi dan atau mengedarkan bahan yang mengandung
zat adiktif yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan
yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(2);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 83
Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81, dan
Pasal 82 ditambah seperempat apabila menimbulkan luka berat atau
sepertiga apabila menimbulkan kematian.
Pasal 84
Barang siapa :
1. mengedarkan makanan dan atau minuman yang dikemas tanpa
mencantumkan tanda atau label sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (2);
2. menyelenggarakan tempat atau sarana pelayanan umum yang tidak
memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan lingkungan yang
sehat sebagamna dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4);
3. menyelenggarakan tempat kerja yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3);
4. menghalangi penderita gangguan jiwa yang akan diobati dan atau
dirawat pada sarana pelayanan kesehatan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1);
5. menyelenggarakan sarana kesehatan yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) atau
tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1);
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau
pidana denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta
rupiah).
Pasal 85
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81, dan
Pasal 82 adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 adalah
pelanggaran.
Pasal 86
Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang ini dapat
ditetapkan denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 87
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari :
1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembukaan Apotek
(Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 18);
2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1953 tentang Penunjukan Rumah
Sakit-Rumah Sakit Partikulir Yang Merawat Orang-orang Miskin dan
Orang-orang Yang Kurang Mampu (Lembaran Negara Tahun 1953
Nomor 48);
3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2068);
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene Untuk Usahausaha
Bagi Umum (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2475);
5. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 79, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2576);
6. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran
Negara Tahun 1963 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2580);
7. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1964 tentang Wajib Kerja Tenaga
Paramedis (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 106, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2698);
8. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene (Lembaran
Negara Tahun 1966 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2804);
9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa
(Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 23, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2805);
pada saat diundangkannya Undang-undang ini masih tetap berlaku,
sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan yang
baru berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 88
(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini sarana kesehatan tertentu
yang diselenggarakan oleh masyarakat yang belum berbentuk badan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1), tetap dapat
melaksanakan fungsinya sampai dengan disesuaikan bentuk badan
hukumnya.
(2) Penyesuaian bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib dilaksanakan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak
tanggal mulai berlakunya Undang-undang ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 89
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka :
1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembukaan Apotek
(Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 18);
2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1953 tentang Penunjukan Rumah
Sakit-Rumah Sakit Partikulir Yang Merawat Orang-orang Miskin dan
Orang-orang Yang Kurang Mampu (Lembaran Negara Tahun 1953
Nomor 48);
3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2068);
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene Untuk Usahausaha
Bagi Umum (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2475);
5. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 79, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2576);
6. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran
Negara Tahun 1963 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2580);
7. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1964 tentang Wajib Kerja Tenaga
Paramedis (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 106, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2698);
8. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene (Lembaran
Negara Tahun 1966 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara, Nomor
2804);
9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa
(Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 23, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2805);
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 90
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undangundang
ini dengan pcnempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggat 17 September 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MOERDIONO

1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2006
TENTANG
PENGESAHAN INTERNATIONAL TREATY ON PLANT GENETIC RESOURCES
FOR FOOD AND AGRICULTURE
(PERJANJIAN MENGENAI SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN
UNTUK PANGAN DAN PERTANIAN)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tujuan nasional Negara Republik Indonesia sebagaimana dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
b. bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati sehingga perlu dilestarikan dan dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat;
c. bahwa sumber daya genetik tanaman terus menerus mengalami kemerosotan akibat rendahnya pemanfaatan sumber daya genetik tanaman dan berubahnya praktik pertanian tradisional;
d. bahwa untuk mendukung ketahanan pangan dan pertanian yang berkelanjutan perlu pelestarian dan pemanfaatan sumber daya genetik tanaman;
e. bahwa untuk menghadapi perubahan lingkungan dan dinamika permintaan konsumen, diperlukan cadangan sumber daya genetik tanaman guna pemuliaan tanaman;
f. bahwa untuk penyediaan sumber daya genetik tanaman diperlukan upaya pelestarian dan pemanfaatan sumber daya genetik baik di tingkat nasional maupun secara global;
g. bahwa petani telah mengembangkan sumber daya genetik tanaman selama berabad-abad yang menjadi sumber benih bagi pertanian yang berkelanjutan, sehingga diperlukan pengakuan dan penghargaan;
h. bahwa untuk mewujudkan ketahanan pangan dan membangun pertanian berkelanjutan, diperlukan kerja sama internasional dan upaya global;
i. bahwa kesadaran secara global akan pentingnya sumber daya genetik tanaman bagi ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan telah mendorong kesepakatan untuk menetapkan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya

DEPARTEMEN PERTANIAN - RI (23 SEPTEMBER 2005) 2

Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian) pada tanggal 3 November 2001, dalam Konferensi ke-31 (tiga puluh satu) FAO;
j. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h dan huruf i, perlu mengesahkan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman) dengan Undang-Undang;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1); Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 20; Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);

Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL TREATY ON PLANT GENETIC RESOURCES FOR FOOD AND AGRICULTURE (PERJANJIAN MENGENAI SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PANGAN DAN PERTANIAN)
Pasal 1
Mengesahkan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian), yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 20 Maret 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
DEPARTEMEN PERTANIAN - RI (23 SEPTEMBER 2005) 3
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Maret 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2006
Salinan sesuai dengan aslinya
DEPUTI MENTERI SEKRETARIS NEGARA
BIDANG PERUNDANG-UNDANGAN,
ttd
ABDUL WAHID
DEPARTEMEN PERTANIAN - RI (23 SEPTEMBER 2005) 4
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2006
TENTANG
PENGESAHAN INTERNATIONAL TREATY ON PLANT GENETIC RESOURCES
FOR FOOD AND AGRICULTURE
(PERJANJIAN MENGENAI SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN
UNTUK PANGAN DAN PERTANIAN)
I. UMUM
Adanya pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, dan kompetisi pemanfaatan sumber daya lahan dan air yang makin tinggi, serta degradasi sumber daya alam dan lingkungan akan mengancam pemantapan ketahanan pangan yang dapat mengakibatkan krisis pangan. Menyadari hal itu, Pemerintah telah mencanangkan revitalisasi pertanian. Salah satu sasaran revitalisasi pertanian adalah pencapaian ketahanan pangan yang berkelanjutan. Hal ini dapat dicapai apabila dapat dipelihara dan ditingkatkannya kemampuan nasional dalam memproduksi pangan. Kemampuan ini dapat dibangun antara lain dengan memanfaatkan keanekaragaman sumberdaya genetik untuk merakit varietas unggul yang dapat merespon dinamika permintaan dan perubahan lingkungan.
Keanekaragaman hayati Indonesia merupakan rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa wajib dijaga (secured), dilestarikan, dan dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainable). Kewajiban tersebut dilakukan dengan maksud agar keanekaragaman hayati tetap menjadi sumber dan penunjang kehidupan rakyat Indonesia serta makhluk hidup lainnya, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.
Keanekaragaman hayati terdiri atas keanekaragaman tingkat ekosistem, tingkat jenis, dan tingkat genetik, yang mencakup makhluk hidup beserta interaksi antarmakhluk hidup serta interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya.
Keanekaragaman hayati pada sistem pertanian telah mengalami kemerosotan yang nyata. Hal ini ditandai dengan semakin sedikitnya jenis tanaman penyedia kebutuhan pangan pokok yang mengancam terwujudnya ketahanan pangan. Apabila kondisi ini dibiarkan terus berlangsung, maka kemampuan nasional untuk meningkatkan produksi pangan melalui perakitan varietas unggul akan menurun. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya krisis pangan di masa datang.
Masyarakat membutuhkan keanekaragaman genetik dalam pertanian untuk menghadapi perubahan lingkungan, termasuk pergeseran dinamika populasi hama dan penyakit, gulma, perubahan iklim, dan perubahan selera masyarakat.
Ketersediaan keanekaragaman sumber daya genetik terus menerus dibutuhkan, karena varietas tanaman selalu berada pada kondisi interaksi dengan faktor lingkungan, ekonomi, dan industri pertanian. Ketika salah satu faktor lingkungan atau ekonomi berubah, tanaman yang diusahakan di lahan harus disesuaikan dengan perubahan tersebut. Untuk itu diperlukan
DEPARTEMEN PERTANIAN - RI (23 SEPTEMBER 2005) 5
cadangan sumber daya genetik guna merakit varietas tanaman baru. Cadangan sumber daya genetik ini diperoleh dari pelestarian keanekaragaman genetik tanaman.
Pada tingkat dunia berbagai spesies baik yang sudah dibudidayakan maupun yang dimanfaatkan secara langsung dari alam, hanya sejumlah kecil saja yang menjadi komoditas pertanian, bahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan hanya empat jenis saja yang menjadi andalan, yaitu padi, gandum, kentang dan jagung. Di Indonesia, sumber pangan pokok terbatas pada padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar dan sagu. Sementara itu sebagian besar keanekaragaman hayati sumber pangan yang ada di Indonesia masih belum dimanfaatkan secara optimum. Oleh karena itu, upaya pelestarian dan pemanfaatan sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian menjadi sangat penting, termasuk mengakses sumber daya genetik tanaman dalam Lampiran 1 Perjanjian ini.
Kebutuhan manusia akan pangan terus-menerus meningkat dalam jumlah dan macamnya, sehingga tersedianya sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian menjadi sangat penting. Kepentingan ini telah mendorong petani dan pemulia tanaman untuk merakit varietas-varietas baru tanaman dengan mutu yang lebih baik dan dengan nilai nyata yang lebih tinggi. Di satu pihak, petani mengembangkan varietas secara tradisional dengan jangka waktu penggunaan yang relatif lebih lama, sehingga varietas yang dikembangkan selalu dilestarikan dan dirawat secara turun temurun menjadi “ras temurun” (land races). Di pihak lain, pemulia tanaman pangan selalu berusaha untuk menciptakan varietas-varietas baru yang lebih produktif, dalam waktu yang relatif lebih singkat dengan menggunakan teknologi modern.
Dalam upaya pemuliaan tanaman, tidak jarang varietas modern hasil pemuliaan akan menggeser varietas lama. Perkembangan pembuatan varietas-varietas baru ini berlangsung terus-menerus, sehingga varietas modern lama akan menjadi varietas lama yang akan tergeser oleh varietas yang lebih modern, dengan akibat makin menyusutnya keanekaragaman sumber daya genetik. Untuk itu diperlukan upaya pengembangan kemampuan petani dan pemulia dalam perakitan varietas unggul tanaman.
Indonesia memerlukan berbagai sumber daya genetik baik dari dalam negeri maupun yang tidak tersedia di dalam negeri untuk pemuliaan tanaman dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan pencadangan di masa mendatang. Sehubungan dengan kebutuhan tersebut, Indonesia perlu melakukan kerja sama global untuk dapat mengakses sumber daya genetik yang dimaksud. Selain itu perangkat peraturan perundang-undangan yang mendukung, perlu dipersiapkan baik di pusat maupun di daerah.
Pengembangan sumber daya genetik tanaman di Indonesia dilakukan melalui kegiatan koleksi, eksplorasi, inventarisasi, konservasi, dan dokumentasi. Pemerintah melakukan inventarisasi koleksi sumber daya genetik, untuk kemudian menyusun program pengembangannya dalam mengantisipasi kondisi sumber daya genetik di masa mendatang. Perjanjian Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian membantu negara-negara berkembang yang kurang memiliki kendali terhadap sumber daya genetik yang diperlukan di negaranya untuk dapat mengakses komoditas yang tersedia di koleksi negara atau lembaga internasional lain. Sudah selayaknya dan bahkan keharusan bagi Indonesia untuk mengesahkan perjanjian ini dan pembentukan perangkat kelembagaan yang diperlukan.
1.1. Latar Belakang dan Tujuan
Sejak Perang Dunia Kedua berakhir, kebutuhan pangan dunia semakin meningkat. Untuk menjawab tantangan tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengajak Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organisation—FAO) pada tahun 1945
DEPARTEMEN PERTANIAN - RI (23 SEPTEMBER 2005) 6
untuk menjadi salah satu badan khusus PBB. FAO membidangi pertanian, kehutanan, perikanan dan pembangunan masyarakat pedesaan. Pada tahun 1948, Indonesia secara resmi menjadi anggota FAO dan telah memperoleh manfaat dari keanggotaan tersebut untuk pembangunan pertanian dan juga untuk mewujudkan ketahanan pangan.
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, diperlukan upaya untuk meningkatkan produksi barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan pangan dan produk pertanian. Namun demikian laju peningkatan produksi pangan dan pertanian secara global ternyata tidak dapat mengejar laju pertambahan penduduk, sehingga muncul kerawanan pangan di berbagai kawasan dunia.
Berbagai upaya, khususnya penelitian dan pengembangan pertanian, diarahkan untuk mengatasi kekurangan pangan, untuk dapat memenuhi kebutuhan kenaikan populasi penduduk dunia. Dalam kaitan ini FAO telah mengembangkan strategi dan kebijakan pangan dan pertanian dunia. Pada tahun 1971 didirikan Kelompok Konsultatif untuk Riset Pertanian Internasional (Consultative Group on International Agricultural Research–CGIAR), oleh kelompok yang berupa asosiasi negara, organisasi internasional dan regional, serta yayasan swasta, untuk mendukung sistem pusat penelitian dan program pertanian di seluruh dunia. CGIAR berperan dalam pelestarian keanekaragaman sumber daya genetik dengan membentuk Pusat-Pusat Riset Pertanian Internasional (International Agricultural Research Centres—IARCs).
Intensifikasi pertanian dengan pengembangan irigasi dan penggunaan sarana dan prasarana produksi pertanian serta ekstensifikasi lahan pertanian secara besar-besaran yang dikenal dengan Revolusi Hijau telah mampu meningkatkan produktivitas secara nyata. Namun demikian, kecerobohan di tingkat operasional Revolusi Hijau ini menimbulkan berbagai dampak negatif, baik pada lingkungan, keanekaragaman hayati pertanian maupun sosial ekonomi masyarakat.
Sebagai kelengkapan dari Revolusi Hijau ini, pada awal tahun 1970-an diluncurkan program Pembangunan Daerah Pedesaan Terpadu (Integrated Rural Development—IRD) dengan menerapkan masukan lengkap yang berupa benih, bahan kimia, irigasi, mekanisasi, kredit, dan disertai penyuluhan. Akan tetapi dalam program pengembangan ini, sumber daya genetik dan keanekaragaman hayati tidak menjadi simpul penting. Akibatnya ialah terjadinya penggeseran varietas lama oleh varietas baru. Hal ini terjadi terus-menerus, sehingga keanekaragaman sumber daya genetik menyusut dan terancam kelestariannya. Secara umum telah diidentifikasi bahwa penyebab hilangnya keanekaragaman genetik ialah meluasnya pertanian modern. Introduksi varietas baru telah menggeser keberadaan varietas lokal dan ras temurun. Kekhawatiran makin banyaknya sumber daya genetik tanaman yang hilang juga mendorong berbagai negara untuk mengembangkan pusat penelitian yang mengoleksi sumber daya genetik tertentu. Koleksi yang dikembangkan di pusat penelitian tersebut menyimpan aksesi yang cukup besar. Pengembangan sumber daya genetik untuk menghasilkan varietas baru yang lebih unggul dan ancaman kepunahan berbagai varietas dan kerabat liarnya cenderung mendorong terjadinya penguasaan sumber daya genetik secara sepihak dan bahkan monopoli.
Setiap negara mempunyai ketergantungan pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan sumber daya genetik. Oleh karena itu, monopoli kepemilikan sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian dapat memicu persengketaan internasional. Untuk mengatasi itu akses terhadap sumber daya genetik perlu diatur secara multilateral.
Gejala erosi terhadap keanekaragaman genetik disadari oleh CGIAR, sehingga pada bulan Juni tahun 1974 CGIAR membentuk Dewan Internasional untuk Sumber Daya Genetik
DEPARTEMEN PERTANIAN - RI (23 SEPTEMBER 2005) 7
Tanaman (International Board on Plant Genetic Resources — IBPGR). Pada tahun 1983, FAO melalui Resolusi 8/83 mengeluarkan The International Undertaking on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture—IUPGRFA (Upaya Internasional mengenai Sumber Daya Tanaman untuk Pangan dan Pertanian). Upaya Internasional ini menerapkan akses terbuka/bebas, yang menimbulkan kontroversi antara pemilikan dan pemanfaatan sumber daya genetik. Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1991 FAO mengeluarkan Resolusi 3/91 mengenai pengakuan terhadap kedaulatan negara atas sumber daya genetiknya. Resolusi ini telah membuka jalan untuk dikembangkannya penyempurnaan terhadap IUPGRFA.
Dengan dikeluarkannya United Nations Convention on Biological Diversity – CBD (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati) pada tahun 1992, penyempurnaan terhadap IUPGRFA dipercepat. Melalui Conference of the Party Convention on Biological Diversity (COP CBD) pada tahun 1995 dan penguatannya pada tahun 1996, FAO mulai menyelaraskan IUPGRFA dengan CBD. Setelah melakukan pertemuan sebanyak 12 kali, pada tahun 2001 FAO melalui resolusi 3/2001 menetapkan The International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture – ITPGRFA.
1.2. Manfaat Indonesia Mengesahkan Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman
Dengan mengesahkan Perjanjian, Indonesia akan memperoleh manfaat dalam:
a. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya sumber daya genetik tanaman dalam pembangunan pertanian nasional;
b. Meningkatkan kemampuan nasional dalam pengelolaan sumber daya genetik tanaman melalui bantuan pengembangan kapasitas dari sistem pendukung Perjanjian ini;
c. Mencegah pencarian dan pengumpulan secara ilegal sumber daya genetik tanaman serta pengembangannya oleh negara/pihak lain;
d. Pengembangan kerja sama regional dan internasional dalam pengelolaan sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian;
e. Menjamin akses dan pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatan sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian;
f. Mendapatkan manfaat dari pembentukan Sistem Multilateral untuk pertukaran sumber daya genetik tanaman yang termasuk dalam Lampiran I;
g. Mendapatkan akses terhadap sumber daya genetik (Lampiran I), yang tersimpan di negara Pihak Perjanjian, maupun dari pusat-pusat riset pertanian internasional;
h. Mendapatkan manfaat yang maksimal dari: a) program internasional yang terkait, misalnya Global Plan of Action; b) koleksi ex situ yang tersimpan pada pusat-pusat riset pertanian internasional (International Agricultural Research Centers); c) sistem informasi global;
i. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di bidang pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya genetik pertanian baik di pusat maupun di daerah;

DEPARTEMEN PERTANIAN - RI (23 SEPTEMBER 2005) 8
1.3. Materi Pokok Perjanjian untuk Pangan dan Pertanian
Perjanjian untuk Pangan dan Pertanian terdiri atas 35 Pasal dan 2 Lampiran yang tersusun sebagai berikut:
a.Batang Tubuh yang berisi pembukaan dan 35 pasal yaitu:
Pasal 1 – Tujuan
Pasal 2 – Penggunaan Istilah
Pasal 3 – Ruang Lingkup
Pasal 4 – Kewajiban Umum
Pasal 5 – Konservasi, Eksplorasi, Koleksi, Karakterisasi, Evaluasi dan dokumentasi sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian
Pasal 6 – Pemanfaatan berkelanjutan Sumber Daya Genetik Tanaman
Pasal 7 – Komitmen Nasional dan Kerja Sama Internasional
Pasal 8 – Bantuan Teknis
Pasal 9 – Hak Petani
Pasal 10 – Sistem Multilateral Akses dan Pembagian Keuntungan
Pasal 11 – Cakupan Sistem Multilateral
Pasal 12 – Akses yang difasilitasi terhadap sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian di dalam Sistem Multilateral
Pasal 13 – Pembagian keuntungan dalam Sistem Multilateral
Pasal 14 – Rancang Tindak Global
Pasal 15 – Koleksi Ex Situ Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian yang dikuasai oleh Pusat-pusat Penelitian Pertanian Internasional dari Kelompok Konsultatif Penelitian Pertanian Internasional dan Kelembagaan Internasional lain
Pasal 16 – Jaringan Kerja Internasional Sumber Daya Genetik Tanaman
Pasal 17 – Sistem Informasi Global mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian
Pasal 18 – Sumber Daya Finansial
Pasal 19 – Badan Pengatur
Pasal 20 – Sekretaris
Pasal 21 – Ketaatan
Pasal 22 – Penyelesaian Sengketa
Pasal 23 – Amandemen Perjanjian
Pasal 24 – Lampiran-lampiran
Pasal 25 – Penandatanganan
Pasal 26 – Pengesahan, Penerimaan atau Persetujuan
Pasal 27 – Aksesi
Pasal 28 – Hal Berlakunya Perjanjian
Pasal 29 – Organisasi Anggota FAO
Pasal 30 – Keberatan
Pasal 31 – Bukan Pihak
Pasal 32 – Pengunduran Diri
Pasal 33 – Pengakhiran
Pasal 34 – Depositari
Pasal 35 – Naskah Asli
DEPARTEMEN PERTANIAN - RI (23 SEPTEMBER 2005) 9
b. Lampiran:
Lampiran I : DAFTAR TANAMAN PERTANIAN DI DALAM SISTEM MULTILATERAL
Lampiran II: Bagian I Arbitrase
Bagian II Konsiliasi
1.4. Undang-Undang yang Terkait Langsung dengan Perjanjian Sumber Daya Genetik untuk Pangan dan Pertanian
Perjanjian Sumber Daya Genetik untuk Pangan dan Pertanian sejalan dengan peraturan perundang-undangan nasional yang terkait antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478);
d. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482);
e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556);
f. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564);
g. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3656);
h. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
i. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4043);
j. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4219);

DEPARTEMEN PERTANIAN - RI (23 SEPTEMBER 2005) 10

k. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4411);
l. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Cartagena (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4414);

1.5. Kewajiban dan Implikasi Pengesahan Perjanjian bagi Indonesia
Dengan menjadi Pihak dari Perjanjian ini akan berimplikasi pada sejumlah kewajiban bagi Indonesia. Kewajiban kunci dari keanggotaan Perjanjian ini terkait dengan pelaksanaan Sistem Multilateral Sumber Daya Genetik Tanaman yang membentuk sistem akses dan pembagian keuntungan antar Pihak dengan hak resiprokal minimum. Yang dimaksud hak resiprokal ini adalah hak untuk memperoleh perlakuan secara eksklusif dalam pengembangan sumber daya genetik tanaman yang diperoleh dari Sistem Multilateral baik melalui penerapan perlindungan kekayaan intelektual maupun upaya lain yang dapat mengurangi akses negara lain atas sumber daya genetik tersebut.
Kewajiban pokok Indonesia sebagai negara Pihak Perjanjian di antaranya adalah:
Implementasi Sistem Multilateral Sumber Daya Genetik Tanaman
• Indonesia wajib menyediakan akses pada sumber daya genetik tanaman yang relevan kepada Pihak lain, atau kepada perorangan atau badan hukum di dalam yurisdiksi negara Pihak tersebut, serta kepada pusat-pusat riset pertanian internasional yang telah melakukan perjanjian dengan Badan Pengatur Perjanjian. Indonesia juga harus mendorong badan-badan penelitian publik, atau perseorangan atau badan hukum yang berada dalam yurisdiksi Indonesia, yang memiliki sumber daya genetik tanaman yang tercantum dalam Lampiran I Perjanjian untuk menyertakan sumber daya genetik tanamannya ke dalam Sistem Multilateral.
• Indonesia wajib menjamin dalam peraturan nasionalnya bahwa standar Perjanjian Pengalihan Bahan Genetik (Material Transfer Agreement-MTA) yang telah ditetapkan oleh Badan Pengatur diterapkan dalam transaksi akses dan tukar-menukar sumber daya genetik tanaman yang masuk dalam daftar Lampiran I Perjanjian.

Pembagian keuntungan dari pemanfaatan sumber daya genetik tanaman
• Pasal 13 Perjanjian menetapkan suatu kerangka kerja bagi pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatan sumber daya genetik yang diakses dari Sistem Multilateral, termasuk pemanfaatannya secara komersial. Kerangka kerja tersebut akan ditetapkan dan diatur oleh Badan Pengatur.
• Sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional, Indonesia wajib memberikan informasi terkait dengan pelestarian dan pemanfaatan sumber daya genetik tanaman yang tidak bersifat rahasia dan yang terkait dengan kepentingan negara Republik Indonesia kepada sistem informasi Perjanjian. Termasuk dalam informasi tersebut, yang wajib diberikan ini adalah informasi yang terkait dengan teknologi untuk konservasi, karakterisasi, evaluasi dan pemanfaatan sumber daya genetik tanaman yang tercantum dalam Sistem Multilateral. Namun sebaliknya, Indonesia juga dapat memperoleh: a.) Akses terhadap teknologi dan alih teknologi dari negara Pihak lain atau dari pusat-pusat riset pertanian internasional untuk konservasi, karakterisasi, evaluasi, dan pemanfaatan Sumber Daya Genetik Tanaman dalam Sistem Multilateral; b.) Bantuan pembangunan kapasitas (capacity-building) terutama dalam bidang pengembangan dan penguatan Sumber Daya Manusia melalui pelatihan, pendidikan

DEPARTEMEN PERTANIAN - RI (23 SEPTEMBER 2005) 11

dan bantuan fasilitas untuk pemanfaatan sumber daya genetik tanaman yang tercantum dalam Sistem Multilateral.
• Indonesia wajib menerapkan perlindungan hak kekayaan intelektual yang melekat pada sumber daya genetik tanaman, informasi dan/atau teknologi yang diterima dari Sistem Multilateral ataupun dari kerja sama pembangunan kapasitas maupun dari transfer teknologi dan tukar-menukar informasi pengelolaan (pelestarian dan pemanfaatan) sumber daya genetik tanaman.

Pemanfaatan berkelanjutan sumber daya genetik tanaman
Indonesia wajib melaksanakan kebijakan dan upaya hukum untuk mendorong pemanfaatan berkelanjutan sumber daya genetik tanaman guna mencapai ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan baik di tingkat nasional, regional maupun global.
Strategi pendanaan
Pasal 18 Perjanjian menetapkan kerangka kerja pengembangan dan pelaksanaan strategi pendanaan oleh Badan Pengatur. Kerangka kerja dimaksud berisi antara lain pengaturan mengenai keuntungan finansial dari pemanfaatan sumber daya genetik tanaman yang diakses dari Sistem Multilateral, ketentuan mengenai sumber daya melalui saluran bilateral, regional dan multilateral serta kontribusi volunter oleh Para Pihak, organisasi non-pemerintah dan sektor swasta. Pengaturan ketentuan-ketentuan mengenai pendanaan oleh para Pihak Perjanjian akan ditetapkan oleh Badan Pengatur.
Implementasi/pelaksanaan Perjanjian
• Bagi Indonesia, untuk implementasi Perjanjian ini tidak diperlukan perubahan peraturan perundang-undangan nasional yang ada sebagaimana dimaksud dalam angka 1.4.
• Beberapa perubahan pada prosedur kepemilikan sumber daya genetik baik oleh lembaga publik maupun perorangan atau badan usaha swasta, terutama terkait dengan perjanjian pengalihan bahan (Material Transfer Agreement) dan perlindungan hak kekayaan intelektual pada sumber daya genetik tanaman harus dilakukan untuk menyesuaikan dengan ketentuan Perjanjian.

Biaya sebagai Pihak Perjanjian
Biaya yang diperlukan untuk mendukung aktivitas Sekretariat Perjanjian setelah Indonesia resmi menjadi Pihak bersumber dari APBN dan sumber penerimaan lain yang sah berupa hibah sesuai peraturan perundang-undangan dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan sumber daya genetik tanaman terutama dalam kaitannya dengan pelatihan, pendidikan, penelitian dan pemuliaan sumber daya genetik tanaman yang berasal dari Indonesia, atau Indonesia menjadi salah satu pusat keanekaragamannya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahan dalam bahasa Indonesia, maka yang berlaku adalah naskah asli Treaty dalam bahasa Inggris.
Pasal 2
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4612.
C:\KNPN-2006\ANALISIS\UURI No 4 - 2006.doc
DEPARTEMEN PERTANIAN - RI (23 SEPTEMBER 2005)

0 komentar:

  © Free Blogger Templates Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP