17 Agustus 2008

Dikotomi Presiden Tua, dan Muda


Dalam memasuki Pemilu 2009, wacana kepemimpinan golongan tua dan muda mulai berhembus. Dikotomi generasi kepemimpinan nasional mencuat di permukaan dan hangat didiskusikan. Publik mulai pertanyakan efektivitas kepemimpinan golongan tua di segala lini kehidupan masyarakat, bersamaan dengan proses penantian panjang kepemimpinan golongan muda dalam berkiprah. Kepemimpinan golongan muda ditawarkan sebagai solusi, dengan asumsi, golongan muda memiliki semangat, progresivitas, kreativitas, idealisme yang tinggi, dan masih terjaga. Wacana pun terus bergulir dan menjadi topik yang kian marak diperbincangkan akhir-akhir ini, baik dalam diskusi politik di kalangan terbatas maupun di sejumlah media massa yang tentu saja tak luput menuai pro dan kontra.

Mewacanakan dikotomi tua-muda calon pemimpin atau calon presiden menjadi hangat akhir-akhir ini ditambah lagi dengan pernyataan dari Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri yang menantang Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring untuk bertarung dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Hal ini dikarenakan Tifatul melontarkan wacana sudah waktunya para politikus gaek untuk pensiun. Pemimpin 2009 adalah pemimpin muda dan energik serta berani mengambil risiko. "Ada yang pernah gagal, tapi kepingin lagi maju. No way. Silakan minggir. Pemimpin baru itu balita di bawah lima puluh tahun," tegas Tifatul.


Silahkan Maju

Memperdebatkan antara presiden yang tua atau muda, menurut banyak kalangan justru jelas-jelas akan membodohi orang banyak. Hal ini karena, Ketika mendesak agar yang lebih tua menyingkir dari kompetisi proses pencalonan presiden, sama artinya telah memvonis para calon yang lebih tua tidak kompeten dan tidak kapabel, sementara belum bisa dipastikan calon yang yang lebih muda lebih kompeten dan kapabel. Tidak hanya itu, mendesak kaum tua untuk mengundurkan diri dari persaingan berarti juga membuktikan bahwa kaum muda sebenarnya mengemis-ngemis kepada para calon yang lebih tua untuk membuang kesempatan mereka memenangi kompetisi. sehingga peluang terbesar jatuh kepada yang muda. Bagaimana bisa memimpin banyak orang jika kaum muda sendiri tidak percaya diri dan tak mampu mengelola potensi dirinya untuk mengalahkan satu-dua orang lawan yang usianya lebih tua .

Selain itu juga sangat disayangkan bahwa ditengah gembar-gembor dikotomi capres tua atau muda politikus muda masih belum solid dalam melakukan konsolidasi sehingga belum ada yang benar-benar serius berjibaku dengan massa, melemparkan ide-ide pembaruan, lantas membalikkan opini secara cerdas dan matang. Kaum muda saat ini hanya terkesima dengan kemenangan dari HADE yang secara mengejutkan memenangi pilkada JABAR sehingga berharap hal yang sama terjadi padanya, padahal kemenangan HADE dalam pilkada JABAR sangat berbeda masalahnya dengan kemenangan sebagai presiden bagi kaum muda di tahun 2009, karena masalah yang dihadapi jauh lebih kompleks dan butuh persiapan yang lebih matang.

Hingga saat ini baru muncul beberapa nama yang mendeklarasikan dirinya akan maju sebagai Capres 2009, seperti Fadjroel Rahman, Rizal Malarangeng dan Yudi Chrisnandi namun mereka semua belum memiliki parpol atau basis masa yang jelas berbeda dengan Pemimpin tua yang telah mempunyai basis masa yang jelas. Muncul satu kesan, sebenarnya golongan muda butuh untuk didorong dari golongan tua untuk maju ke muka pentas calon presiden. Golongan tua diminta untuk menggelar karpet merah untuk golongan muda supaya mau masuk dan bertarung di arena kepemimpinan nasional. Maka tidaklah mengherankan jika golongan muda mendapatkan sindiran dari golongan tua bahwa golongan muda terlalu banyak meminta.


Berdasar Kemampuan

Wacana pemimpin muda juga ditanggapi Wapres Jusuf Kalla saat membuka Kongres Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di Jakarta, kemarin. Menurut Ketua Umum DPP Partai Golkar itu, politik tidak dibagi-bagi berdasarkan umur. "Tapi dibagi berdasarkan kemampuan pikiran, “ katanya.

Menurut Kalla, umur muda itu berhubungan dengan kesehatan. Tua dihubungkan dengan kearifan. "Tua, tapi tidak arif, itu bukan orang tua yang arif. Tapi kalau muda kurang fit, ah,susah juga itu”. Karena itulah, Kalla meminta kaum muda untuk tidak terburu-buru terjun ke dunia politik. Terjun ke dunia politik, katanya, membutuhkan kematangan. Seorang politikus akan berkembang pesat jika memiliki kemampuan di bidang lainnya terlebih dulu. Wapres mengakui Bung Karno terjun ke dunia politik saat usianya masih muda. Namun, Bung Karno dimatangkan karena berkali-kali ditangkap dan dipenjara. "Jadi bukan semata-mata karena usis muda,” katanya.

Sementara itu, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X tidak berkeberatan dengan wacana pemimpin muda. "Umurnya muda, pendapatnya tua juga boleh, konservatif. Orang tua pikirannya muda, agent of change, juga bisa," katanya.
Namun, yang terpenting dari ini semua biarpun nanti presiden yang terpilih baik tua atau muda, yang terpenting di mata masyarakat pemimpin itu mampu membawa rakyat pada kemakmuran yang diinginkan karena percuma presiden tua atau muda jika nanti masa kepemimpinanya tidak membawa perubahan bagi kesejahteraan rakyat.

Regenerasi kepemimpinan muda memang tidak bisa dengan paksaan sudah bukan jamannya lagi. Semua perlu proses dan pembuktian diri adalah menjadi kata kunci melewati proses tersebut. Karena, rakyatlah yang akhirnya menentukan siapa sesungguhnya yang diperlukan dan yang pantas memimpin. Semua meski lapang dada membuat kesimpulan jauh-jauh hari bahwa yang terpilih adalah the best choice dari rakyat, entah dia golongan tua ataupun golongan muda, kita harus legowo menerima dan mendukungnya demi
kemaslahatan bangsa dan negara ke depan.

(Ketua Umum HMJ Biologi UMM 2008-2009)


1 komentar:

andreas iswinarto 1:50 AM  

Pemimpin seperti apa?

Sebuah Metafora : Kepemimpinan Yang Jazzy

Kepemimpinan yang bertumpu pada daya kreasi rakyat atau Kepemimpinan yang tidak melekat pada person tetapi sebuah kolektif kesadaran rakyat untuk menggerakan perubahan

Berbeda dengan musik klasik, ada dirigen, partitur, pemain musik yang tertib di tempatnya masing, segudang pakem-pakem musik klasik, maka didalam musik jazz kebebasan, kreatifitas, keliaran, kejutan merupakan nafas dan jiwa musiknya. Ada saxophone, flute, drum, perkusi, bass gitar, piano yang masing-masing berdaulat penuh.

Disatu sisi ada keliaran, tapi segala keliaran tetapmenghasilkan harmoni yang asyik. Kebebasan dan keliaran tiap musisi, patuh pada satu kesepakatan, saling menghargai kebebasan dan keliaran masing-masingmusisi sekaligus menemukan harmoni dan mencapai tujuannya, yakni kepuasan diri musisinya dan kepuasan pendengarnya.

Jadi selain kebebasan juga ada semangat saling memberi ruang dan kebebasan, saling memberi kesempatan tiap musisi mengembangkan keliarannya (improvisasi) meraih performance terbaik. Keinginan saling mendukung, berdialog, bercumbu bukan saling mendominasi, memarginalisasikan dan mengabaikan.

Seringkali saat bermusik ada momen-momen ketika seorang musisi diberikan kesempatan untuk tampilkedepan untuk menampilkan performance sehebat-hebatnya, sedangkan musisi lain agakmenurunkan tensi permainannya.

Tapi anda tentunya tau gitar tetap gitar, tambur tetap tambur, piano tetap piano. Namun demikian dialog antar musisi dilakukan juga dengan cara musisi piano memainkan cengkok saxophone, musisi perkusi memainkan cengkok bass betot. OHOOOOOOOOO guyub dan elok nian.

Lepas dari jiwa musik jazz yang saya sampaikansebelumnya tetap saja ada juga yang ‘memimpin’, pusatgagasan dan inspirasi tentunya dengan kerelaan memberi tempat kepemimpinan dari semua musisi. Bisa dalam bentuk beberapa person/lembaga maupun kolektifitas.

Misalnya dalam grup Chakakan bahwa vocalisnya Chahakan adalah inspirator utama grup ini. Apa yang menarikdari vokalis Chahakan ini adalah dia yang menjadi inspirator, penulis lagu dan partitur dasar musiknya,selain itu improvisasi, keliaran dan kekuatan vokalnya menebarkan energi , menyetrum dan meledakkan potensi musisi pendukungnya.

Model kepemimpinannya bukan seperti dirigen dalam musik klasik yang menjaga kepatuhan dan disiplin tanpa reserve, tetapi lebih menjadi penjaga semangat (nilai-nilai, atau bahkan cita-cita kolektif), memberiruang bagi setiap musisi untuk pengayaan gagasan danproses yang dinamis. Baik ketika mematerialkan gagasan maupun ketika berproses di panggung atau di studio rekaman. Tidak memaksakan pola yang baku dan beku, tetapi sangat dinamis dan fleksibel.

Setiap penampilan mereka di panggung adalah penemuan cengkok-cengkok baru, nyaris sebenarnya setiap performance selalu baru. Tidak ada penampilan yang persis sama. Tetapi tetap mereka dipandu tujuan yang sama memuaskan kebutuhan masing-masing musisi dan pendengarnya,menggerakan dan merubah.

Yang menarik juga dari jazz ini adalah sifatnya yangterbuka, open mind, open heart. Waljinah, master penyanyi keroncong dengan lagu walang kekeknya, ataulagu bengawan solonya gesang, atau darah juang lagu perlawanan itu, ravi shankar dengan sitar, rebab dan spirit indianya, atau bahkan internasionale dan maju tak gentar, atau imaginenya john lennon, atau reportoar klasik bach, bahkan dangdut pun, bahkan lagu-lagu spiritual bisa diakomodir oleh musisi jazz dan jadi jazzy.

Itulah karakter kepemimpinan yang asyik, kepemimpinan yang berkarakter kepemimpinan spiritual, menjaga dan menyalakan spirit/semangat/ nilai-nilai/ garis perjuangan, menyeimbangkan dan mencapai harmoni musik.

Selain itu kepemimpinan ini harus bisa fleksibel dalam pengayaan pilihan-pilihan pendekatan, bisa menawarkannuansa keroncong, dangdut, gending, samba, regge,rock, gambus, pop, klasik dalam bermusik jazz. Ataumemberi peluang atau kesempatan satu musisi atau alat musik leading, maju kedepan dan yang lainnyamemperkaya di latar belakang. Lepas dari itu bukan berarti saya lebih mencintai jazz, dibanding klasik, new age atau dangdut, tetapiini lebih kepada menemukan analogi dan metafora.

salam hangat

  © Free Blogger Templates Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP