01 Februari 2009

MENGHILANGKAN JEJAK KONFLIK ETNIK MELALUI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL*

PENDAHULUAN

Masalah integrasi dalam negara kesatuan yang multietnik dan struktur masyarakatnya majemuk, seperti “serigala berbulu domba” atau penuh ambivalensi (ambigu). Perfomance-nya menampakan sebuah keseimbangan (equillibrium) di antara struktur sosial, politik, dan kebudayaannya, tetapi isinya penuh dengan intrik, ketidakpuasan, paradoks, etnosentrisme, stereotipisme, dan konflik sosial yang tidak kunjung selesai (Husamah, 2008).
Inilah fakta Indonesia. Sebagaimana menurut Usman (2004), negara keempat terbesar di dunia dan masyarakatnya paling plural ini selalu dihantui ancaman disintegrasi bangsa dan gerakan separatisme. Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh heterogenitas etnik dan bersifat unik. Secara horisontal ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat, dan primordialisme. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan vertikal antara lapisan-lapisan atas dan lapisan bawah. Tidak mengherankan jika sejak kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, NKRI selalu dirongrong isu disintegrasi, konflik antar suku dan gerakan separatisme, .
Konflik antar-suku kemudian berakhir dengan kekerasan horizontal sungguh memang sangat mengkhawatirkan dan memilukan kita sebagai anak bangsa yang dibesarkan dalam keragaman dan berbeda-beda. Kerusuhan Poso muncul sejak 1998. Perang berisu SARA itu telah menewaskan ratusan orang, menghilangkan lapangan pekerjaan dan menyebabkan ribuan rumah hangus. Pada Mei 1998 lalu, etnies Tionghoa menjadi target pembantaian di Jakarta dan Kalimantan Tengah. Dari data yang dihimpun dari berbagai sumber, sampai pada tahun 2005 kasus SARA di Jawa Timur yang berdampak kerusakan dan teror penutupan gereja hingga mencapai jumlah fantastis, lebih dari 80 gereja. Ini belum termasuk data terbaru sampai tahun 2007 (Riansyah, 2008).
Sejarah juga telah mencatat berbagai bentuk aksi diskriminasi, kekerasan, konflik, dan berbagai bentuk kesenjangan lain yang paling mencolok terkait dengan etnis Tionghoa. Mereka diperlakukan sebagai orang luar masyarakat di mana mereka hidup. Mereka juga diperlakukan secara tidak adil dan tidak sederajat. Mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi secara individual dan kolektif, mereka dibatasi, memiliki gengsi yang rendah, seringkali menjadi sasaran olok-olok, kebencian dan tindakan kekerasan (Suparlan, 2006). Konflik dengan kekerasan lebih lanjut dapat berbentuk amuk massa dengan ciri-ciri kekerasan fisik, pelecehan seksual, pemerkosaan, penjarahan dan pembakaran (Iskandar, 2006). Hal ini seperti yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998.
Indonesia selalu berhadapan dengan konflik sehingga mempunyai peluang menjadi negara yang pecah akibat ketidakstabilan kondisi sosiokultural dan politik. Samuel Hutingthon dalam Lestariana (2006) pernah berkomentar bahwa pada akhir abad ke-20, bahwa Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi paling besar untuk hancur, setelah Yugoslavia dan Uni Soviet. Demikian juga Cliffrod Gertz, antropolog yang Indonesianis, dalam Lloyd (2000) ia pernah mengatakan bahwa jika bangsa Indonesia tidak pandai-pandai memanajemen keanekaragaman etnik, budaya, dan solidaritas etnik, maka Indonesia akan pecah menjadi negara-negara kecil.
Karya tulis akan mencoba mencari solusi atas konflik yang selama ini terjadi di Indonesia. Menurut analisis penulis, pendidikan multikultural merupakan salah satu alternatif jitu untuk meminimalisasi bahkan menghilangkan jejak konflik dari Indonesia. Ini merupakan sebuah keniscayaan dan perlu diarusutamakan. Oleh karena itu dalam karya tulis tinjauan pustaka hanya dibatasi pada telaan tentang konflik, masyarakat multikultural, pendidikan multikultural dan penerapannya.

METODE PENULISAN

Tipe Pendekatan
Karya tulis ini merupakan tulisan yang menggunakan perspektif pendidikan berupa pendidikan multikultural. Analisis yang dilakukan difokuskan pada pada urgensi penerapan pendidikan multikultural sekaligus upaya yang harsu dilakukan untuk menerapkannya.
Pengumpulan Data
Data yang di gunakan adalah data sekunder, yaitu data yang dipelajari dari berbagai dokumentasi atau literatur seperti buku, koran, majalah, jurnal, makalah, maupun artikel di internet yang berkaitan dengan kajian masalah.
Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan karya tulis ini adalah pendahuluan (latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat). Selanjutnya menuju tinjauan pustaka, metode penulisan, dan pembahasan. Tahap akhir penulisan adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran/rekomendasi yang relevan berdasar hasil analisis pada pembahasan yang telah dilakukan. Penulisan karya tulis ini diawali dengan mengumpulkan data-data dan informasi yang terkait dengan kajian masalah. Data-data dan informasi yang terkumpul kemudiann di pilah-pilah dan dievaluasi (meta-analisis) guna memberikan keakuratan informasi dan ketepatan analisis yang akan ditulis atau diginkan. Tahapan selanjutnya adalah menganalisis data-data dan informasi yang terkumpul. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu serangkaian prosedur yang digunkan sebagi upaya pemecahan masalah yang diselidiki dengan mengambarkan atau melukiskan keadaan subyek/obyek yang dikaji (seseorang, lembaga, masyarakat, sistem dan lain-lain).

PEMBAHASAN

Pendidikan Multikultural untuk Meminimalisasi Konflik
Upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud apabila; (1) konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2) kesamaan pemahaman diantara para ahli mengenai multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang mendukungnya dan (3) upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini (Suparlan, 2002).
Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak. Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.
Jika kita menengok sejarah Indonesia, maka realitas konflik sosial yang terjadi sering kali mengambil bentuk kekerasan sehingga mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Sedangkan terjadinya konflik sosial setelah kemerdekaan, sering kali bertendensi politik, dan ujungnya adalah keinginan suatu komunitas untuk melepaskan diri dari kesatuan wilayah negara kesatuan, bahkan buntutnya masih terasa hingga sekarang, baik yang terjadi di Aceh dan Papua. Tanpa pendidikan multikultural, maka konflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.
Pendidikan kewiraan, kepramukaan dan kewarganegaraan sesungguhnya dilakukan sebagai bagian dari proses usaha membangun cara hidup multikultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan kewiraan sudah mulai kehilangan dimensi multikulturalnya, sebagai akibat krisis militerisme dalam kehidupan politik bangsa. Akibatnya tidak ada lagi minat dan semangat di kalangan mahasiswa untuk mempelajarinya, bahkan telah kehilangan aktualitasnya. Sementara pendidikan kepramukaan dan kewarganegaraan menjadi antirealitas karena tidak mengalami aktualisasi hidup di tengah realitas perubahan sosial yang kompleks dalam tekanan budaya global yang cenderung materialistik dan hedonistik.
Era reformasi telah membuka mata kita terhadap semua borok-borok kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah berlangsung selama ini. Realitas korupsi telah menghancurkan sendi-sendi persatuan bangsa, karena korupsi ternyata melestarikan ketidakadilan sosial, ekonomi, dan hukum yang semakin tajam dan ikut memperkeras konflik sosial. Sementara pendidikan kewiraan, kepramukaan, bahkan keagamaan telah kehilangan aktualitas multikulturalnya, dan pada gilirannya akan memperkeras konflik sosial yang ada. Karena itu, pendidikan multikultural harus direvitalisasi dan direaktualisasi secara kreatif sehingga tidak kehilangan jiwa dan semangatnya (Asy’arie, 2004).
Berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik (Azra, 2002).
Budianta (2003) berpendapat bahwa melalui pendidikan multikultural siswa dapat diajak untuk melihat contoh-contoh kongkrit bahwa kebudayaan tidak bersifat statis melainkan merupakan suatu proses yang terus terjadi. Kebudayaan merupakan suatu wilayah yang batasnya terbuka terhadap berbagai pengaruh, interaksi, percampuran dan peleburan.
Secara operasional, pendidikan multikultural pada dasarnya adalah program pendidikan yang menyediakan sumber belajar yang jamak bagi anak didik (multiple learning environments) dan yang sesuai dengan kebutuhan akademik maupun sosial anak didik (Amini, 2005). Anderson dan Cusher (dalam Hasan: 2001) mengatakan bahwa multikultural adalah pendidikan keragaman kebudayaan. Definisi ini mengandung unsur yang lebih luas, meskipun demikian posisi kebudayaan masih sama yakni mencakup keragaman kebudayaan menjadi sesuatu yang dipelajari sebagai objek studi. Dengan kata lain keragaman kebudayaan menjadi materi pelajaran yang harus diperhatikan, khususnya bagi rencana pengembangan kurikulum. Azra (2002) menjelaskan pendidikan multikultural sebagai pengganti dari pendidikan interkultural, diharapkan dapat menumbuhkan sikap peduli dan mau mengerti atau adanya politik pengakuan terhadap kebudayaan kelompok manusia seperti; toleransi, perbedaan etno-kultural dan agama, diskriminasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal serta subyek-seubyek lain yang relevan.
Upaya Penerapan Pendidikan Multikultural
Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional. Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat. Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan anatar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka (DEPAG RI dan IRD, 2003)
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Pendidikan multicultural dianggap mampu meminimalisasi konflik karena merupakan proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Siswa dan selanjutnya masyarakat memiliki sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain.
2. Untuk menerapkan pendidikan multikultural di sekolah terlebih dahulu perlu diidentifikasi dan dijawab beberapa permasalahan sebagai berikut: (1) Apakah pendidikan multikultural penting diberikan di sekolah; (2) Apakah pendidikan multikultural dapat membantu siswa berinteraksi dalam lingkungan yang multikultur; (3) Materi apa saja yang bisa dimasukkan dalam silabus pendidikan multikultural; (4) Apakah materi pendidikan multikultural bisa diintegrasikan pada semua mata pelajaran atau bisa menjadi bidang studi tersendiri; (5) Bagaimana kesiapan sekolah melaksanakan pendidikan multikultural; (6) Metode pembelajaran yang bagaimana, cocok digunakan dalam Proses Belajar Mengajar pendidikan multikultural; (7) Apakah pendidikan multikultural bisa diberikan pada semua jenjang pendidikan; (8) Apakah penyusunan silabus pendidikan multikultural disesuaikan berdasarkan budaya lokal setempat, (9) Apakah konsep dasar pendidikan multikultural dapat memberi signifikansi positif untuk diberikan pada usia sekolah pendidikan dasar dan menengah, (10) Bagaimanakah bentuk, institusi sosial masyarakat dan institusi negara mengambil inisiatif atau peran dalam pengembangan gagasan pendidikan multikultural.
Saran/Rekomendasi
Akhirnya upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila tidak didukung dengan tekad dan itikad yang baik. Saran penulis adalah pemerintah baik pusat maupun daerah sudah saatnya memahami dan mengimplementasikan wacana tersebut. Bersamaan dengan upaya-upaya ini, sebaiknya Departemen Pendidikan Nasional mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstrakurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah yang terintegrasi dalam mata pelajaran yang telah ada. Hal ini tentu tidak aan menambah beban siswa daripada harus menjadi mata pelajaran sen diri. Tentunya wacana ini akan valid jika didukung penelitian yang tepat dan sesuai

DAFTAR PUSTAKA


Amini, Ernie Isis Aisyah. 2005. Analisis Kebutuhan Pendidikan Multikultural Berbasis Kompetensi Pada Siswa SLTP. Singaraja: Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Singaraja
Asy'arie, Musa. 2004. Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa. Harian Kompas Edisi 03 September 2004.
Atmadja, Nengah Bawa. 2003. Multikulturalisme dalam Persepektif Filsafat Hindu. Makalah di Sajikan dalam Seminar Damai Dalam Perbedaan. Singaraja: 5 Maret 2003
Azra, Azyumardi. 2002. Pendidikan Multikultural: Membangun Kembali Indonesia Bhineka Tunggal Ika. Makalah disampaikan dalam symposium International Antropologi Indonesia ke-3. Denpasar: Kajian Budaya UNUD.
Budianta, Melani. 2003. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural: Sebuah Gambaran Umum, Dalam artikel Menuju Indonesia yang Multikultural. http://chaoticsunshine.multiply.com/journal.
Budiman, Manneke. Multikulturalisme: Antara Kekhawatiran dan Harapan. Jakarta. Jurnal Srinthil Edisi 12 Juni 2000.
DEPAG RI dan IRD. 2003. Kurikulum: Kurikulum Berbasis Multikulturalisme. Majalah Inovasi Edisi IV, Tahun 2003.
Glazer, N. 1997. We Are Multiculturalists Now. Cambridge: Harvard University Press.
Hasan, Hamid. 2001. Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional. Dalam seminar Pengembangan Kurikulum Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.
Husamah. 2008. Mengusung Multikulturalisme. Media Indonesia Edisi 12 Juli 2008.
Kusni, J.J. 2001. Negara Etnik. Cetakan I. Fuspad. Jakarta.
Joesoef, Daoed. 2001. Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran” Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi. Jakarta: Penerbit Kompas, 2001.
Lestariana, Grace. 2006. Soft Power dan Manajemen Konflik Masalah Tionghoa Indonesia. Malang: Lembaga Kebudayaan UMM.
Lloyd, Grayson. 2000. Indonesia's Future Prospects: Separatism, Decentralisation and the Survival of the Unitary State. Australia: Parliament of Australia-Parliamentary Library.
Pramono, Suwito Eko. 1999. Urgensi Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan IPS. Seminar dan Sarasehan Forum Komunikasi IX, Pimpinan FPIPS-IKIP dan JPIPS- FKIP/STKIP Se Indonesia. STKIP Singaraja: Bali.
Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Riansyah, Levi. 2008. Manifestasi Pendidikan Pluralisme dan Multikultural. Malang: Averroes Community.
Spradley, James, P. 1997. Metode Etnografi. Diterjemahkan dari The Etnographic Interview. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Suparlan, Parsudi. 2001. Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia. Makalah dalam Simposium minternational Antropologi Indonesia ke-2. Padang. Universitas Andalas 18-21 Juli 2001.
Tilaar, H. A. R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.
*Karya tulis ini merupakan Juara I Lomba Karya Tulis Mahasiswa Lomba Pemikiran Kritis Mahasiswa Dalam Rangka Student Day 2008/2009 Universitas Muhammadiyah Malang 2008.

0 komentar:

  © Free Blogger Templates Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP