16 Agustus 2008

Krisis Pangan dan Energi, Ironi Zamrud Khatulistiwa



Akhir-akhir ini di media massa banyak diulas pernyataan-pernyataan para pejabat dunia akan situasi pangan dan energi global yang mencemaskan bagi kehidupan manusia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Krisis pangan dan energi mengancam hampir di seluruh pelosok dunia, tidak terkecuali dengan Indonesia. Penyebabnya tidak lain adalah kenaikan harga produk pangan yang sulit terbendung sejak dua tahun lalu dan terus berlanjut hingga kini dan juga kenaikan harga minyak dunia yang mencapai rekor tertinggi dalam sejarah sejak invasi Irak ke Kuwait yang lebih dikenal dengan perang teluk beberapa tahun lalu.

Tidak kurang Presiden Bank Dunia, Robert Zoillick mengkhawatirkan situasi pangan yang buruk dewasa ini akan dapat memicu timbulnya peperangan. Akankah keadaan segawat ini, dan akankah pangan dapat memicu peperangan? Moh Amin dalam artikelnya yang berjudul Krisis Pangan Dunia: Yang Dulu dan Sekarang (Harian Pelita/18/07/08) mengingatkan bahwa hal ini perlu direnungkan agar kita dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi pangan kita sendiri terlebih dahulu, baru pangan global.


Krisis pangan

Ancaman krisis pangan dunia sebenarnya telah digembar-gemborkan sejak tahun 2006. Selama enam tahun berturut-turut konsumsi biji-bijian pangan dunia lebih besar daripada produksi dunia. Pada tahun 1999, stok pangan dunia masih dapat memenuhi kebutuhan selama 116 hari, namun pada tahun 2006 menurun drastis, hanya tinggal 57 hari. Laporan Lembaga Pangan Dunia, Food and Agriculture Organization (FAO) yang berjudul “Growing Demand on Agriculture and Rising Prices of Commodities” menunjukkan indeks harga pangan meningkat rata-rata 9% pada 2006 ketimbang tahun sebelumnya. Bahkan pada 2007 indeks harga pangan meningkat 23% dibandingkan dengan 2006.

Dalam laporan FAO tersebut, satu-satunya produk pangan yang turun hanyalah gula, yakni turun 32%. Hal ini dimungkinkan karena produksi gula di negara-negara berkembang termasuk Indonesia mengalami peningkatan, sedangkan konsumsi gula relatif stabil. Bahkan selama periode 2007/2008 diperkirakan produksi gula mencapai titik tertinggi.

Ekonom Senior FAO, Concepcion Calpe, mengatakan krisis pangan dipicu karena permintaan melebihi pasokan sehingga harga-harga bahan pangan melambung. Bahkan Dirjen FAO, Jacques Diouf memprediksi harga beberapa bahan pangan tidak akan pernah turun. Sebab, bahan pangan seperti jagung kini tak lagi digunakan untuk makan, tetapi juga untuk bahan bakar ramah lingkungan (biofuel). Akibatnya, stok global berkurang dan di pasar terjadi spekulasi.

Selain peringatan FAO, IMF (International Moneter Fund) menjadi lembaga global yang juga memperingatkan dampak buruk naiknya harga pangan bagi warga miskin. Direktur IMF, Dominique Strauss-Kahn, di Washington dalam pertemuan dengan menteri keuangan mengatakan, banyak orang menghadapi kelaparan yang kemudian bisa memicu keresahan sosial. Selama tahun lalu, menurutnya, harga hasil panen yaitu beras, gandum dan jagung melonjak tinggi. Beras, misalnya, naik 70%. Alasannya jelas, panen yang jelek, karena tanah semakin kurang subur dan cuaca yang tidak karuan, meningkatnya permintaan dan bertambahnya jumlah lahan untuk tanaman bahan bakar nabati. Harga yang lebih tinggi menyebabkan kesulitan bagi banyak orang, menjerumuskan mereka untuk pertama kalinya ke bawah garis kemiskinan. Tak dapat dihindari, bencana kelaparan menjadi kenyataan yang memilukan.


Krisis Energi

Energi merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat karena hampir semua aktivitas manusia selalu membutuhkan energi. Misalnya untuk penerangan, proses industri atau untuk menggerakkan peralatan rumah tangga diperlukan energi listrik; untuk menggerakkan kendaraan baik roda dua maupun empat diperlukan bensin, serta masih banyak peralatan di sekitar kehidupan manusia yang memerlukan energi.

Beberapa tahun terakhir ini energi merupakan persoalan yang krusial didunia. Peningkatan permintaan energi yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi penduduk dan menipisnya sumber cadangan minyak dunia. Selain itu, peningkatan harga minyak dunia hingga mencapai 150 U$ per barel juga menjadi alasan yang serius yang menimpa banyak negara di dunia terutama Indonesia. Lonjakan harga minyak dunia akan memberikan dampak yang besar bagi pembangunan bangsa Indonesia. Konsumsi BBM yang mencapai 1,3 juta/barel tidak seimbang dengan produksinya yang nilainya sekitar 1 juta/barel sehingga terdapat defisit yang harus dipenuhi melalui impor. Menurut data ESDM (2006) cadangan minyak Indonesia hanya tersisa sekitar 9 milliar barel. Apabila terus dikonsumsi tanpa ditemukannya cadangan minyak baru, diperkirakan cadangan minyak ini akan habis dalam dua dekade mendatang.

Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) dan tingginya harga minyak bumi, mendorong sebagian besar orang beramai-ramai membicarakan energi alternatif. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak pemerintah telah menerbitkan Peraturan presiden republik Indonesia nomor 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut menekankan pada sumber daya yang dapat diperbaharui sebagai altenatif pengganti bahan bakar minyak. Sampai-sampai presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun menantang para ilmuwan dan peneliti untuk menemukannya.

Program kontroversial konversi minyak tanah ke gas juga telah dijalankan meskipun banyak pihak menentang karena rakyat kecil semakin terjepit dan menjerit. Dengan dalih menjaga stabilitas dan menghindari jebolnya APBN akibat subsidi BBM yang semakin meningkat akhirnya pemerintah juga menaikkan harga BBM.


Sebuah Ironi

Ancaman krisis pangan di negara agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi dan ancaman krisis di negeri ladang minyak menjadi sangat ironis. Idealnya kedua hal itu tidak akan sebegitu parahnya menimpa bangsa andai saja para penguasa dan pemangku kebijakan tidak lalai. Hal ini bukan merupakan wacana kosong yang tidak bertanggung jawab. Faktanya krisis pangan yang terjadi di Indonesia adalah buah dari kebijakan dan praktik privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi negara Barat dan adikuasa sebagai inti dari Konsensus Washington. Akibat praktik itu semua, negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, dan kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah bergantung pada mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa.

Krisis energi sebenarnya tidak akan terlalu menjadi masalah bagi Indonesia seandainya tidak terjadi kesalahan pengelolaan akibat bobroknya rezim pengelola. Hasil eksploitasi minyak bumi dan gas yang sejatinya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagai mana amanat UUD 1945, ternyata hanya dinikmati oleh segelintar orang (pemilik modal). Mereka sengaja berkolaborasi dengan perusahaan asing atau Multinatioal Corporation (MNC) untuk mengeruk kekayaan energy bangsa ini. Para pengelola dan pengatur regulasi perminyakan dan gas justru justru belakangan ini terindikasi sebagai pelaku KKN sector migas. Akibatnya negara dirugikan triliunan rupiah.

Hal ini sejalan dengan uraian Husamah (Mengakhiri Kebohongan Konversi Energi, Media Indonesia/4 September 2007) dimana konversi energi hanya merupakan upaya pengalihan isu di balik niat segelintir penguasa-pemilik modal untuk mempercepat laju investasi korporasi asing yang ujung-ujungnya menguras sumber energy miga kita. Uang Negara yang seharusnya digunakan untk kemakmuran rakyat malah digunakan untuk membayar utang luar negeri yang selama ini dinikmati para penguasa.

Tentunya permasalahan ini harus segera kita akhiri. Karena itu, Pemerintah harus membuat perencanaan yang jelas, terukur dan terarah dalam mengatasi persoalan krisis pangan dan energi serta melepaskan diri dari perangkap yang dipasang negara-negara kapitalis dan pemilik modal. Apalagi ketahanan pangan bukan sebatas dimensi ekonomi semata, tetapi juga merupakan bagian dari ketahanan sosial politik bangsa. Jika Pemerintah tidak mampu membuat strategi yang jitu, maka taruhannya adalah kerawanan pangan yang semakin meluas.

Salah satu yang harus menjadi fokus perhatian pemerintah adalah upaya peningkatan produksi pangan, khususnya beras yang menjadi makanan pokok bangsa Indonesia. Tidak kalah penting lagi adalah penguatan stok pangan yang dimiliki Pemerintah. Meski banyak kendala dalam penyediaan pangan untuk rakyat, pemerintah harus tetap menjamin seluruh kebutuhan primer masyarakat, terutama soal pangan. Yang lebih penting lagi bagaimana meningkatkan daya beli sehingga masyarakat mudah mengakses ketersediaan pangan. Apa artinya swasembada pangan jika daya beli masyarakat tetap lemah.

Ketahanan pangan merupakan salah satu masalah strategis yang hukumnya wajib diperhatikan penguasa. Untuk itu, ketahanan pangan yang tangguh harus didukung dengan kekuatan politik karena menjadi bagian dari kekuatan negara dalam menjaga kedaulatan negara dari intervensi asing. Apalagi kini, isu pangan menjadi alat politik bangsa-bangsa barat guna mempengaruhi situasi politik suatu negara.

Untuk minimalisasi dampak krisis energi, seyogyanya bangsa Indonesia mengeksploitasi, mengolah, dan mengelola sumber nergi migasnya sendiri. Dengan demikian, pola kontrak pengelolaan migas yang selama ini lebih banyak merugikan daripada menguntungkan tidak dapat ditawar lagi perlu ditinjau ulang. Langkah tersebut akan semakin mantap jika para pihak yang terkait dalam pengawasan bertindak secara profesional, tidak terpengaruh iming-iming komisi. Selain itu, sudah saatnya diterapkan good governance bidang migas.

(Ketua Umum HMJ Biologi UMM 2008-2009)

0 komentar:

  © Free Blogger Templates Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP