17 Juni 2009

REVOLUSI HIJAU




Penduduk dunia terus bertambah, terutama di negara-negara berkembang. Keadaan tersebut harus diiringi/didukung oleh peningkatan kebutuhan akan pangan. menurut apa yang dinyatakan Thomas Robert Malthus, bahwa perkembangan manusia akan selalu lebih cepat dinadingkan dengen kecepatan produksi bahan makanan. Oleh karena itu, kata Maltus, pada suatu waktu akan tiba saatnya, manusia kekurangan bahan makanan, jika tidak diimbangi oleh kemampuan mengatasinya.
Kemampuan sumber daya alam sebagai penghasil pangan adalah sangat terbatas. Untuk itu perlu diupayakan pengembangan sumber daya alam yang pada akhirnya ditujukan bagi pengembangan produksi pangan.

PENGERTIAN REVOLUSI HIJAU
Secara harafiah Revolusi Hijau (Green Revolution) berarti adalah perubahan secara cepat dalam memproduksi bahan makanan. Asumsinya berangkat dari hipotesa Produksi bahan makanan tidak akan mencukupi yang dibutuhkan manusia jika hanya mengandalkan cara berproduksi tradisional.

Revolusi hijau merupakan usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan. Peningkatan tersebut dengan cara mengubah dari pertanian tradisional menjadi pertanian modern, yakni pertanian dengan memanfaatkan atau menggunakan teknologi lebih maju dari waktu sebelumnya. Jadi revolusi hijau terletak pada pemanfaatan hasil penemuan teknologi up to date.

Revolusi hijau dikenal juga sebagai Revolusi Agraria. Dengan Revolusi ini para petani ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan para petani pada cuaca dan alam karena meningkatnya peran ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Jenis bahan makanan yang mendapat prioritas adalah jenis bahan pokok bagi sebagian besar penduduk dunia, seperti gandum, jagung, padi dan sorgum.

Terdapat dua metode untuk meningkatkan produksi bahan makanan, yakni metode ekstensifikasi dan Intensifikasi. Metode Ekstensifikasi dilakukan dengan cara memperluas lahan pertanian dalam meningkatkan produksi bahan makanan. Denga metode ini maka akan dibuka lahan-lahan baru untuk ditanami, entah dengan membuka hutan, mengubah lahan tandus menjadi lahan produktif. Sedangkan metode Intensifikasi adalah dengan cara meng-intensif-kan lahan pertanian yang ada, supaya produktivitas lahan terus meningkat. Metode yang kedua ini dengan cara menggunakan (1) bibit unggul, (2) memakai pupuk kimia / buatan, (3) saluran irigasi yang baik, (4) pengobatan atau pemakaian Pestisida, Insektisida dan Fungisida, (5) kegiatan Penyuluhan Pertanian, (6) lancarnya transportasi dan komunikasi, (7) serta kegiatan pemasaran yang baik

Pada awalnya kegiatan ini banyak ddan didanai oleh Ford & Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi diFilipina (1960). Revolusi hijau menekankan pada pada tanaman SEREALIA: padi, jagung, gandum, dan lain-lain.

CIRI-CIRI REVOLUSI HIJAU
1. Tumbuhan yang ditanam terspesialisasi, atau istilah lainnya MONOKULTUR. Teknik ini dilakukan dikarenakan perhitungan pragmatis, bahwa jika tanaman yang sama, maka kebutuhan akan obat dan pupuk juga akan sama. Jadi mempermudah merawatnya
2. Penggunaan bibit yang unggul yang tahan terhadap penyalkit tertentu dan juga hanya cocok ditanam dilahan tertentu. Kemajuan teknologi dengan teknik kultur jaringan, memungkinkan memperoleh varietas tertentu sesuai dengan yang diharapkan. Dan dengan penelitian terus menerus, maka semakin hari umur tanaman makin pendek.
3. Pemanfaatan teknologi maju. Misalnya bajak oleh binatang, digantikan oleh mesin traktor. Dampaknya adalah semakin hemat tenaga kerja, tetapi akan memerlukan modal yang besar.
REVOLUSI HIJAU DI INDONESIA
Dilakukan dengan EKSTENSIFIKASI DAN INTENSIFIKASI pertanian. Ekstensifikasi dengan perluasan areal, seperti membuka hutan untuk lahan pertanian baru. Terbatasnya areal, menyebabkan pengembangan lebih banyak pada intensifikasi. Intensifikasi dilakukan melalui Panca Usaha Tani, yaitu:
1. Teknik pengolahan lahan pertanian
2. Pengaturan irigasi
3. Pemupukan
4. Pemberantasan hama
5. Penggunaan bibit unggul

DAMPAK POSITIF REVOLUSI HIJAU
Produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat) meningkat. Sebagai contoh: Indonesia dari pengimpor beras mampu swasembada.

PERMASALAHAN DAN DAMPAK NEGATIF
1. Penurunan produksi protein, dikarenakan pengembangan serealia (sebagai sumber karbohidrat) tidak diimbangi pengembangan pangan sumber protein dan lahan peternakan diubah menjadi sawah.
2. Penurunan keanekaragaman hayati.
3. Penggunaan pupuk terus menerus menyebabkan ketergantungan lahan dan tanaman pada pupuk.
4. Penggunaan peptisida menyebabkan munculnya hama strain baru yang resisten
CATATAN REVOLUSI HIJAU SELAMA MASA ODE BARU : Pada tahun 70-an dikenal dengan Revolusi Hijau ala Indonesia, yaitu Bimas. Penguasa-pun mati-matian berusaha mensukseskan program. Ada program subsidi terhadap pupuk, kredit pertanian, penetapan harga dasar gabah, diberdirikannya Bulog, pembangunan irigasi dari pinjaman luar negeri, penanaman bibit yang seragam, hingga penyuluhan.
Setelah Bimas dianggap gagal memacu pertumbuhan di sektor pertanian tanaman pangan, pemerintah memperkenalkan Inmas. Dengan tambahan program penanggulangan hama dan penyakit tanaman dalam Inmas, sebenarnya Inmas ini tidak jauh berbeda dengan Bimas.

Jika dilihat dari paradigma yang dipakai = pertumbuhan ekonomi, maka pelaksanaan Bimas maupun Inmas bisa dikatakan berhasil. Di tahun 80-an produktivitas pertanian padi meningkat mencapai dua kali lipat dibanding tahun 60-an. Bahkan pada tahun 1985, Indonesia bisa mewujudkan swasembada beras selama empat tahun. Setelah itu negeri ini kembali menjadi pengimpor beras terbesar hingga saat ini.

Namun keberhasilan tersebut bukan tanpa resiko. Pengorbanan untuk sebuah "swasembada" sangat mahal. Keinginan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi telah membuat penguasa bertindak sangat kejam terhadap masyarakat lemah.Di satu sisi harus diakui bahwa Bimas dan Inmas sebagai bentuk Revolusi Hijau ala Indonesia telah melepaskan petani dari pertanian tradisional. Namun itu tidak berarti telah mensejahterakan petani.

Bagi petani yang memiliki lahan luas program Inmas dan Bimas memang dapat meningkatkan kesejahteraannya. Tetapi bagi petani gurem dan ini yang menjadi mayoritas petani di negeri ini, program-program tersebut justru telah menjerat mereka ke dalam ketergantungan yang semakin dalam yang pada akhirnya memperpanjang proses pemiskinan mereka.
Dengan paket yang ada dalam Bimas maupun Inmas, petani harus mengikuti pola produksi yang telah ditetapkan. Pupuk kimia, pola tanam yang seragam, penggunaan bibit yang terkadang dengan merk tertentu, dan biasanya dibuat oleh pabrik tertentu, serta pestisida atau obat-obat pertanian lainnya yang juga telah distandarkan. Semua itu membuat petani tergntung pada industri bibit, pupuk dan pestisida kepada produsen tertentu.

Hal ini menjadi dilema, sebab Tidak hanya itu, keragaman bibit lokal yang dimiliki petani secara turun temurun, kini telah beralih tangan. Sebelum Revolusi Hijau, kita memiliki hampir 10.000 macam jenis bibit padi lokal. Semuanya tersimpan dalam IRRI (International Rice Research Institute) di Filipina dan menjadi milik AS. Kini hanya tinggal sekitar 25 jenis bibit padi lokal yang masih tersisa di Indonesia.

Sungguh memprihatinkan.

Kearifan petanipun dimatikan dengan penyeragaman. Kemandirian digantikan dengan ketergantungan. Keseimbangan lingkungan dan sosial terganggu akibat penggunaan bahan-bahan kimia non organik tinggi seperti pupuk buatan, insektisida, pestisida, fungisida dan herbisida. Demi mengejar pertumbuhan tadi, pemakaian bahan-bahan kimia tadi dilevel petani dipergunakan secara serampangan. Berpuluh-puluh tahun petani hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan oleh penguasa melalui penyuluh pertanian lapangan (PPL) dan penyuluh pertanian spesial (PPS). Petani hanya menjadi pelaksana program ditanahnya sendiri.
Kepemimpinan lokal yang biasa tumbuh diantara petani pelan tapi pasti akhirnya ter-musnah-kan. Begitu pula proses belajar mengajar di antara mereka. Struktur organisasi tradisional dirusak dan dibuat seragam. Dibentuk dari atas secara sentralistik dan bukan lahir atas kesadaran sendiri dan sesuai kebutuhan mereka. Berpuluh tahun petani menjadi kelompok masyarakat bisu yang hanya bisa mendengar tetapi tidak bisa bersuara. Situasi itu berlangsung hingga saat ini. Petani selalu dalam posisi paling pinggir dan dipinggirkan. Bahkan untuk meminta pemerintah memenuhi janjinya yang dinyatakan sendiri dalam Instruksi Presiden tentang harga dasar gabah saja petani tidak mampu.

Tidak hanya itu, paket Revolusi Hijau yg menggunakan teknologi dan sarana produksi dari negara barat pada dasarnya mengabaikan keberadaan perempuan disektor pertanian. Diperkenalkannya bibit baru telah meniadakan peran perempuan sebagai penyeleksi benih di usaha tani keluarganya. Begitu pula saat panen. Tidak lagi dilakukan dengan ani-ani tetapi dengan sabit. Peran perempuan dengan sendirinya telah digantikan. Juga dalam proses-proses pasca panen selanjutnya.

Dengan kebijakan pangan murah, pemerintah beranggapan dapat menekan inflasi tanpa memikirkan dampaknya terhadap keluarga petani yang notabene adalah bagian terbesar dari negri ini. Petani hampir sepanjang masa menerima imbalan yang tidak memadai. Dalam dua masa panen tahun 2000 ini, petani selalu menerima harga dibawah harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Harga berkisar antara 700 s/d 900/kg untuk gabah kering. Padahal harga dasar yang ditetapkan adalah antara Rp. 1.020 sampai dengan Rp. 1.065/kg.

Rendahnya harga gabah yang diterima petani pada dua musim lalu mempunyai alasan yang sama, yaitu melimpahnya gabah dan beras dipasaran, dan pada saat panen raya tersebut ditambah banjir beras impor yang lebih murah dari beras lokal. Lalu jika alasan itu pula yang diberlakukan untuk panen diantara dua panen raya tersebut, lalu kapan petani akan memperoleh harga yang layak? Sulit memang menjadi petani. Dulu kita menolak tanam tebu karena harganya suka dimainkan. Sehingga kalau panen yang ada cuma rugi dan utang. Sekarang sudah bebas boleh menanam apa saja. Kita menanam padi, ketika panen harganya anjlok. Terus harus menanam apa?


Mengapa Ketahanan Pangan Tidak Tercapai, Terutama bagi Perempuan?
January 29, 2008
Ketika ketahanan pangan tidak tercapai sesungguhnya telah terjadi pelanggaran terhadap hak tiap orang untuk memperoleh makanan yang layak. Padahal hak itu sudah diakui oleh dunia internasional, dinyatakan sebagai hak asasi manusia. Bahkan negara kita sendiri sudah menyatakannya dalam UU Pangan No 7 Tahun 1996. Lantas mengapa rakyat tidak mendapatkan haknya tersebut? Mengapa banyak negara termasuk Indonesia, tidak memiliki kedaulatan atas pangan dalam negeri mereka sendiri, sampai harus mengadakan suatu forum, menyatakan harapan atas keinginan berkuasa atas pangan? Dan terlebih lagi mengapa perempuan menjadi yang paling dilanggar haknya dalam hal ini?
Ada sejumlah faktor penyebab, yang sulit untuk diuraikan satu per satu sebagai sebuah faktor penyebab yang berdiri sendiri. Semua faktor sepertinya kait-mengkait dan bahkan satu faktor dapat menjadi penyebab bagi faktor yang lain. Berikut ini adalah beberapa faktor penyebab tersebut :
Revolusi Hijau (The Green Revolution)
Revolusi Hijau adalah suatu istilah untuk menggambarkan sebuah transformasi agrikultural yang membawa peningkatan produksi secara sigPada akhir musim panas tahun 1962, seorang ahli biologi kelautan bernama Rachel Carson, yang pada waktu itu buku-bukunya tentang kehidupan laut masuk kategori sangat laris, menyuarakan peringatan ini kepada dunia:
Ketika manusia beranjak maju guna mencapai tujuannya yakni menaklukkan alam, ia telah menoreh catatan-catatan mengenai kerusakan mengerikan yang mengarah bukan saja pada bumi tempat ia tinggal, tapi juga pada sesama makhluk hidup lainnya. Sejarah abad-abad belakangan ini, memiliki lembaran-lembaran gelap—pembantaian bison besar-besaran di wilayah barat Amerika, pembunuhan dalam jumlah besar burung-pantai oleh para pemburu lantaran permintaan pasar, dan hampir punahnya jenis-jenis burung tertentu yang diburu karena bulunya yang indah. Saat ini, kepada pelbagai jenis hewan langka seperti itu, kita menambahi lagi sebuah babak baru yakni cara pemusnahan jenis baru—pembunuhan secara langsung burung-burung, binatang mamalia, ikan-ikan, dan semua jenis hewan liar dengan penyemprotan bahan kimia secara serampangan pada permukaan tanah
.…Pertanyaan kita adalah: apakah ada peradaban yang dapat melancarkan perang semacam itu terhadap kehidupan tanpa menghancurkan dirinya sendiri, dan tanpa kehilangan hak untuk disebut beradab?
Dengan ungkapan kemarahan dan tanpa kompromi seperti di atas, dapat dikatakan bahwa gerakan lingkungan modern dimulai.
Buku Silent Spring* sangat menonjol dan didaftar sebagai salah satu buku paling laris oleh harian The New York Times selama 31 minggu dan terjual sebanyak lebih dari 500.000 copy. Sesuatu fenomena yang sangat jarang bagi sebuah buku non-fiksi yang serius. Kutukannya yang keras dan tuntas terhadap industri pestisida Amerika, terutama kasusnya yang mengejutkan melawan DDT, mencapai sebuah rekor—yang memang telah menanti untuk dicapai — dengan jelas menguraikan semakin meningkatnya kecemasan terhadap teknologi pasca-perang dunia dan juga semakin tingginya kesadaran akan pentingnya kenyamanan-kenyamanan non-materi dalam kehidupan. Segera buku itu mendapat serangan balik dari dunia industri, khususnya industri kimia yang sampai mengeluarkan dana kampanye sebesar US$ 250.000 untuk membuktikan bahwa Carson adalah "seorang histeris yang dungu". Namun sebaliknya buku tersebut bahkan memperoleh penghargaan dari National Wildlife Federation dan Audubon Society, karena itu malah membuatnya semakin terkenal, dan mengakibatkan semakin kerasnya perlawanan terhadap penggunaan pestisida yang berlebihan; dan secara langsung menyebabkan masalah ini—pada tahun 1963— dimasukkan ke dalam agenda laporan Presidential Scientific Advisory Committee (Komisi Penasihat Ilmiah Presiden) yang justru mendukung hasil karya Carson dan kritik-kritiknya; dan pada akhirnya buku itu memainkan peranan penting dalam perolehan dukungan atas ditetapkannya Pesticide Control Act tahun 1972, dan Toxic Substance Control Act tahun 1976.
Tetapi lebih dari itu: buku Carson telah merangsang dinamika kelompok-kelompok lingkungan, yang sebelumnya tidak diperhatikan kehadirannya, dan membangkitkan semangat kelompok-kelompok konversi tradisional dan juga kelompok lainnya yang sebelumnya tidak pernah memikirkan kepentingan lingkungan dan kehidupan alam. Max Nicholson, kepala British Nature Conservancy dan seorang tokoh internasional yang kesohor menyebutnya, "mungkin merupakan sumbangan paling besar dan paling efektif dalam membangkitkan opini umum dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya ekologi." Sejarawan Amerika, Stephen Fox, bahkan mengungkapkannya secara lebih tegas: "Buku tersebut adalah Uncle Tom's Cabin bagi gerakan pencinta lingkungan modern."
Pada tahun 1960, Rachel Carson mendapati bahwa benjolan kecil di dadanya ternyata sebuah kanker ganas, dan operasi yang dijalaninya tidak mampu mengangkat seluruh kanker itu. Bahkan pada saat ia menulis buku itu, kesehatannya terus memburuk, sekalipun mendapat pengobatan—"tubuhku terus gemetar", tulisnya kepada seorang sahabat, "dan sekarang hanya singkat saja waktu yang tertinggal"—dan di musim semi tahun 1964, pada usia 56 tahun, sebagai seorang korban dari suatu zat yang sangat beracun yang ia analisis sendiri dengan sangat teliti, Carson meninggal. "Hanya manusia saja, dari antara segala makhluk hidup, dapat menghasilkan zat-zat penyebab timbulnya kanker... dan keterbukaan manusia pada zat-zat itu sudah tidak terkontrol, bahkan zat-zat berbahaya itu jumlahnya semakin berlipat ganda", tulisnya dalam salah satu bab yang membahas lingkungan berzat kanker. Dan secara profetis lanjutnya: "Kita menerima bahan-bahan penyebab kanker dalam lingkungan kita, dan menerima pula semua akibatnya."
Ditinjau dari satu segi, tentu saja keliru bila kita menentukan bahwa gerakan lingkungan di Amerika Serikat baru dimulai pada musim semi tahun 1962, karena keprihatinan pada pelbagai bahaya lingkungan telah tampak secara aktif mulai dari abad ke-19 (bahkan, dari sejak zaman tokoh seperti Thomas Jefferson) sampai, dengan abad ke-20 ini. Para seniman dan penulis dari gerakan Romantik dan gerakan Transendental pada paruh pertama abad ke-19 meletakkan dasar apresiasi yang kuat untuk pandangan spektakuler Amerika; suatu kepekaan yang dibentuk selama paruh kedua abad ke-l9 oleh aktivis dan para pemerhati lingkungan terkemuka seperti John Muir (pendiri Sierra Club pada tahun 1892) dan Gifford Pinchot (Kepala Pengawasan Hutan Amerika yang pertama pada tahun 1905). Sekalipun berhadapan dengan dampak pada sistem alam dengan berkembangnya industri dan perdagangan, termasuk badan-badan seperti Pemerintah Federa Korps Zeni Angkatan Darat, dan Badan Pengawas Kehutanan abad ke-20 melahirkan pelbagai organisasi pecinta lingkungan (Audubon Society tahun 1905; Izaak Walton League tahun 1922; Wilderness Society tahun 1935; National Wildlife Federation tahun 1936) dan sejumlah pelopor lingkungan yang heroik: Aldo Leopold, Joseph Wood Krutch, Rosalie Edge, dan William O. Douglas yang terkenal di antara mereka. Kemudian sesudah itu seusai Perang Dunia II para tokoh pejuang lingkungan seperti Howard Zahniser dari organisasi Wilderness Society dan David Brower dan Ansel Adams dari organisasi Sierra Club menjadi terkenal karena kegigihan mereka menolak bendungan bendungan - bendungan baru di sungai-sungai kawasan barat Amerika. Buku-buku yang ditulis oleh Fairfield Osborn Our Plundered Planet dan karya William Vogt Road to Survival menjadi buku-buku laris pada tahun 1940-an, dan menjelang tahun 196O jumlah anggota organisasi-organisasi lingkungan mencapai lebih dari 300.00 orang.
Namun, dilihat dari sudut lain, dapat dikatakan bahwa memang gerakan seperti gerakan lingkungan—dalam arti yang aktif, vokal, merakyat, dan berpengaruh—tidak ada sebelum Silent Spring terbit. Bahkan sampai dengan tahun 1959, seorang pembicara pada North American Wildlife Conference masih berpendapat bahwa "kesadaran lingkungan" tidak akan pernah tumbuh pada mayoritas penduduk Amerika; tiga dekade kemudian suatu pengumpulan pendapat menunjukkan bahwa 80 persen rakyat Amerika mendukung tujuan organisasi lingkungan. Recenderungan sekarang terlihat sebagai suatu pasang naik; organisasi-organisasi lama mulai mengambil cara-cara baru dalam bergerak dan beroperasi, sementara organisasi baru bermunculan di mana-mana; lahir suatu kesadaran dan pemahaman baru. Pangeran Phillip dari Inggris, yang sudah sejak lama menjadi pemerhati masalah lingkungan menyebut kecenderungan ini sebagai"revolusi lingkungan".
Tentu saja revolusi seperti itu tidak mungkin timbul hanya karena pengaruh sebuah buku. Kekuatan-kekuatan di belakang gerakan lingkungan adalah bermacam-macam dan kompleks. Lima belas tahun setelah PD II Amerika mulai memandang dengan kagum munculnya suatu "masyarakat makmur" dan berapa harga yang harus dibayar untuk itu. Di sekililing masyarakat itu terlihat buah-buah dari apa yang disebut "revolusi sintetis", plastik, bahan kimia, pestisida, detergen, pusat tenaga nuklir, dan semacamnya—dan juga tampak bertebaran daerah atau kawasan pinggiran kota serta merebaknya gedung-gedung pencakar langit. Sekalipun demikian tidak muncul ketenangan dan kedamaian serta kehidupan harmonis seperti yang dijanjikannya. Bukan saja segmen penduduk (pada umumnya kulit berwarna) yang tidak tersentuh oleh kemanfaatan kehidupan dalam masyarakat kelas tinggi yang fleksibel—kemenangan John Kennedy pada tahun 1960 setidak-tidaknya sebagian disebabkan karena keprihatinan bahwa "seperempat dari anak-anak Amerika pergi tidur dengan perut lapar—tapi juga mereka yang merasakan pelbagai kemanfaatan itu masih menyimpan suat krisis dengan lapisan masyarakat yang semakin menegang dan penyakit modern yang disebut "affluenza"—dengan semakin meningkatnya ketergantungan pada alkohol, obat bius kecenderungan bunuh diri, kegilaan, dan kekerasan serta perpecahan keluarga. Yang lebih gawat lagi, bahwa semua kemanfaatan materi itu tampaknya harus dibayar mahal—penuh sesaknya kawasan perkotaan, semakin meluasnya kawasan suburban, polusi udara dan kabut campur asap, sungai-sungai yang dibendung penyakit kanker dan abu radioaktif yang berasal dari peledakan nuklir (suatu harga yang semakin sering masuk tayangan televisi ke seluruh negeri)—dan semua itu berlangsung makin gila saja (ini disebut "future shock") yang tampaknya sudah di luar pengawasan yang efektif baik oleh organisasi bisnis sendiri yang mengambil keuntungan darinya, maupun oleh pemerintah yang seharusnya mengaturnya. Ringkasnya, ketidak senangan keterpisahan, dan konflik-konflik yang menjadi masalah pada tahun 1960-an, semakin merebak.
Pada saat yang sama, suasana "boom materi" pasca perang telah menghasilkan semakin tingginya jumlah tamatan universitas karyawan kelas menengah yang tumbuh cepat menempati kawasan pinggiran kota agar mereka dapat lagi mendengarkan kicau burung di pagi hari dan menatap bintang di malam hari. Mereka ini menginginkan—dan dapat membiayai—apa yang disebut oleh para ahli sosiologi "kualitas hidup" dan bukan "standar hidup" dalam arti tradisional: tambahan-tambahan yang membuat hidup lebih nikmat setelah kebutuhan pokok, termasuk waktu senggang hiburan di luar rumah, air dan udara yang bersih, keamanan dan kesehatan pribadi dan kebutuhan yang lebih besar akan lingkungan yang alami, setidak-tidaknya menyerupai taman, kawasan hutan lindung, kebun raya, dan jalan raya berpemandangan.
Dengan demikian, ketika Silent Spring muncul, ternyata para pembaca sudah siap dan dengan demikian siap pula dasar dan motivasi untuk gerakan lingkungan. Bahwa pembaca atau pemerhati lingkungan terus bertambah jumlahnya dalam masa 30 tahun berikut, memang tidak dapat diramalkan, apalagi kalau melihat sedemikian banyak masalah sosial yang menarik perhatian masyarakat Amerika pada suatu ketika dan dengan cepat hilang atau dilupakan. Akan tetapi gerakan lingkungan, yang dalam waktu singkat menjadi terkenal, tidak hanya berlangsung selama Silent Spring hangat dibaca orang dan selama masalah ancaman DDT dibahas oleh pelbagai kalangan, tetapi berkelanjutan terus memperluas cakupannya, meningkatkan keprihatinannya, juga semakin banyak jumlahnya, dengan berlalunya tahun demi tahun, dengan munculnya malapetaka-malapetaka lingkungan. Pada saat ini, setelah tiga puluh tahun, gerakan lingkungan telah menjadi faktor yang sangat menentukan dalam segala hal, mulai dari kampanye politik sampai agenda rapat legislatif, membentuk nilai tambah atau kode etik bagi pemasaran barang dimasukkannya dalam kurikulum sekolah; singkatnya, masalah lingkungan telah menjadi bagian permanen dalam kehidupan Amerika. Apa pun yang membentuk gerakan lingkungan dalam dekade berikut, ataupun abad mendatang gerakan selama 30 tahun terakhir ini telah mengubah kesadaran dan sikap orang Amerika sedalam perubahan akibat kesadaran terhadap masalah perbudakan pada abad ke-l9. Jarang sekali ada suatu gerakan yang dalam tempo sesingkat itu memperoleh dukungan luas masyarakat, dan memberikan dampak regulatoris dan legislatif, menghasilkan sedemikian banyak organisasi aktif, atau menjadi terpatri dalam suatu kebudayaan: benar-benar suatu REVOLUSI HIJAU!
Buku ini merupakan kisah dari tiga dasawarsa gerakan-gerakan lingkungan di Amerilca Serikat: faktor-faktor yang menyebabkan kemunculannya, kampanye-kampanye yang dilakukan, jatuh bangunnya, lawan dan kawannya, serta kegagalan dan, keberhasilannya. Tiga dasawarsa ini dapat kita bagi menjadi empa periode yang saling berkaitan:
Periode pertama, berlangsung dari tahun 1962 sampai dengan Hari Bumi yang pertama pada tahun 1970, yakni ketika gerakan lingkungan pada awalnya dipaksa masuk dalam agenda nasional, dan dengan demikian mengubah keprihatinan tradisionalnya terhadap wilayah hutan belantara ke fokus yang baru mengenai ancaman terhadap pemukiman manusia.
Periode kedua, berlangsung selama dasawarsa 1970-an sampai masa kepresidenan Reagan, saat pemerintahan Washington menjadi panglima medan perang dan pelopor utama pembaruan hukum, yang diarahkan oleh suatu persepsi baru mengenai hari kiamat yang sedang mendekat, dan umat manusia sebagai makhluk yang terancam di buminya sendiri.
Periode ketiga, tahun-tahun saat Reagan memberikan tanggapan, yakni ketika gerakan lingkungan dibagi menjadi tendensi yang semakin profesional, dan kelompok akar-rumput, kelompok bawah yang semakin radikal, yang ditandai oleh semakin tingginya pemahaman akan bumi yang terancam ini.
Periode keempat, masa pemerintahan Presiden Bush, ketika gerakan-gerakan lingkungan semakin matang baik dalam metode dan aksi serta tumbuh dengan semakin banyak anggota dan semakin banyak pula dananya, dan dengan semakin gigihnya perlawanan dan juga semakin getirnya frustrasi di hadapan kesadaran akan tekanan dan krisis pada biosfer dari satu-satunya planet yang berisi kehidupan di seluruh alam semesta ini.
Tiga dasawarsa dalam eksperimen yang luar biasa, unik dalam dunia yang modern ini, umat manusia harus berupaya menjadi nakhoda yang berhasil dalam mengemudikan bahtera suci, planet bumi.
* Sudah diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1990, dengan judul Musim Bunga yang Bisu, (redaksi.)

Judul asli:
The Green Revolution: The American Environmental Movement, 1962-1992
By Kirkpatrick Sale, originally published in the United States by Hill and Wang, New York
Penerjemah: Natheos Naller
Hak penerbitan dalam edisi bahasa Indonesia pada yayasan Obor Indonesia (Anggota IKAPI) Bandung, 1996.
nifikan di banyak negara berkembang sekitar tahun 1940-1960. Transformasi itu didasarkan hasil penelitian dan pengembangan infrastruktur yang dilakukan oleh The Rockefeller Foundation, Ford Foundation, dan sejumlah lembaga lainnya.
Istilah Revolusi Hijau itu sendiri baru digunakan pertama kali tahun 1968 oleh mantan Direktur USAID, William Gaud. Ia menyatakan, ” Pertumbuhan yang cepat dari bibit gandum dan beras terbaru di seluruh Asia dan perkembangan lainnya di bidang agrikultur mengandung makna sebuah revolusi baru….Saya menyebutnya sebagai Revolusi Hijau didasarkan pada aplikasi teknologi ilmiah yang digunakan”[1]
Awalnya Revolusi hijau ini dilakukan di Mexico pada tahun 1943 dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan industri. Pemerintah Mexico melakukan pengembangan infrastruktur di daerah pedesaan dan mengadopsi varietas bibit unggul. Usaha ini membuahkan hasil, yakni pada tahun 1951 Mexico telah dapat berswasembada gandum dan bahkan mengekspornya kemudian. Keberhasilan Mexico ini mendorong The Rockefeller Foundation membawa Revolusi Hijau ini ke India, kemudian ke Indonesia, Pakistan, Sri Lanka, Filipina, Amerika Latin, dan Negara-negara lain di Asia dan Afrika.
Dampak Revolusi Hijau terhadap ketahanan pangan global sebenarnya sulit dipahami karena sistem makanan sesungguhnya amat kompleks. Di satu sisi Revolusi Hijau dianggap berjasa karena mampu meningkatkan produksi pangan dan mencegah terjadinya bahaya kelaparan. Agrikultural dengan Revolusi Hijau telah mampu memberi makan bermilyar orang di seluruh dunia. Tanpa Revolusi Hijau, ada kemungkinan jumlah orang yang mengalami kelaparan dan malnutrisi lebih besar dari yang telah dihitung oleh FAO saat ini. Saat ini rata-rata orang mengkonsumsi 25% lebih banyak kalori dibandingkan sebelum Revolusi Hijau.
Namun demikian menurut Miguel A. Altieri, membandingkan sistem agrikultur dengan Revolusi Hijau adalah tidak adil, karena Revolusi Hijau menghasilkan beras monokultur sedangkan agrikultur tradisional biasanya bersifat polikultur. Selain itu sistem agrikultur tradisional yang digantikan Revolusi Hijau kebanyakan adalah lahan pertanian yang produktif.
Amartya Sen, seorang ekonom, juga berpendapat bahwa peningkatan produksi makanan tidak serta merta meningkatkan ketahanan pangan. Ia menemukan kelaparan besar yang dulu pernah terjadi tidak disebabkan oleh menurunnya persediaan pangan, melainkan ada dinamika sosioekonomik dan kegagalan aksi publik. Menurutnya Revolusi Hijau justru menurunkan ketahanan pangan untuk sebagian besar rakyat. Hal ini salah satunya dikarenakan pergeseran lahan berorientasi subsisten menjadi lahan berorientasi produk padi untuk ekspor. Pestisida yang digunakan untuk memproduksi padi juga telah membunuh ikan dan sayuran hijau yang biasanya hidup di lahan pertanian Asia.
Pestisida yang digunakan dalam Revolusi Hijau juga memiliki dampak jangka panjang. Unsur-unsur kimia dalam pestisida tidak dapat dengan mudah dihancurkan. Unsur-unsur itu bahkan terakumulasi melalui rantai makanan dan tersebar melalui ekosistem. Bersama dengan pupuk nitrogen, pestisida juga dapat membahayakan kesehatan petani atau buruh tani. Pada petani perempuan dampaknya bahkan sampai terkena kanker rahim karena terkontaminasi zat-zat tersebut[2]. Selain itu pestisida juga mencemari air dan meningkatkan resistensi hama. Tidak heran jika banyak areal pertanian rusak dan tidak dapat ditanami lagi. Serangan berbagai hama yang merusak bulir padi di Karawang yang baru saja terjadi juga merupakan dampak lanjut dari Revolusi Hijau ini[3].
Proyek irigasi yang diperlukan dalam Revolusi Hijau juga menciptakan permasalahan baru yang signifikan, yaitu kekurangan air secara kronik di berbagai wilayah. Padahal air merupakan unsur yang diperlukan dalam produksi dan pengolahan pangan. Untuk memproduksi satu kilogram beras dibutuhkan 3000 liter air[4]. Tidak heran jika kekurangan air membawa akibat kekurangan pangan.
Dua puluh enam negara berkembang di seluruh dunia saat ini sedang mengalami defisiensi air yang membawa rakyatnya mengalami kelaparan. Di Indonesia meskipun tidak seluruh wilayahnya kekurangan air, kita tidak dapat menyangkal adanya daerah-daerah yang kekurangan air yang mengakibatkan ratusan sawah di Karawang mengering dan ratusan warga mendatangi kantor DPRD Karawang tanggal 5 April 2007 lalu[5].
High yielding varieties (HYVs) atau dikenal sebagai varietas bibit unggul secara signifikan memang menghasilkan produksi pangan lebih banyak dibandingkan bibit tradisional, namun hanya dalam kondisi tersedianya irigasi yang mencukupi, pestisida, dan penyubur nitrogen sintetik. Ketiga aspek ini membutuhkan biaya lebih banyak. Apalagi bibit unggul ini merupakan F1 hybrids, yang berarti harus dibeli petani setiap musim, dan tidak dapat disimpan dari musim sebelumnya. Dengan demikian Revolusi Hijau menuntut biaya produksi yang lebih tinggi, dan tidak semua petani dapat mengupayakannya.
Kebutuhan biaya produksi yang cukup besar ini mendorong terbentuknya institusi kredit pedesaan. Para petani kecil akan menggunakan jasa perkreditan ini untuk dapat tetap menanami lahan pertaniannya. Sayangnya kredit ini malah menyebabkan petani-petani kecil ini kehilangan hak atas tanahnya untuk membayar hutang-hutang. Akhirnya Revolusi Hijau pun malah menimbulkan kesenjangan antara kelas petani kaya dan petani kecil. Petani kecil menjadi semakin terbatas aksesnya terhadap tanah dan kredit.
Penggunaan tenaga-tenaga mesin pada areal pertanian yang lebih luas juga menggeser tenaga manusia. Dalam hal ini yang paling tergeser posisinya adalah perempuan, karena alat pertanian tradisional yang dapat digunakan perempuan kini telah tergantikan oleh mesin-mesin yang tidak dapat dioperasikan oleh perempuan.
Pada akhirnya Revolusi Hijau hanya membawa lebih banyak penderitaan pada rakyat. Revolusi Hijau tidak membantu pencapaian ketahanan pangan di negara ini. Bahkan sebagaimana yang dikatakan Sri Palupi, Ketua Institute for Ecosoc Rights, kebijakan politik pangan pemerintah pusat di masa lalu melalui sistem pertanian monokultur dan penyeragaman pangan telah menjadi faktor paling bertanggung jawab atas rontoknya benteng ketahanan dan kedaulatan pangan lokal[6]. Sungguh disayangkan bahwa dampak lanjut ini tidak pernah dipertimbangkan sebelumnya oleh pemerintah RI ketika mengadopsi Revolusi Hijau di negeri ini.
Globalisasi
Pada dasarnya Revolusi Hijau merupakan produk globalisasi. Ini terbukti dengan didirikannya berbagai pusat penelitian agrikultur internasional, dengan pendanaan transnasional dari Rockefeller Foundation, Ford Foundation, and USAID[7]. Tambahan lagi, berbagai hal yang dibutuhkan untuk terlaksananya Revolusi Hijau telah menciptakan suatu perusahaan baru yang menyediakan bibit dan unsur kimia lainnya. Perusahaan-perusahaan itu banyak berpusat di Amerika Serikat. Misalkan saja Standard Oil of New Jersey yang memiliki ratusan distributor di Filipina untuk menjual bibit unggul, pestisida, dan nitrogen sintetik.
Globalisasi tidak hanya membawa Revolusi Hijau masuk ke Indonesia. Globalisasi membawa masuk sistem perdagangan bebas yang awalnya diyakini dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan global. Namun sejak diberlakukannya pasar bebas ini, angka kemiskinan di Asia dan Afrika justru meningkat mencapai 850 juta penduduk. Hal ini dikarenakan salah satu prinsip pasar bebas, yaitu liberalisasi pasar telah berdampak pada pada tidak adanya perlindungan produk lokal[8].
Di sektor pertanian liberalisasi bahkan sampai mengakibatkan pencabutan subsidi dan aturan tarif impor. Akhirnya liberalisasi ini memicu meningkatnya impor pangan di Indonesia. Tingginya impor pangan ini merusak harga produk pangan loka. Akhirnya petanilah yang menderita. Benar yang dikatakan Gadis Arivia, pendiri Yayasan Jurnal Perempuan, liberalisasi pasar semakin memarjinalkan petani-petani dari negara miskin yang tidak mampu bersaing[9]. Vandana Shiva melihatnya lebih jauh lagi bahwa liberalisasi pasar hanya semakin meminggirkan perempuan di negara berkembang. Hal ini dikarenakan jumlah perempuan yang bekerja pada pertanian-pertanian negara berkembang mencapai 84%, dan mereka bekerja 3 kali lipat lebih banyak dibandingkan laki-laki[10].
Bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, ekspor impor dalam perdagangan bebas hanya menjadi suatu kebijakan politik di bawah tekanan Bank Dunia dan kembarannya, IMF. Bukan hanya sekedar mengimpor pangan yang mengakibatkan jatuhnya harga pangan lokal. Namun untuk kepentingan ekspor ke negara-negara maju, banyak areal pertanian kita yang semula ditanami padi harus diganti dengan kopi, coklat, gula, dan vanili. Hal ini mengakibatkan turunnya produksi padi di negara ini sehingga ketersediaan pangan pun berkurang.
Bukan hanya padi, tetapi juga umbi-umbian yang menjadi makanan pokok di NTT harus diganti dengan vanila ketika harga vanila sedang meninggi. Akhirnya ketika harga vanila turun drastis, petani mengalami kerugian besar. Penurunan harga inipun merupakan permainan kebijakan dari World Trade Organization (WTO) yang hanya mengutamakan kepentingan negara-negara maju. Petani semakin menderita ketika kondisi lahan pun berubah dan sulit untuk ditanami ketela dan umbi-umbian kembali.
Kemiskinan, kebijakan, dan Posisi Perempuan
Sebagaimana yang diuraikan di atas, globalisasi telah melahirkan kemiskinan dan ketimpangan global. Dalam kaitannya dengan pangan, ketahanan pangan tidak hanya mengandung aspek ketersediaan pangan. Karena saat persediaan pangan negara banyak sekalipun, hanya kelompok tertentu yang dapat memperolehnya. Dan tentunya, kelompok masyarakat miskin bukan termasuk dalam kelompok yang dapat dengan mudah memperoleh pangan.
Orang miskin tidak memiliki akses terhadap sumber daya yang cukup, baik untuk memproduksi ataupun membeli makanan yang layak. Petani miskin juga hanya memiliki lahan yang terbatas atau bahkan tidak memiliki lahan. Mereka yang memiliki lahan hanya menggunakan teknik-teknik pertanian yang mungkin kurang efisien, yang akhirnya membatasi produksi pangan. Kadang apa yang mereka tanam pun tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka, apalagi untuk dijual guna mendatangkan penghasilan[11]. Karena miskin, mereka pun tidak memiliki suara secara politis. Kebijakan-kebijakan negara sangat bias kelas, bahkan saat orang miskin menuntut apa yang menjadi haknya sekalipun.
Kebijakan pangan yang diterapkan saat ini di negara-negara berkembang memang gagal mengurangi angka kelaparan dunia. Sudah sepuluh tahun sejak pertemuan World Food Summit yang diadakan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) di Roma, angka kelaparan dunia tidak berkurang. Padahal pada pertemuan tersebut FAO menargetkan angka kelaparan dunia akan berkurang dari 840 juta jiwa pada tahun 1996 menjadi 400 juta jiwa di tahun 2015. Namun pada kenyataannya sampai tahun 2004, FAO sendiri memperkirakan angka kelaparan mencapai 852 juta juta jiwa.
Kegagalan ini disebabkan model kebijakan pangan FAO yang diadopsi oleh banyak negara termasuk Indonesia dalam UU Pangan No. 7 Tahun 1996 lebih dipengaruhi oleh liberalisasi pasar seperti yang diuraikan di atas. Kebijakan negara kita amat tidak berpihak pada orang miskin. Pemerintah lebih mementingkan pemodal dan tidak lagi menghargai produk pangan lokal. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan Bulog, yang sebagai badan penyangga ketahanan pangan nasional harusnya membeli produk pangan dari petani. Tetapi Bulog malah mencari untung dengan mengimpor pangan dari luar[12]. Bahkan Bulog pun sering membeli gabah dan beras tidak langsung dari petani, melainkan dari tengkulak[13]. Hal ini tentu semakin menyengsarakan kehidupan petani.
Bulan Maret lalu, para petani meminta pemerintah untuk menaikkan harga Pembelian Pemerintah (HPP). Padahal seharusnya adalah inisiatif pemerintah untuk menaikkan HPP. Pemerintah harusnya dapat tanggap terhadap biaya produksi yang semakin meningkat dan tidak perlu menunggu petani berteriak baru kemudian menaikkan HPP. Bahkan setelah HPP naik pun, Bulog masih belum mau menyerap beras dan gabah dalam negeri, dengan alasan menunggu keluarnya instruksi presiden tentang penetapan HPP yang baru. Padahal saat itu, 29 Maret 2007, harga gabah sudah menurun drastis di sejumlah wilayah[14].
Akhirnya karena kebutuhan hidup, para petani menjual gabah ke tengkulak yang tentu membeli dengan harga rendah. Dalam kondisi semacam ini, para tengkulak semakin berkuasa menentukan harga gabah. Mereka memanfaatkan kelambanan Bulog dalam membeli gabah petani. Lagi-lagi petani yang miskin pun semakin dirugikan. Mereka tahu harga pasaran, namun tidak dapat melakukan apa-apa karena terdesak kebutuhan.
Lebih lanjut, kemiskinan, menurut Imam cahyono, memiliki wajah perempuan[15]. Imam memaksudkannya bahwa sebagian besar penduduk miskin di negara berkembang adalah perempuan. Hal ini dikarenakan adanya feminisasi kemiskinan, berupa upah perempuan yang lebih rendah, feminisasi pekerjaan, akses perempuan yang dibatasi hukum, dan sebagainya. Menurut Imam, kemiskinan memiliki dimensi yang sangat bias gender karena adanya ketimpangan gender dan aspek kekuasaan.
Dari kalimat Imam di atas bahwa kemiskinan memiliki wajah perempuan, saya melihat makna lain, yakni bahwa dalam kondisi sama-sama miskin, maka kelompok perempuan akan menjadi yang paling menderita. Dalam kondisi miskin, perempuan akan lebih sulit terpenuhi hak-haknya atas pangan yang layak. Meskipun telah ada pengakuan formal terhadap kesetaraan gender dalam hukum internasional dan nasional, perempuan miskin tetap akan lebih terhambat dibandingkan laki-laki untuk mendapatkan makanan yang layak. Hal ini dikarenakan struktur patriarki dalam budaya kita yang harus diterima perempuan, baik dalam negaranya bahkan dalam keluarganya sendiri.
Meskipun mereka adalah pemegang peran utama dalam memproduksi dan mengolah makanan, mereka tidak diakui sebagai produsen secara hukum. Mereka malah dinyatakan sebagai populasi yang paling tidak beruntung (the most disadvantaged population). Mereka selalu menjadi yang terakhir dalam menikmati hasil pertumbuhan ekonomi, bahkan yang selalu memperoleh dampak negatif dari proses pertumbuhan ekonomi tersebut[16].
Bias gender dan buta gender pun terus terjadi, yakni bahwa petani selalu dipersepsikan sebagai ‘laki-laki’ oleh pembuat kebijakan dan perencana pembangunan. Jika laki-laki miskin terbatas terhadap sumber-sumber agraria, maka akses perempuan pun menjadi lebih terbatas lagi. Hal ini antara lain dilanggengkan oleh UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan laki-laki adalah kepala keluarga sedangkan perempuan ‘hanya’ ibu rumah tangga. Undang-undang semacam ini membuat laki-laki memiliki hak terhadap akses publik, namun tidak sebaliknya dengan perempuan.
Norma sosial dan adat yang berlaku juga semakin membatasi akses perempuan terhadap sumber daya produktif. Menurut Sulistyowati Irianto, sejumlah hukum adat telah mengatur perempuan untuk tidak mendapat akses terhadap sumber daya alam[17]. Bahkan di beberapa wilayah di Indonesia, telah terjadi diskriminasi pangan dalam rumah tangga (intra household food discrimination) berdasarkan gender[18]. Biasanya perempuan tidak diizinkan makan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Laki-laki dianggap membutuhkan kalori lebih banyak, sehingga harus diberi lebih banyak makanan. Bahkan ada pula adat yang mengharuskan perempuan makan terakhir, setelah anggota keluarga lain yang laki-laki selesai makan.
Kesimpulan
Adalah hak tiap orang termasuk perempuan untuk mendapatkan makanan yang layak setiap harinya. Hak ini diakui dalam sejumlah deklarasi dan konvensi internasional, serta dalam Undang-undang Pangan di negara kita. Sayangnya pengakuan tersebut hanya sebatas pengakuan. Berbagai kebijakan negara, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan persoalan pangan, malah semakin meminggirkan hak perempuan untuk memperoleh makanan.
Revolusi Hijau merupakan salah satu kebijakan pemerintan pusat di masa lalu yang membawa dampak negatif berkepanjangan hingga saat ini. Ditambah lagi dengan perdagangan bebas yang membuat kebijakan negara semakin tidak bijak saja termasuk dalam urusan pangan. Berbagai kebijakan telah semakin memiskinkan rakyat negeri ini. Dan dalam kondisi miskin, maka perempuan pun semakin menderita. Alih-alih sejahtera, ketahanan pangan pun tidak tercapai bahkan dalam level individual.


Minggu, 18 September 2005, aparat kepolisian telah melakukan tindakan kekerasan terhadap rapat umum petani di desa Tanak Awu, kecamatan Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Peristiwa tragis yang terjadi di desa Tanak Awu, sesungguhnya adalah gunung es dari konflik agraria yang berkepanjangan dengan kekerasan aparatur negara terhadap rakyat dalam konflik agraria. Hanya ada satu jalan bagi upaya mengakhiri konflik agraria dan praktek-praktek kekerasan negara terhadap rakyat khususnya kaum tani, yaitu dilaksanakannya pembaruan agraria.
Tanggal 24 September 1960, pemerintahan Sukarno melahirkan satu produk hukum sebagai upaya mengakhiri eksploitasi terhadap petani, menciptakan kebijaksanaan agraria (agrarian policy) yang melindungi masyarakat atas akses kepada tanah, air dan udara serta landasan bagi progam pembaruan agraria, bernama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Pokok Agraria atau yang lebih dikenal sebagai UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Hari kelahiran UUPA 1960 oleh Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden Nomer 169 Tahun 1963, dijadikan sebagai Hari Tani Nasional. Dalam kebijakan ini mengandung sebuah keyakinan ukuran keadilan dapat dilakukan dengan melakukan re-distribusi tanah secara adil (land reform).
Rezim militer Orde Baru di bawah Soeharto tidak pernah mencabut UUPA 1960 namun tidak juga menggunakannya, justru mengeluarkan banyak produk hukum sektoral yang bertentangan dengan semangat UUPA, sebut saja Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Selain itu Rezim Militer Orde Baru juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 Tentang Penghapusan Pengadilan Landreform, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pengairan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan Transmigrasi, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan kesemuanya itu tidak satupun yang mengacu ke UUPA 1960.
Tap MPR Nomer IX Tahun 1999 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang merekomendasikan perubahan produk-produk hukum agraria yang bertentangan dengan pembaruan agaria, ternyata yang justru kemudian keluar adalah produk hukum agraria yang berwajah sektoral dan mengandung maksud privatisasi serta komersialisasi sehingga berdampak pada menguatnya akses modal untuk mengeksploitasi sumber-sumber agraria dan justru memperkecil akses rakyat. Misalnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomer 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Pemerintah juga mengeluarkan Keputusan Presiden Nomer 34 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, guna memberikan mandat kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan penyempurnaan UUPA 1960. Tim yang dibentuk BPN untuk menjalankan mandat tersebut telah selesai dengan melahirkan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Agraria. Terakhir Infrastructur Summit 2005 telah melahirkan Perpres 36/2005 akan menjadi ancaman terbesar baru bagi penggusuran dan perampasan tanah rakyat.
Di sisi lain, kebijaksanaan agraria yang tidak tepat termasuk kebijakan impor beras yang mencekik petani dan akibat berbagai salah urus pengelolaan negara, beberapa waktu terakhir ini muncul wabah kurang gizi (malnutrition) dan wabah busung lapar (hunger) di banyak tempat di Indonesia. Hal ini jelas merupakan pertanda lemahnya – kalau tidak ingin disebut ambruknya – ketahanan pangan di Indonesia.
Di Indonesia persoalan pangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang berprinsip setiap rumah tangga berhak mendapatkan pangan yang cukup. Namun, - seperti yang dijelaskan oleh Drs H. Amidhan, ketika menjabat Ketua Subkomisi Ekonomi, Sosial dan Budaya Komnas HAM dalam makalah seminar Hak Atas kecukupan Pangan- terhadap distribusi pangan, sejauh yang dapat dipahami hingga saat ini, justeru sektor inilah yang menjadi salah satu sumber pelanggaran hak asasi manusia. Dalam wacana hak asasi manusia, pelanggaran di sektor ini ke dalam capital violence. Hal ini terjadi, lagi-lagi oleh karena berbagai kepentingan saling bertarung, khususnya kepentingan ekonomi, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun pada tingkat internasional. Sebagai salah jenis “hajat hidup orang banyak”, pangan pun diperlakukan sebagai komoditi ekonomi (barang dagangan) semata. Tampaknya logika berpikir demikianlah yang dianut undang-undang tentang pangan yang terkesan pada satu sisi lebih memberikan perlindungan (baca: memfasilitasi) para pengusaha pangan agar dapat memproduksi komoditi sesuai standar international, dan pada sisi lain mengorbanlan perlindungan, pemenuhan, pemajuan dan penghormtatn hak atas pangan masyarakat kita.
Apa yang menjadi pemaparan di atas semakin menegaskan, bahwa hanya dengan pembaruan agraria, maka konflik agraria dengan kekerasan, situasi rawan pangan dan kemiskinan absolut bisa diakhiri. PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sendiri, dalam laporan yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PBB (dokumen A/57/356/27 August 2002), menyatakan, Komisi HAM PBB (Commission on Human Rights) dalam resolusi 2000/10 tanggal 17 April 2000 dan resolusi 2001/25 tanggal 20 April 2001 telah membentuk Special Rappoteur on the right to food, yang mana Special Rappoteur percaya bahwa akses ke tanah adalah elemen kunci yang penting untuk membasmi kelaparan di dunia. Special Rappoteur juga menyebutkan, reforma agraria harus secara serius dijadikan intrumen kebijakan untuk mengurangi kelaparan dan kemiskinan. Reforma agraria juga akan mendorong transformasi yang sesungguhnya dan perubahan redistribusi yang bukan hanya tanah, tetapi juga meliputi elemen-elemen penting yang mengakibatkan reforma agraria dapat berjalan, termasuk akses kepada air, kredit, transport, pelayanan-pelayanan tambahan dan infrastruktur lainnya.
Akses masyarakat kepada sumber-sumber Agraria (Tanah, Air dan Udara serta Pangan) yang telah dilindungi oleh konstusi Indonesia, UUD 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), dan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), maka Negara wajib menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill) dan melindungi (to protect) hak-hak tersebut.
Menyerukan Kembali Arti Penting Pembaruan Agraria
Situasi agraria (sumber daya alam) di Indonesia tidak hanya persoalan gizi buruk dan busung lapar yang membawa kematian yang sedemikian massif dalam beberapa tahun terakhir, juga semakin menyusutnya lahan pertanian serta dikuasainya sumber-sumber agraria (tanah, air, pangan) oleh modal internasional (perusahaan trans nasional), ataupun krisis air yang menjadi langganan setiap tahun, dan bisa dikata situasi rawan pangan serta krisis air mendapatkan sorotan yang luas oleh media massa. Namun Situasi di lapangan agraria Indonesia juga memperlihatkan semakin massifnya konflik agraria dengan kekerasan bersenjata, yaitu perampasan tanah atau penggusuran lahan petani dengan kekerasan bersenjata yang melibatkan polisi, tentara dan organisasi kriminal (preman) ataupun pam swakarsa (milisi). Untuk fenomena ini, media massa memberitakan per kasus, sepotong-potong, belum memperlihatkan gambaran besar dari konflik tersebut.
Tulisan di Kompas, Jumat 14 Juli 2005, yang bertajuk “Tanah untuk Rakyat”, untuk pertamakali telah berhasil memotret atau mengkaitkan tragedi busung lapar, fakta kemiskinan petani, kejamnya konflik agraria dengan kebijakan publik (produk hukum) pemerintah yang merugikan rakyat serta arti penting reforma agraria sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Pokok Agraria atau biasa dikenal dengan UUPA 1960.
Nilai Lebih UUPA 1960
UUPA 1960 adalah undang-undang anti kolonialisme (penjajahan) dan anti feodalisme –keduanya adalah struktur penindasan dan ketidakadilan, sehingga UUPA menekankan penghapusan pemerasan dan monopoli (adanya batas maksimum kepemilikan tanah, jika tanah berlebih diambil negara untuk mereka yang kepemilikan tanahnya di bawah batas minimum), pembelaan kepada golongan lemah (adanya batas minimum kepemilikan tanah, gotong royong, kewajiban negara mempertinggi produksi bagi kemakmuran rakyat dan memajukan jaminan sosial bidang perburuhan dalam lapangan agraria).

Pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, demikian mandat UUPA 1960. Jika konsolidasi tanah seperti itu berhasil, maka sengketa penggunaan lahan akan dapat dikurangi, karena sedari awal sudah ditentukan mana lahan untuk infrastruktur, lahan pertanian, sentra industri dan sebagainya. Ini juga untuk mencegah bencana karena lahan dalam rangka konservasi alam mewajibkan ditentukan dan dilindungi. Pengalaman tsunami Aceh, menunjukan perlunya lahan bagi zona penyangga.
Pembaruan Agraria
Pembaruan agraria adalah kewajiban setiap negara sebagaimana diatur atau direkomendasikan instrumen hak asasi manusia - yang Indonesia turut menandatangani atau kemudian meratifikasinya - maupun hukum nasional Indonesia, sebut saja pasal 11 Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial Budaya (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights); Secretary-General, Human rights questions: human rights questions, including alternative approaches for improving the effective enjoyment of human rights and fundamental freedoms, the right to food, United Nations General Assembly, A/57/356 27 August 2002; Peasant Charter hasil dari WCARRD (World Conference on Agrarian Reform and Rural Development) tahun 1979; International Conference on Agrarian Reform and Rural Development (ICARRD) 2006, Tap MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Pokok Agraria.
Capital Violence dan Judicial Violence
Meski telah menjadi kewajiban negara, tetapi negara tidak menjalankanya justru mengeluarkan produk-produk hukum yang melanggar hak asasi manusia (judicial violence), guna menjalankan privatisasi demi kepentingan modal internasional. Betapa negara tidak segera menjalankan UUPA 1960 yang melindungi tanah untuk rakyat, tetapi justru menjalankan pesanan dari modal asing. Contohnya adalah progam WATSAL (Water Resources Sector Adjustment Loan) dari World Bank melahirkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Progam LAP (Land Adminitrationt Project) dan dilanjutkan dengan Land Policy Management Reform progam dari World Bank melahirkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan sebagai dasar keluarnya Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Agraria. Infrastructur Summit 2005 yang melahirkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dan Letter of Intent antara Indonesia dengan IMF (International Monetary Fund) melahirkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas serta Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual BBM.
Permasalahannya Ada di Undang-Undang Pangan
Kembali Kompas – lewat artikel “Memanggil Kembali Tindakan Negara” (Kamis 03 Juli 2006) setelah sebelumnya Jumat 14 Juli 2005 (“Tanah untuk Rakyat”), - mengulas keterkaitan antara kemiskinan dan hak atas pangan dengan persoalan konflik agraria serta upaya pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya dengan tuntutan pembaruan agraria dan pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria 1960.
Meskipun Pemerintah RI telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), tetapi persoalan pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya pada umumnya, khususnya hak atas pangan rakyat Indonesia, Pemerintah Indonesia belum mampu memenuhi kewajibannya sebagaimana yang dimandatkan konvenan tersebut. Salah satu masalahnya adalah bahwa Undang-Undang Pangan itu sendiri.
Bahwasannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial Budaya.
Dalam Menimbang huruf c UU No.7/1996 tentang Pangan menyatakan “bahwa pangan sebagai komoditas dagang memerlukan dukungan sistem perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab sehingga tersedia pangan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat serta turut berperan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi.” Hal inilah yang mengakibatkan dalam UU No.7/1996 pengaturan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia (Menimbang huruf a). Dan bahwa pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam, dan tersedia secara cukup merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makin berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (Menimbang huruf b). Hal ini menjadi sangat industrial heavy, sehingga alpa menyebutkan tentang produksi pangan (ketersediaan lahan pertanian), perlindungan distribusi hasil pertanian rakyat, dan tidak bicara subsidi (jaminan sosial dalam rangka pemenuhan hak atas pangan).
Industrial heavy ini ditandai dengan UU Pangan justru lebih banyak bicara tentang Rekayasa Genetika, Iklan dan label, Perdagangan pangan terutama soal harga, dan makanan instan, dan ketahanan pangan melalui cadangan pangan.
Bertentangan dengan UUD 1945
Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan: 1. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (Ayat 2); 2. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara, oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dan pangan, yang merupakan hak yang paling dasar dari warga negara serta salah satu unsur dari kekuatan nasional, sangat mensyaratkan perlindungan negara kepada produksi pangan bagi rakyat dan kedaulatan negara. UU No.7 1996 justru lebih mengatur bagaimana itu industri dan perdagangan pangan dijalankan.
Sebagai hak dasar, maka pangan merupakan hak asasi manusia di mana negara memiliki kewajiban (state obligation) untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak atas pangan masyarakat bukannya justru menjadikan pangan sebagai komoditas dagang.
Maka Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang berbunyi Pemerintah bersama masyarakat bertanggungjawab untuk mewujudkan ketahanan pangan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Seharusnya ketahanan pangan sebagai upaya pemenuhan hak atas pangan adalah tanggungjawab negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat kepada setiap individu warga negara Indonesia.
Tidak Sesuai KIHESB
Pasal 11 Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB –menyebutkan, Negara Pihak pada Kovenan ini, dengan mengakui hak mendasar dari setiap orang untuk bebas dari kelaparan, baik secara individual maupun melalui kerjasama internasional, harus mengambil langkah-langkah termasuk program-program khusus yang diperlukan untuk meningkatkan cara-cara produksi, konservasi dan distribusi pangan, dengan sepenuhnya memanfaatkan pengetahuan teknik dan ilmu pengetahuan, melalui penyebarluasan pengetahuan tentang asas-asas ilmu gizi, dan dengan mengembangkan atau memperbaiki sistem agraria (reforming agrarian systems) sedemikian rupa, sehingga mencapai suatu perkembangan dan pemanfaatan sumber daya alam yang efisien, dan memastikan distribusi pasokan pangan dunia yang adil yang sesuai kebutuhan, dengan memperhitungkan masalah-masalah.
Dan praktis UU No.7/1996 tidak memenuhi unsur-unsur progam dalam membebaskan setiap warga negara Indonesia dari kelaparan sebagaimana dimaksudkan dalam KIHESB, Pasal 11 KIHESB jelas menyebutkan bahwa pemenuhan hak atas pangan merupakan bagian dari kebijakan dan strategi pengurangan kemiskinan atau pengakuan hak hidup yang layak (huruf 1) dan memperlihatkan keterkaitan antara akses rakyat kepada tanah, reforma agraria dan hak atas pangan (huruf 2).
UU No. 7 Tahun 1996, dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan, pengaturan yang diberikan untuk pemerintah adalah (Pasal 46-49). Pertama, mewujudkan cadangan pangan nasional; Kedua, penyediaan, pengadaan dan atau penyaluran pangan tertentu yang bersifat pokok; Ketiga, kebijakan mutu pangan nasional dan penganekaragaman pangan; Keempat, mencegah atau menanggulangi gejala kekurangan pangan; Kelima, memberikan kesempatan bagi koperasi dan swasta mewujudkan cadangan pangan; Keenam, pengembangan dan peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pangan; Ketujuh, penelitian dan pengembangan tekhnologi di bidang pangan; Kedelapan; penyebarluasan dan penyuluhan pangan; Kesembilan, kerjasama internasional di bidang pangan, Kesepuluh, penganekaragaman konsumsi masyarakat.
Hal-hal tersebut di atas, belum lagi ditambah dengan peraturan teknis sebagaimana mandat Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, dalam pasal 2 ayat 2 disebutkan, untuk mewujudkan penyediaan pangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan Mengembangkan sistem produksi pangan yang bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal; Mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan; Mengembangkan teknologi tenaga pangan; Mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan; Mempertahankan dan mengembang lahan produktif.
Yang harus dilihat di sini adalah, bahwasannya masalah pangan tidak semata-mata persoalan ketersediaan saja, tetapi bagaimana akses masyarakat kepada pangan itu sendiri, hal inilah yang juga tidak diatur. Dan kemampuan akses masyarakat kepada pangan sendiri kemudian terkait sejauhmana pemenuhan hak hidup dengan standar yang layak. Hal serupa juga dalam persoalan akses masyarakat kepada sumber-sumber agraria, khususnya akses kepada tanah.
Karena poin-poin yang terdapat Pasal 2 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang mengisyaratkan tentang revitalisasi atau pembaruan metode pertanian menjadi seperti halnya revolusi hijau jika hal itu tidak dibarengai dengan land reform pada khususnya dan reforma agraria pada umumnya.
Sekjend PBB menyatakan (United Nations General Assembly, A/57/356 27 August 2002), perdagangan bebas dan bioteknologi pada dirinya sendiri amat sulit untuk memecahkan masalah kelaparan dunia, dan dapat seringkali menciptakan rintangan bagi realisasi Hak atas Pangan, sebagaimana Pelapor Khusus PBB telah menjelaskan dalam laporan sebelumnya. Lebih lanjut Sekjend PBB menyatakan, Special Rappoteur on the right to food, percaya bahwa akses ke tanah adalah elemen kunci yang penting untuk menghapus kelaparan di dunia. Hal ini berarti bahwa pilihan kebijakan seperti reforma agraria harus memainkan peranan penting dalam suatu strategi suatu negara dalam hal keamanan pangan, di mana akses atas tanah adalah mendasar. Seringkali reforma agraria dinyatakan sebagai pilihan yang ketinggalan jaman dan tidak efektif, tetapi bukti tidaklah mendukung pernyataan itu.
Legal Reform bagi Pemenuhan HAM
Prinsip-prinsip Limburg bagi Implementasi Perjanjian Internasional Mengenai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Maastricht 2-6 Juni 1986, dalam Bagian I: Sifat dan Lingkup Kewajiban Negara, sub bab A Tinjauan Umum huruf 1 menyebutkan, “Hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya merupakan bagian integral dari hukum hak asasi manusia internasional. Negara tunduk kepada kewajiban-kewajiban yang tertera pada perjanjian khsusus di dalam berbagai instrumen internasional khususnya Konvenan hak-hak ekonomi, Sosial dan Budaya.”
Selanjutnya dalam huruf 17 dan 18 dinyatakan, Pada tingkat nasional pihak negara harus menggunakan semua cara yang tepat, termasuk tindakan-tindakan legislatif, adminitratif, hukum, ekonomi, sosial dan pendidikan, yang konsisten dengan sifat-sifat hak tersebut di atas dalam rangka pemenuhan kewajiban seperti diminta perjanjian.” “Tindakan legislatif saja tidak cukup untuk memenuhi kewajiban terhadap perjanjian. Haruslah diperhatikan pasal 2 (1) akan banyak membutuhkan tindakan legislatif dalam kasus-kasus di mana undang-undang yang ada melanggar kewajiban sebagaimana dimengerti oleh perjanjian.
Apa yang dikemukakan di atas, mengisyaratkan perlunya legal reform pada situasi di mana produk-produk hukum ternyata melanggar atau menghalangi pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya, dalam hal ini adalah hak atas pangan masyarakat, sebagaimana yang terjadi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Menjawab Persoalan Pangan dan Agraria
Bahwasanya telah menjadi keprihatinan bersama ketika di Lapangan agraria masih terus terjadi konflik agraria dengan kekerasan bersenjata, alih fungsi lahan pertanian pangan ke non pertanian pangan, bencana alam dan sebagainya, padahal pemerintah sudah mencanangkan progam “revitalisasi pertanian” dan “progam pembaruan agraria nasional” (PPAN). Untuk itu menjadi sangat penting bagi Presiden SBY untuk segera mencabut produk-produk hukum yang bertentangan dengan revitalisasi pertanian dan pembaruan agraria.
Progam Pembaruan Agraria Nasional seharusnya bisa menghentikan konflik agraria, alih fungsi lahan pertanian pangan, pencegahan bencana alam, dan pencabutan undang-undang sektoral di bidang agraria yang bertentangan dengan UUPA 1960 sebagai ukuran minimalnya.
Konflik Agraria dan Hukum
Tap MPR Nomer IX Tahun 1999 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, merekomendasikan perubahan produk-produk hukum agraria yang bertentangan dengan reforma agaria, kenyataanya justru yang keluar adalah produk hukum agraria sektoral dan mengandung maksud privatisasi sehingga berdampak pada menguatnya akses modal untuk mengeksploitasi sumber-sumber agraria dan justru memperkecil akses rakyat bahkan mengkriminalkan perjuangan rakyat.
Beberapa produk hukum tersebut antara Undang-Undang Nomer 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomer 24 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomer 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomer 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomer 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
Menurut pemantauan kami, konflik agraria terbesar terjadi wilayah perkebunan dan kehutanan, di mana Undang-Undang Perkebunan dan Undang-Undang Kehutanan menjadi alat yang efektif untuk mengkriminalkan kaum tani.
Konflik Agraria dan Aparat Keamanan
Cita-cita reformasi sektor keamanan, adalah mensipilkan polisi, sehingga menjadi pelayan dan pelindung rakyat, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Kepolisian. Akan tetapi akhir-akhir ini fakta justru menunjukan sebaliknya, dalam intensitas yang tinggi serta cakupan daerah yang luas, polisi telah terlibat pelanggaran HAM dengan kekerasan dalam konflik agraria.
Peningkatan intensitas keterlibatan TNI dalam konflik agraria dengan kekerasan bersenjata polanya berbentuk: Pertama. Latihan perang di tanah sengketa; Kedua. Terlibat dalam operasi gabungan melawan rakyat yang mempertahankan tanah; Ketiga. Sendirian mengusur dan merepresi rakyat secara langsung.
Keterlibatan TNI dalam konflik agraria jelas tidak tepat. Pertama. Karena seluruh tindakan Operasi Militer Selain Perang harus seizin DPR dan diatur undang-undang. Kedua. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pasal 3 ayat 2 menyebutkan, “Dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan”. Artinya, semua persoalan-persoalan administratif termasuk legalitas suatu aset milik TNI, berada di bawah tanggung jawab Departemen Pertahanan. Seharusnya TNI menyerahkan sengketa tanah yang diklaim kepada Departemen Pertahanan, sehingga cara-cara sipil bisa lebih dikedepankan dalam penyelesaian sengketa tanah dari pada aksi kekerasan militer. Dan jikalau aksi massa membahayakan nyawa personil TNI, seharusnya penanganannya diserahkan kepada pihak kepolisian.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Pokok Agraria. Pasal 14 UUPA 1960 menyebutkan: “Pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.” Artinya pemerintah harus segera menentukan mana tanah untuk pertanian, industri, pemukiman, instalasi militer dan sebagainya. Sehingga sedari awal konflik penggunaan lahan bisa dihindarkan, namun rencana umum tersebut dimaksudkan dalam rangka untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang merdeka, berdaulat dan makmur, sebagaimana bunyi pasal 2 ayat 3 UUPA 1960 yang menjadi acuan pasal 14 UUPA 1960. Pembaruan agraria dan pembaruan sektor keamanan haruslah berjalan seiring.
Pembaruan Agraria adalah Kewajiban HAM Negara
Pembaruan agraria adalah kewajiban HAM negara, sebagaimana diamanatkan Tap MPR Nomer IX Tahun 1999 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 dan instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia yang telah diratifikasi atau pemerintah Indonesia turut menandatanganinya seperti: Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005, Peasant`s Charter (Piagam Tani) yang dilahirkan oleh WCARRD (World Conference on Agrarian Reform and Rural Development) tahun 1979 dan Deklarasi Final ICARRD (International Conference on Agrarian Reform and Rural Development) tahun 2006.
Sekretaris Jenderal PBB (dokumen A/57/356/27 August 2002), menyatakan, Komisi HAM PBB (Commission on Human Rights) dalam resolusi 2000/10 tanggal 17 April 2000 dan resolusi 2001/25 tanggal 20 April 2001 telah membentuk Special Rappoteur on the right to food, yang mana Special Rappoteur percaya bahwa akses ke tanah adalah elemen kunci yang penting untuk membasmi kelaparan di dunia. Special Rappoteur juga menyebutkan, reforma agraria harus secara serius dijadikan intrumen kebijakan untuk mengurangi kelaparan dan kemiskinan. Reforma agraria juga akan mendorong transformasi yang sesungguhnya dan perubahan redistribusi yang bukan hanya tanah, tetapi juga meliputi elemen-elemen penting yang mengakibatkan reforma agraria dapat berjalan, termasuk akses kepada air, kredit, transport, pelayanan-pelayanan tambahan dan infrastruktur lainnya.
*Briefing Paper pada Seri Diskusi Rutin Jenderal Soedirman Center, Kantor Jenderal Soedirman Center, September 2008

0 komentar:

  © Free Blogger Templates Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP